Member baru? Bingung? Perlu bantuan? Silakan baca panduan singkat untuk ikut berdiskusi.

Welcome to Forum Sains Indonesia. Please login or sign up.

April 19, 2024, 10:35:54 PM

Login with username, password and session length

Topik Baru

Artikel Sains

Anggota
Stats
  • Total Tulisan: 139,653
  • Total Topik: 10,405
  • Online today: 183
  • Online ever: 1,582
  • (Desember 22, 2022, 06:39:12 AM)
Pengguna Online
Users: 0
Guests: 193
Total: 193

Aku Cinta ForSa

ForSa on FB ForSa on Twitter

Bagaimana Membuktikan keberadaan Tuhan??

Dimulai oleh Ayaz, Januari 22, 2011, 01:23:53 AM

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

Ayaz

Ya, Bung Reborn benar sekali. Begitu juga teman-teman telah memberikan sebuah dasar pemikiran yang tidak keliru perihal pembuktian adanya sebuah Wujud imanen yang kelak akan disebut sebagai Tuhan dengan seluruh atribut kesempurnaan sifat yang dimilikinya.

Benar adanya bahwa Pengalaman spiritual bukanlah kosong dari sebuah pencapaian, sebuah nilai dan agregat sebuah penampakan. Tak sedikit lembaran-lembaran ayat suci membenarkan tilikan itu sebagai wadah keberadaanNya, Keagungannya dan bukti akan keberadaannya.

Namun demikian peluang terjadinya kekeliruan didalam memaknai sebuah capaian menjadikan wahana ini tidak direkomendasikan sebagai sarana utama didalam membangun sebuah pandangan Tauhid yang benar
--kali ini saya sedang mempersempit ruang penjelasan pada apa yang telah dikemukakan oleh para filosof Muslim, tepatnya adalah sudut pandang Islam, untuk teman-teman yang kurang akrab dengan wilayah intelektual Muslim sebelumnya saya mohon maaf--

Mengapa pengalaman spriritual dipraanggapkan sebagai sebuah model capaian yang 'dinomor duakan'...? Seperti yang sebelumnya telah saya kemukakan bahwa capaian dan Maqam spiritual adalah sebuah wujud asasi alias sebuah pengalaman mistik yang bergerak pada ruang isolasi ruang privasi privasi yang sepenuhnya mengabaikan partisipasi pihak yang berada diluar dirinya.

Pengalaman spritual menjadi memiliki makna jika sang pesalik bersama mengarungi sebuah wilayah batin secar serentak, dimana sang 'guru' mengajak menyelami sebuah anak tangga spriritual yang panjang untuk tiba pada Nirwana dan sekaligus mendapuk sebuah realitas yang diimpikannya.

Namun dalam realitasnya kemampuan manusia untuk 'pergi' mengarungi sebuah samudra ma'rifat yang tak terbatas tersebut hampir-hampir mustahil, tak ayal jika akhirnya kita dapati dalam sepanjang sejarah manusia sedikit dari mereka yang sanggup mencapai tapal batas yang tak terbatas itu.

Kemuskilan juga semakin menganga mengingat tidak semua pengalaman batin mampu disajikan dalam bentuk kata, kaliamat dan makna yang bisa segera difahami. Kekeliruan didalam memetakkan sebuah pengalaman rohani bisa jadi muncul dari dua arah yang sama. pesalik yang kesulitan mengungkap 'rasa' atau kegagalan sang pendengar didalam memahami narasi pengalaman sang guru, atau boleh jadi kekeliruan lahir dari pendengar bukan pewarta sang penyampai atau sebaliknya.


Oleh sebab itu tidaklah elok menjustifikasi sebuah kebenaran semata-mata hanya bermodalkan sebuah 'pengalaman rasa' yang belum tentu memiliki sebuah nilai kebenaran, probalitinya yang begitu besar meniscayakan sebuah kehati-haitan didalam mendapuk kebenaran yang diikrarkannya.

Jika demikian lalu apa yang bisa dan memungkinkan manusia didalam meretas realitas kebenaran, hingga berujung pada sebuah keyakinan yang adiluhung sebuah keyakinan yang lahir dari sebuah abstraksi pengetahuan yang benar... yang didalamnya memuat keyakinan akan adanya sang Khaliq.......????? ???

Yupssszz....---rehat dulu--- (( Bersambung )) :)

 


familycode

Kata "membuktikkan" akan banyak perdebatan karena dapat "mentok" di "menunda" atau "percaya pada kekuatan yang besar yang mengatur semua ini" bagi agnostik.

Berdasar apa yang di tulis Pi-One, memang 'pengalaman religius pribadi' jelas lebih subyektif ketimbang obyektif tapi manusia mempunyai akal budi, dengan akal budi yang sehat maka manusia dapat mengetahui mana baik, mana yang tidak, Tuhan tidak hanya dilihat dari Dia Maha Kuasa tapi dari apa yang diajarkan kepada manusia, carilah dia dengan akal budimu.. bukan selalu harus dibuktikkan secara fisik atau materi melulu..

Ayaz

kelihatnnya akan lebih menarik jika pada paragraf pertama tulisan Familycode ini didalami lebih dahulu. Saya masih agak samar-samar memahami kalilmat ini;

(( Kata "membuktikkan" akan banyak perdebatan karena dapat "mentok" di "menunda" atau "percaya pada kekuatan yang besar yang mengatur semua ini" bagi agnostik.))

Sedikit yang bisa saya fahami dari keterangan ini adalah bahwa 'membuktikan' meniscayakan munculnya 'pengguguran' terhadap apa yang mungkin telah kita yakini sebelumnya. Saya rasa tidak demikian, mengapa? Karena 'pembukitan' yang dilakukan bertumpu pada sejumlah asumsi yang bersifat asasi dan Inheren pada diri manusia.

Pembuktian lahir dari adanya sebuah 'keraguan' yang mulia, bukan lahir dari sebuah kekosongan. Oleh sebab itu digunakan kata "Pembuktian" atau membuktikan. Apakah asumsi yang kita miliki Benar adanya dan bernilai ataukah tidak sama sekali.

Lagi-lagi mengapa 'membuktikan' karena yang kita tangkap adalah sebuah proposisi khabar atau disebut kalilmat berita. Yang sudah berang tentu berpeluang benar atau tidak benar alias bohong.

Kalimat membuktikan sekali lagi adalah langkah paling awal didalam merativikasi dan memberikan nilai sahih dan benar terhadap obyek yang kita satroni. Hingga nantinya keberadaan Sebuah Wujud yang kita buktikan keberadaannya benar-benar terbebas dari segala peluang kekeliruan didalamnya.

Saya sodorkan contoh kecil untuk memberikan penegasan diatas. Misalnya setelah kita buktikan keberadaanNya ( pengandaian ) petanyaan yang muncul berikutnya adalah apakah Dia Esa untuk semua atribut yang disandangnya atukah sifat yang disandannya berbilang sebanyak apa yang bisa kita fikirkan. Ataukan Dzat wujudnya berbeda dengan sifat-sifat yang dimilikinya.

Atau mungkin juga keberadaan Dzatnya berbilang ataukah ahad adanya. dan tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang kemudian menjadi sebuah tema sentral didalam Ilmu kalam atau Theology.

Akhirnya keberadaan kata 'membuktikan' sama sekali tidak menafikan atau mereduksi keberadaan keyakinan yang sedang kita geledah. Justru merupakan sebuah ketinggian Ilmu makhluk didepan Khaliqnya.

familycode

Kutip dari: Ayaz pada Februari 03, 2011, 01:17:21 AM
kelihatnnya akan lebih menarik jika pada paragraf pertama tulisan Familycode ini didalami lebih dahulu. Saya masih agak samar-samar memahami kalilmat ini;

(( Kata "membuktikkan" akan banyak perdebatan karena dapat "mentok" di "menunda" atau "percaya pada kekuatan yang besar yang mengatur semua ini" bagi agnostik.))

Sedikit yang bisa saya fahami dari keterangan ini adalah bahwa 'membuktikan' meniscayakan munculnya 'pengguguran' terhadap apa yang mungkin telah kita yakini sebelumnya. Saya rasa tidak demikian, mengapa? Karena 'pembukitan' yang dilakukan bertumpu pada sejumlah asumsi yang bersifat asasi dan Inheren pada diri manusia.

Saya tidak pernah bilang sebelumnya bahwa 'membuktikan' meniscayakan munculnya 'pengguguran' terhadap apa yang mungkin telah di yakini sebelumnya, dan memang 'pembukitan' yang dilakukan bertumpu pada sejumlah asumsi yang bersifat asasi dan Inheren pada diri manusia, tapi disini anda harus melihat dalam substansi yang lebih luas, Di sub forum ini dalam substansi mencari obyektifitas kalau subyektifitas adalah kemutlakkan tanpa melihat obyektifitas, bagaimana seorang agnostik yang lebih fundamentalis dapat lebih terbuka terhadap apa yang anda sampaikan, karena mereka mempunyai tolok ukur yang tidak selalu di dasarkan pada subyektifitas seseorang  (Contohnya misal jika anda ingin mengajak seorang agnostik yang lebih fokus pada pembuktian melulu untuk masuk ke religi anda).

Kutip dari: Ayaz pada Februari 03, 2011, 01:17:21 AM
Pembuktian lahir dari adanya sebuah 'keraguan' yang mulia, bukan lahir dari sebuah kekosongan. Oleh sebab itu digunakan kata "Pembuktian" atau membuktikan. Apakah asumsi yang kita miliki Benar adanya dan bernilai ataukah tidak sama sekali.

Lagi-lagi mengapa 'membuktikan' karena yang kita tangkap adalah sebuah proposisi khabar atau disebut kalilmat berita. Yang sudah berang tentu berpeluang benar atau tidak benar alias bohong.

Kalimat membuktikan sekali lagi adalah langkah paling awal didalam merativikasi dan memberikan nilai sahih dan benar terhadap obyek yang kita satroni. Hingga nantinya keberadaan Sebuah Wujud yang kita buktikan keberadaannya benar-benar terbebas dari segala peluang kekeliruan didalamnya.

Saya sodorkan contoh kecil untuk memberikan penegasan diatas. Misalnya setelah kita buktikan keberadaanNya ( pengandaian ) petanyaan yang muncul berikutnya adalah apakah Dia Esa untuk semua atribut yang disandangnya atukah sifat yang disandannya berbilang sebanyak apa yang bisa kita fikirkan. Ataukan Dzat wujudnya berbeda dengan sifat-sifat yang dimilikinya.

Atau mungkin juga keberadaan Dzatnya berbilang ataukah ahad adanya. dan tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang kemudian menjadi sebuah tema sentral didalam Ilmu kalam atau Theology.

Akhirnya keberadaan kata 'membuktikan' sama sekali tidak menafikan atau mereduksi keberadaan keyakinan yang sedang kita geledah. Justru merupakan sebuah ketinggian Ilmu makhluk didepan Khaliqnya.

Disini dalam substansi lebih luas, agar dalam rangka penyamaan persepsi dengan agnostik, kalau dalam substansi berbeda atau subyektif memang seperti itu, dan itu tidak salah, anda perlu reflektif apa yang sedang di diskusikan dan anda lupa dengan yang namanya akal budi, manusia diberikan akal budi, disitulah anda seharusnya bisa melihat lebih jauh, seorang agnostik diajak untuk lebih tenggelam dalam substansi akal budi ,tidak selalu pada logika yang di dasarkan pada pembuktian materi melulu, manusia dapat menguji suatu pengajaran itu sesuai dengan hati nurani, yang tentu juga dengan di dasarkan logika agama yang ahkirnya akan melahirkan pemahaman terhadap suatu agama, keberadaan membuktikkan secara materi ahkirnya lebih pada pendukung, bukan kemutlakkan.

Ayaz

Saya sedikit berharap diskusi kita tidak terlalu jauh mengintip 'pekarangan orang' dululah. Tapi ada baiknya juga jika saya sedikit mengomentari tilikan Paduka Familycode. Begini Bung Code berujar:

Kutip dari: familycode pada Februari 03, 2011, 06:13:41 AM
Saya tidak pernah bilang sebelumnya bahwa 'membuktikan' meniscayakan munculnya 'pengguguran' terhadap apa yang mungkin telah di yakini sebelumnya, dan memang 'pembukitan' yang dilakukan bertumpu pada sejumlah asumsi yang bersifat asasi dan Inheren pada diri manusia, tapi disini anda harus melihat dalam substansi yang lebih luas, Di sub forum ini dalam substansi mencari obyektifitas kalau subyektifitas adalah kemutlakkan tanpa melihat obyektifitas, bagaimana seorang agnostik yang lebih fundamentalis dapat lebih terbuka terhadap apa yang anda sampaikan, karena mereka mempunyai tolok ukur yang tidak selalu di dasarkan pada subyektifitas seseorang  (Contohnya misal jika anda ingin mengajak seorang agnostik yang lebih fokus pada pembuktian melulu untuk masuk ke religi anda).

Anda benar, saya hanya sedikit 'meraba' kemana maksud anda bertengger-Mohon maaf jika sedikt keliru-

Mungkin ada baiknya jika sebelum melangkah lebih jauh kita bisa rehat sebentar menelisik ruang Ilmu sambil menelusuri Kajian ini kita seret sebentar dalam domain epistilologi sejenak. Pada dasarnya hadirnya sebuah ilmu hadirnya sebuah abstraksi dalam benak manusia membuncal dari beberap arah yang berbeda.

Ada kalanya sebuah ilmu-baca informasi-lahir dari interaksi kita dengan dunia luar, sebuah nilai yang kita konsumsi dalam akal fikiran kita terpatri dari sebuah abstraksi yang dicopy-pastekan oleh segenap indra dalam diri kita (indra lahiriah). dengan kata lain bahwa Pengetahuan yang hadir dalam benak dan akal kita diperantarai oleh keberadaan alat indra kita mulai dari mata, telinga dan seterusnya.

Nilai kebenaran dari sesuatu yang hadir dalam diri kita adalah sebuah korelasi sebuah pertalian korespondesi antara apa yang kita persepsikan dengan wujud diluar diri kita. Kebenaran ditetapkan jika antara yang kita persepsikan menjadi sejalan dan cocok dengan realitas diluar diri kita.

Kitapun akan katakan keliru dan salah ataupun bohong didalamnya, jika antara apa yang kita dengar ataupun yang kita saksikan tak sesuai dengan realitas diluar sana. Oleh sebab itulah didalam pengetahuan dasar Logika (sayang ilmu ini terbuang dalam literatur kita) yang pertama ditengarai adalah sebuah proposisi. karena setiap lokus dan obyek yang kita kenali kemudian terukur dalam neraca sebuah proposisi yang mensyaratkan adanya premis mayor dan minor serta kesimpulan didalamnya. (lain waktu kita bicarakan khusus bab ini)

Sementara disisi lain pengetahuan juga bisa muncul melalui fakultas intelektual yang lahir dari sebuah proses analisis mental akan sebuah peristiwa. -Hukum sebab akibat adalah contoh yang direkomendasikan untuk memahami wilayah jelajah bab ini-

Pengetahuan yang lain adalah apa yang bisa deperoleh manusia melalui suasana batin, sebuah kehadiran yang Khudhur dan tanpa perantara didalamnya. Kehadiran ilmu ini memiliki ragam intensitas yang berbeda sehingga melahirkan tingkat kepercayaan yang bertingkat pula. (( Sedikit banyak masalah ini telah saya postingkan sebelumnya, saya lupa dibawah judul apa )) ---pembahasan ini juga memerlukan sesi tersendiri dan terlalu panjang. Intinya adalah bahwa kehadiran yang berpendar adalah sebuah pengetahuan yang azasi dan berdaya guna, walaupun demikian keberadaannya tidaklah luput dari sereangkaian kritik yang solid pula.

Adalah tidak benar mengatakan bahwa kalangan agnostik menolak sebuah obyektifitas didalam meraih sebuah nilai dan kebenaran didalamnya. Walaupun memang benar ada kalangan agnostik tertentu yang jumud dan berada dalam ruang isolasi diri yang akut dan tentu saja pengetahuan yang dimilikinya tak lain adalah sangkaan yang tak bisa diverifikasi di interupsi bahkan dianalisa didalamnya yang mana ini semua adalah asas dan dasar sahihnya sebuah pengetahuan.

((bersambung))

Disini dalam substansi lebih luas, agar dalam rangka penyamaan persepsi dengan agnostik, kalau dalam substansi berbeda atau subyektif memang seperti itu, dan itu tidak salah, anda perlu reflektif apa yang sedang di diskusikan dan anda lupa dengan yang namanya akal budi, manusia diberikan akal budi, disitulah anda seharusnya bisa melihat lebih jauh, seorang agnostik diajak untuk lebih tenggelam dalam substansi akal budi ,tidak selalu pada logika yang di dasarkan pada pembuktian materi melulu, manusia dapat menguji suatu pengajaran itu sesuai dengan hati nurani, yang tentu juga dengan di dasarkan logika agama yang ahkirnya akan melahirkan pemahaman terhadap suatu agama, keberadaan membuktikkan secara materi ahkirnya lebih pada pendukung, bukan kemutlakkan.


Sudah barang tentu saya bukan saja mengapresiasi sebuah capaian dalam agnotisme melainkan ikut terlibat dalam diskusi diantara mereka. Guru saya tak lain adalah seorang yang teguh dalam menapaki sebuah perjalanan rohani seorang yang benar-benar tenggelam dalam makrifat yang nun jauh disana. Namun demikian Didalam filsafat dan yang tumbuh dalam pangkuan Filsafat Islam memberikan sebuah rekomendasi tentang sebuah neraca ilmu yang nilai kebenarannya tak perlu disangsikan lagi (( Sayang filsfat didalam dunia islam telah mati paska kemengangan Tasawuf etik yang digagas oleh Al-Gazali, Pemikiran filsafat Islam terkubur bersama segenap jasad suci para filosuf tersebut. Yang ada ditengah kita tak lain adalah filsafat barat yang hadir mengisi kekosongan diskusi Intelektualistas kita saban harinya ))

Bagaimana kemusykilan ini terpecahkan....??  Bersambung....** Mohon maaf Paragraf akhir tulisan saya belum sepenuhnya menjawab keberatan anda, saya sengaja menitipkan itu buat teman-teman dahulu supaya ikut rembug-an soalan yang menarik ini.


Ayaz

Wah...tulisan saya kog masuk "perngkap" kotak kutipan. Mohon maaf deh, Udah terlanjur.
Saya berencana menuliskan point-point tulisan saya dalam bentuk yang lebih enak dibaca, sekali lagi mohon maaf mengingat kesibukan saya yang lagi padat-padatnya.

familycode

Kutip dari: Ayaz pada Februari 03, 2011, 11:45:30 PM
Saya sedikit berharap diskusi kita tidak terlalu jauh mengintip 'pekarangan orang' dululah. Tapi ada baiknya juga jika saya sedikit mengomentari tilikan Paduka Familycode. Begini Bung Code berujar:

Sudah barang tentu saya bukan saja mengapresiasi sebuah capaian dalam agnotisme melainkan ikut terlibat dalam diskusi diantara mereka. Guru saya tak lain adalah seorang yang teguh dalam menapaki sebuah perjalanan rohani seorang yang benar-benar tenggelam dalam makrifat yang nun jauh disana. Namun demikian Didalam filsafat dan yang tumbuh dalam pangkuan Filsafat Islam memberikan sebuah rekomendasi tentang sebuah neraca ilmu yang nilai kebenarannya tak perlu disangsikan lagi (( Sayang filsfat didalam dunia islam telah mati paska kemengangan Tasawuf etik yang digagas oleh Al-Gazali, Pemikiran filsafat Islam terkubur bersama segenap jasad suci para filosuf tersebut. Yang ada ditengah kita tak lain adalah filsafat barat yang hadir mengisi kekosongan diskusi Intelektualistas kita saban harinya ))

Bagaimana kemusykilan ini terpecahkan....??  Bersambung....** Mohon maaf Paragraf akhir tulisan saya belum sepenuhnya menjawab keberatan anda, saya sengaja menitipkan itu buat teman-teman dahulu supaya ikut rembug-an soalan yang menarik ini.


Mengintip pekarangan orang lain apa definisinya, persepsinya harus jelas dan perlu disamakan, tapi baiklah saya akan menggunakan persepsi saya, jika kita ingin belajar untuk pengetahuan bagaimana kerangka berpikir mereka dan tolok ukur landasannya ? itu hal yang umum, mendapatkan pengetahuan itu tidak bisa hanya sekedar dari "kulit", tapi perlu tenggelam dengan apa yang mereka percaya, pikirkan dan rasakan, tapi bukan berarti tenggelam ini kita jadi ikut menganutnya, tapi lebih mencoba melihat "bagaimana kerangka berpikir mereka lebih jauh", yang juga tidak melulu untuk pengetahuan saja tapi juga sebagai bentuk empati dan toleransi terhadap mereka yang berbeda. Tanpa anda mau mencoba tenggelam, maka anda hanya tetap berada ditataran kulit, tidak pernah sampai di substansi utama, sehingga ahkirnya prasangka berlebihan dan curiga berlebihan dapat berperan sangat kuat.

Saya tidak ingin masuk ke ranah agama anda, disini adalah forum sains di sub Agama dan Filosofi dengan topik "Bagaimana Membuktikan keberadaan Tuhan??", sehingga saat anda melakukan komunikasi dengan mereka yang berbeda maka anda perlu yang namanya reflektif atau tidak fundamentalis dalam diskusi, karena yang berbeda belum tentu sama kepercayaannya dengan anda, karena itu seharusnya anda dalam diskusi lebih banyak memfokuskan pada bentuk-bentuk landasan yang lebih universal, tapi bukan berarti anda tidak boleh melakukan tolok ukur berdasarkan landasan apa yang anda percaya lebih tinggi yaitu agama anda, boleh saja, tapi lebih dalam rangka apa lebih pada menjelaskan apa yang anda percaya, entah itu untuk maksud kepentingan penyebaran agama atau apa itu terserah tapi tetap dengan "kotak" yang namanya reflektifitas.

Salah satu yang saya banyak angkat adalah akal budi, disini manusia mempunyai yang namanya akal budi, seorang agnostik atau orang yang sudah punya agama punya yang namanya akal budi, berangkat dari sinilah, untuk pembuktian lebih dalam bentuk yang berbeda, bukan lebih pada material melulu, inilah bentuk obyektifitas yang saya angkat, jadi bukan berdasarkan lebih pada bukti materi.

semut-ireng

Kutip dari: familycode pada Februari 04, 2011, 07:33:15 AM
Salah satu yang saya banyak angkat adalah akal budi, disini manusia mempunyai yang namanya akal budi, seorang agnostik atau orang yang sudah punya agama punya yang namanya akal budi, berangkat dari sinilah, untuk pembuktian lebih dalam bentuk yang berbeda, bukan lebih pada material melulu, inilah bentuk obyektifitas yang saya angkat, jadi bukan berdasarkan lebih pada bukti materi.


Maaf ikut nimbrung,  karena tertarik dengan istilah  ' akal budi ' yang diangkat oleh Bung Familycode.   Sebelum diskusi berlanjut,  barangkali perlu menyamakan persepsi dulu apa yang dimaksud  ' akal budi ',  atau definisinya.   Disitu ada dua kata yang digabung,  akal dan budi,  lalu apa beda dan hubungannya dengan ' kata hati ' atau ' hati nurani ' atau ' nurani ' saja.   Mungkin Bung Familycode bisa menjelaskan dulu yang dimaksud dengan ' akal budi ' tsb.

familycode

#23
Kutip dari: semut-ireng pada Februari 04, 2011, 09:33:52 AM
Maaf ikut nimbrung,  karena tertarik dengan istilah  ' akal budi ' yang diangkat oleh Bung Familycode.   Sebelum diskusi berlanjut,  barangkali perlu menyamakan persepsi dulu apa yang dimaksud  ' akal budi ',  atau definisinya.   Disitu ada dua kata yang digabung,  akal dan budi,  lalu apa beda dan hubungannya dengan ' kata hati ' atau ' hati nurani ' atau ' nurani ' saja.   Mungkin Bung Familycode bisa menjelaskan dulu yang dimaksud dengan ' akal budi ' tsb.

Betul, Akal budi istilahnya dari akal dan budi, manusia mempunyai akal untuk berpikir secara logika dengan obyeknya adalah pengetahuan, manusia juga punyai "budi", hati nurani untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak, jika hanya kata hati atau nurani saja, adalah bentuk yang belum tentu di terangi dengan akal yang memiliki pengetahuan yang sesuai dengan substansinya, tanpa pengetahuan yang sesuai substansinya maka hati nurani dapat terjebak pada pemahaman yang salah.

Hati nurani sebagai proses pengambil keputusan untuk menentukan mana yang baik dan tidak, keputusan ini perlu di dasarkan pada suatu akal yang merupakan penuntun ke substansi pengetahuan, apakah substansi pengetahuan pasti benar? pengetahuan pada agama adalah dogma, dogma tersebut apakah benar, maka perlu diuji, bagaimana mengujinya, contoh mengujinya dengan melihat hakekat logika agama itu benar? jika sudah sesuai maka dia akan dihadapkan dengan yang namanya hati nurani, disini adalah otoritas untuk menentukan logika agama tersebut apakah sudah sesuai dengan hati nurani.

Hati nurani akan melakukan seleksi secara substansi mana yang baik mana yang tidak, saat ada substansi yang dimana hati nurani merasa terkoyak maka dilihat kembali pada substansi logika agama, apakah ada yang salah, karena itu ada yang namanya dialektika, karena dari sisi subyek bisa saja salah pemahamannya pada substansi tertentu, setelah melakukan dialektika begitu banyak didasarkan pendalaman filsafat agama tertentu yang benar maka hati nurani akan melakukan otoritas final apakah agama yang dia anut sesuai dengan hati nuraninya atau tidak.

Akal budi yang sehat adalah akal budi yang melihat realitas (segala yang ada)  sesuai natura-nya (kodratnya). Akal budi yang sehat adalah akal budi yang diterangi oleh pengetahuan. Manusia yang sudah keluar dari gua kegelapan (Plato).

Akal budi tidak sehat adalah akal budi yang  tidak diterangi oleh akal sinar seperti orang yang berada dalam tempat yang gelap. Ia hanya melihat bayangan-bayangan saja. Padahal bayangan itu bisa menipu akal budi.

Contoh akal budi saya menganggap manusia tidak boleh menghakimi manusia lainnya karena saya sendiri bukan orang suci, hanya orang suci dan bersih yang berhak menghakimi, tapi saya juga menerima hukum negara yang boleh menghakimi warga negaranya yang bersalah demi keadilan bersama dan tidak terjadi kekacauan sebagai warga negara, ada substansi disini, dimana saya perlu reflektif, tapi bahasan ini bukan dalam konteks hukum lain selain agama, maka saya kembali pada konteksnya.

Di berbagai media internet ada refleksi-refleksi dalam melihat suatu fenomena tapi sayangnya refleksi ini tebang pilih karena terbentur pada suatu dogma yang mencoba mereduksi hati nurani, bukannya seharusnya suatu dogma dari sebuah logika agama menuntun manusia sesuai dengan hati nurani.

Contoh akal budi yang menurut saya kurang sehat adalah membunuh sesama manusia, menghakimi manusia bak seperti orang paling suci dan sebagainya, jika ada yang melakukan itu maka kita perlu melihat itu contoh melihat dengan cara melihat primordialisme dia hingga sampai dia memiliki pandangan etnosentris infleksibel yang ahkirnya menjadi bentuk seorang yang fundamentalis.

Dalam kristen sendiri, mendidik akal dan melatih hati nurani itu perlu. Dua hal inilah yang seharusnya ditekankan dalam pembinaan dan pengajaran untuk generasi sekarang maupun mendatang di gereja. Mengapa akal budi mesti dididik? Pertama karena telah tercemar oleh dosa. Akal budi manusia telah jatuh.

Roma 3:11 menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Akal budi manusia yang terpolusi tidak mungkin lagi mencari Allah. Manusia hanya bisa menindas kebenaran dari Allah. Manusia telah terkorupsi di dalam kerangka akal budinya. Karena itu, akal budi mesti dikembalikan kepada kodratnya yang semula, yaitu melayani dan menyenangkan Tuhan.

Akal budi yang melayani adalah akal budi yang tunduk. Akal budi yang tunduk adalah akal budi yang taat kepada Firman. Akal budi yang taat adalah akal budi yang harus terus belajar tanpa henti. Belajar apa? Belajar menundukkan diri, belajar bertanggungjawab atas panggilan mandat Tuhan. Belajar mengelola dunia. Belajar mengasihi sesama. Belajar melawan segala ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Belajar menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan. Dan yang penting belajar Firman dengan cara yang benar.

Roma 12:2 Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

Perlu anda tahu bahwa ajaran kristen menembus akal budi manusia dimana manusia diajarkan justru mengajak mendoakan musuh, tidak membalas jika disakiti (umumnya orang justru membalas atau menghakimi) dan tidak memberikan kesempatan manusia untuk menyakiti yang lainnya (kecuali pada manusianya yang mempunyai kehendak bebas) dan akal budi manusia perlu berubah dan perlu diperbarui sesuai iman kristen, karena itu tolok ukur akal budi saya mencoba bawa disini.

Jika ingin dilakukan obyektifitas dengan bentuk perbandingan agama khusus dalam substansi akal budi, maka sample yang lebih obyektif adalah para penganut agnostik dengan logika deduktif dengan pendekatan kuantitatif, mana yang lebih mendekati akal budi mereka, karena akal budi mereka bukan bertolak ukur pada dogma tapi pada rasionalitas dan pembuktian materi tapi saya yakin mereka mempunyai hati nurani, bukan logika semata.

sukmasuk2006

hmmm...
kalau buktinya gini.

misalnya saja mesin, pasti ada yang mengatur kan? siapa? manusia, program dan lain-lain

nah kalau alam semesta? bumi , bulan, dan planet-planet lain bisa berjalan pada orbitnya. Pasti ada yang mengatur . Siapa??
Tuhan. tidak mungkin sesuatu yang bergerak secara teratur tidak diatur oleh suatu dzat...
life free, free your life

familycode

#25
Kutip dari: sukmasuk2006 pada Februari 04, 2011, 05:50:18 PM
hmmm...
kalau buktinya gini.

misalnya saja mesin, pasti ada yang mengatur kan? siapa? manusia, program dan lain-lain

nah kalau alam semesta? bumi , bulan, dan planet-planet lain bisa berjalan pada orbitnya. Pasti ada yang mengatur . Siapa??
Tuhan. tidak mungkin sesuatu yang bergerak secara teratur tidak diatur oleh suatu dzat...

Apa definisi Dzat? Saya menggunakan kata Tuhan saja, Siapakah Dia? Untuk mengetahui Siapa Dia maka anda harus mencari dengan akal budimu, bukan di dasarkan pada primordialisme (yang paling umum banyak terjadi), bukan dengan logika semata yang selalu didasarkan pada materi melulu (Pembuktikan adalah kemutlakkan), bukan didasarkan pada bentuk kekuasaan semata (dapat pengabaian akal budi), bukan didasarkan pada yang terlihat indah semata tanpa tahu kedalamannya (kasuistik, bisa tertipu, dan sebagainya).

MonDay

Kutip dari: sukmasuk2006 pada Februari 04, 2011, 05:50:18 PM
hmmm...
kalau buktinya gini.

misalnya saja mesin, pasti ada yang mengatur kan? siapa? manusia, program dan lain-lain

nah kalau alam semesta? bumi , bulan, dan planet-planet lain bisa berjalan pada orbitnya. Pasti ada yang mengatur . Siapa??
Tuhan. tidak mungkin sesuatu yang bergerak secara teratur tidak diatur oleh suatu dzat...

jawaban bung Pi One selalu ini [pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]
makanya dia cenderung agnoistik

Ayaz

Hehe...seru juga ya akhirnya, sedianya malam ini saya banyak berharap bisa sedikit menjauh dari komputer saya supaya gak  'ngluruk' ke forum ini tapi...

Yupzz saya berhasrat sedikit menjawab tulisan Bung Familycode dulu teman dan sahabat yang saya hormati.

Bung FamilyC:
##Mengintip pekarangan orang lain apa definisinya, persepsinya harus jelas dan perlu disamakan, tapi baiklah saya akan menggunakan persepsi saya, jika kita ingin belajar untuk pengetahuan bagaimana kerangka berpikir mereka dan tolok ukur landasannya ? itu hal yang umum, mendapatkan pengetahuan itu tidak bisa hanya sekedar dari "kulit", tapi perlu tenggelam dengan apa yang mereka percaya, pikirkan dan rasakan, tapi bukan berarti tenggelam ini kita jadi ikut menganutnya, tapi lebih mencoba melihat "bagaimana kerangka berpikir mereka lebih jauh", yang juga tidak melulu untuk pengetahuan saja tapi juga sebagai bentuk empati dan toleransi terhadap mereka yang berbeda. Tanpa anda mau mencoba tenggelam, maka anda hanya tetap berada ditataran kulit, tidak pernah sampai di substansi utama, sehingga ahkirnya prasangka berlebihan dan curiga berlebihan dapat berperan sangat kuat.##


Hehe....Iya-iya mungkin Bung Familycode (FC) menangkap arti 'pekarangn orang lain' dengan asumsi Agama orang lain. bukan Bung! Saya hanya memilih untuk fokos terlebih dahulu pada sebuah alur dan pendekatan tertentu.  Idiom yang saya pilih tersebut akan sebangun dengan postingan saya sebelumnya  (silakan dibaca kembali)

## mendapatkan pengetahuan itu tidak bisa hanya sekedar dari "kulit", tapi perlu tenggelam dengan apa yang mereka percaya, pikirkan dan rasakan##

Memahami  pola pikir dan sebuah pengetahuan mensyaratkan serangkaian priambule dan mukadimah didalamnya. Pertama yang mesti dikedepankan adalah kemampuan 'membaca' obyek dan tema dari gagasan yang diusung. Apakah Narasi tersebut berbentuk dongeng ataukah sebuah laporan ilmiah ataukan sebuah catatan harian si-upik.

Jika sebuah Ilmu dan Pengetahuan menyaru sebagai sebuah pengetahuan adiluhung dan memproklamirkan sebagai sebuah Pandangan Universal yang mewadahi sebuah Tata diri dan etikan didalamnya....Maka adalah sebuah kelaziman jika 'kulit' yang menyelimutinya merupakan refleksi akan apa yang mendekam didalamnya.

Kulit kemudian menjadi pancaran dan dedikasi luhur sebuah isi yang di'sembunyikannya'. Ini tak lain adalah sebuah kemestian, mengingat yang Diwartakan adalah segepok jalan dan petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Adalah absurd jika menawarkan isi namun mengabaikan kulit ari yang membungkusnya, mengabaikan tilikan awal untuk didedah dan disataroni keutamaan isi yang dikandungnya.

Bagaimana dengan keharusan untuk menyelami didalamnya?? Ya sebagai sebuah himbauan saya rasa sah-sah saja, namun dengan satu syarat bahwa sang 'kulit' bisa diverifikasi terlebih dahulu, Kulit berkedudukan sentral untuk bisa menjelaskan bahwa sang Akal tak akan ditinggalkan bersamaan dengan terkelupasnya sang 'kulit'.
Sepenjang 'kulit' mampu memberikan jaminan akan 'keselamatan' Akal sebagai fakultas utama dalam diri manusia, maka menelusuri 'Isi' akan menjadi pengalaman yang mengasyikan dan bukan sebaliknya.

Bung FC melanjutkan:
##", tapi perlu tenggelam dengan apa yang mereka percaya, pikirkan dan rasakan, tapi bukan berarti tenggelam ini kita jadi ikut menganutnya, tapi lebih mencoba melihat "bagaimana kerangka berpikir mereka lebih jauh", yang juga tidak melulu untuk pengetahuan saja tapi juga sebagai bentuk empati dan toleransi terhadap mereka yang berbeda##

Sepertinya Bung FC memiliki kerinduan yang sama dengan saya, Bahwa Toleransi dan sikap saling menghormati mestilah dijunjung tinggi sebagai atribut bersama dalam beragama. Ini harapan dan ajakan yang mulia dan saya rasa forum ini juga memiliki semangat yang tak jauh berbeda.

Namun demikian adalah sebuah ketinggian dan keluhuran yang tak terandaikan, bila saja semangat mulia diatas tidak dijadikan mata pisau yang mengiris semangat sebuah tilikan dan pencarian didalamnya. Adalah sah adanya jika raung 'baca' sebuah kepercayaan disemaikan kuncupnya dan tidak lagi 'dicurigai' sebagai pihak asing yang bermaksud buruk didalamnya. 
Adalah pesan utama sebuah kepercayaan  untuk bisa didialogkan diinterupsi dan diverfikasi atas serangkaian kebenaran yang didakunya, dan bukan sebaliknya.

Bung FC :
##Saya tidak ingin masuk ke ranah agama anda, disini adalah forum sains di sub Agama dan Filosofi dengan topik "Bagaimana Membuktikan keberadaan Tuhan??", sehingga saat anda melakukan komunikasi dengan mereka yang berbeda maka anda perlu yang namanya reflektif atau tidak fundamentalis dalam diskusi, karena yang berbeda belum tentu sama kepercayaannya dengan anda, karena itu seharusnya anda dalam diskusi lebih banyak memfokuskan pada bentuk-bentuk landasan yang lebih universal, tapi bukan berarti anda tidak boleh melakukan tolok ukur berdasarkan landasan apa yang anda percaya lebih tinggi yaitu agama anda, boleh saja, tapi lebih dalam rangka apa lebih pada menjelaskan apa yang anda percaya, entah itu untuk maksud kepentingan penyebaran agama atau apa itu terserah tapi tetap dengan "kotak" yang namanya reflektifitas.##

Saya terus terang agak sedikit 'kikuk' dengan paragraf Tuan FC ini. Himbauan Pak FC supaya saya menerapkan sebuah landasan Universal untuk menjelaskan sebuah tema yang saya usung agaknya sampai detik ini belum ada satupun yang saya batalkan. Saya senantitasa berdiri pada sebuah altar univerlsalia yang berpuncak pada peneguhan Fakultas  Akal dan intelektualitas didalamnya. Tak ada satupun point yang saya gerus untuk saya muntahkan dalam bentuk fundamentalis seperti kekhawatiran Bung FC.

Himbauan toleransi dan kesederajatan dalam komunitas manusia adalah sebuah agregad dan senyawa yang saya junjung tinggi sebagai bentuk terdalam pesan dari sebuah agama yang saya anut. Namun demikian adalah pesan yang sama juga dari sebuah agama dan kepercayaan untuk 'menyeretnya' dalam "mahkamah manusia" atas sejuta pesan yang didakunya.

Agama dan keprecayaan mesti 'memberanikan' diri berdialog dengan manusia yang senjatanya tak lain adalah Akal fikiran sebagai domain 'kuasa' dan independensi sebuah makhluk yang bernama Manusia. Tuhan tak boleh LARI tak boleh pula bersembunyi dibalik jubah kebesarannya. Tuhan sekali lagi, harus berani ' bertatap' muka mempertanggung jawabkan apa yang telah diakunya, apa yang telah didakunya. Selain ini tak ada tempat untuk Tuhan bermitra dan 'berkeluh kesah' dengan manusia.

lebih Selanjutnya Bung FC:
##Salah satu yang saya banyak angkat adalah akal budi, disini manusia mempunyai yang namanya akal budi, seorang agnostik atau orang yang sudah punya agama punya yang namanya akal budi, berangkat dari sinilah, untuk pembuktian lebih dalam bentuk yang berbeda, bukan lebih pada material melulu, inilah bentuk obyektifitas yang saya angkat, jadi bukan berdasarkan pada bukti materi.##

Jika kita amati dengan cermat postingan saya sebelumnya  hampir kita dapati kesamaan pandangan dalam mengetengahkan peran Akal-budi. Yang bermakna akal yang tulus akal yang bersih akal yang tak dijarah oleh bualan hawa nafsu. Inilah akal yang semoga sama-sama kita amini runang jelajah dan keagungannya.

##" seorang agnostik atau orang yang sudah punya agama punya yang namanya akal budi"##

Tilikan ini agaknya sedikit refleksi dari ketergesa-gesaan anda dalam membuat rangkuman penganut Agama dan mereka yang belum beragama,  Mengapa demikian?? Karena seorang PraAgnostik sesungguhnya juga telah memiliki senirai Akal dan budi didalamnya, Hanya saja peran dan kedudukan evolutiv yang dimilikinya belum bekerja dengan optimal.

Jika kita pra-andaikan seorang Pra agnostik tak memiliki sebuah lokus utama yang benama Akal-budi maka sudah barang tentu tak ada lagi celah buat mereka menangkap pesan dan sponsor agama yang bergegas mendatanginya. Meraka akan terisolir dan terlempar dari kedudukannya sebagai Manusia ciptaan yang paling bermartbat.

familycode

Kutip dari: Ayaz pada Februari 05, 2011, 01:01:23 AM
Hehe...seru juga ya akhirnya, sedianya malam ini saya banyak berharap bisa sedikit menjauh dari komputer saya supaya gak  'ngluruk' ke forum ini tapi...

Yupzz saya berhasrat sedikit menjawab tulisan Bung Familycode dulu teman dan sahabat yang saya hormati.

Bung FamilyC:
##Mengintip pekarangan orang lain apa definisinya, persepsinya harus jelas dan perlu disamakan, tapi baiklah saya akan menggunakan persepsi saya, jika kita ingin belajar untuk pengetahuan bagaimana kerangka berpikir mereka dan tolok ukur landasannya ? itu hal yang umum, mendapatkan pengetahuan itu tidak bisa hanya sekedar dari "kulit", tapi perlu tenggelam dengan apa yang mereka percaya, pikirkan dan rasakan, tapi bukan berarti tenggelam ini kita jadi ikut menganutnya, tapi lebih mencoba melihat "bagaimana kerangka berpikir mereka lebih jauh", yang juga tidak melulu untuk pengetahuan saja tapi juga sebagai bentuk empati dan toleransi terhadap mereka yang berbeda. Tanpa anda mau mencoba tenggelam, maka anda hanya tetap berada ditataran kulit, tidak pernah sampai di substansi utama, sehingga ahkirnya prasangka berlebihan dan curiga berlebihan dapat berperan sangat kuat.##


Hehe....Iya-iya mungkin Bung Familycode (FC) menangkap arti 'pekarangn orang lain' dengan asumsi Agama orang lain. bukan Bung! Saya hanya memilih untuk fokos terlebih dahulu pada sebuah alur dan pendekatan tertentu.  Idiom yang saya pilih tersebut akan sebangun dengan postingan saya sebelumnya  (silakan dibaca kembali)

## mendapatkan pengetahuan itu tidak bisa hanya sekedar dari "kulit", tapi perlu tenggelam dengan apa yang mereka percaya, pikirkan dan rasakan##

Memahami  pola pikir dan sebuah pengetahuan mensyaratkan serangkaian priambule dan mukadimah didalamnya. Pertama yang mesti dikedepankan adalah kemampuan 'membaca' obyek dan tema dari gagasan yang diusung. Apakah Narasi tersebut berbentuk dongeng ataukah sebuah laporan ilmiah ataukan sebuah catatan harian si-upik.

Jika sebuah Ilmu dan Pengetahuan menyaru sebagai sebuah pengetahuan adiluhung dan memproklamirkan sebagai sebuah Pandangan Universal yang mewadahi sebuah Tata diri dan etikan didalamnya....Maka adalah sebuah kelaziman jika 'kulit' yang menyelimutinya merupakan refleksi akan apa yang mendekam didalamnya.

Kulit kemudian menjadi pancaran dan dedikasi luhur sebuah isi yang di'sembunyikannya'. Ini tak lain adalah sebuah kemestian, mengingat yang Diwartakan adalah segepok jalan dan petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Adalah absurd jika menawarkan isi namun mengabaikan kulit ari yang membungkusnya, mengabaikan tilikan awal untuk didedah dan disataroni keutamaan isi yang dikandungnya.

Bagaimana dengan keharusan untuk menyelami didalamnya?? Ya sebagai sebuah himbauan saya rasa sah-sah saja, namun dengan satu syarat bahwa sang 'kulit' bisa diverifikasi terlebih dahulu, Kulit berkedudukan sentral untuk bisa menjelaskan bahwa sang Akal tak akan ditinggalkan bersamaan dengan terkelupasnya sang 'kulit'.
Sepenjang 'kulit' mampu memberikan jaminan akan 'keselamatan' Akal sebagai fakultas utama dalam diri manusia, maka menelusuri 'Isi' akan menjadi pengalaman yang mengasyikan dan bukan sebaliknya.

Kulit bisa saja menipu tanpa melihat kedalamannya, jadi perlu melihat lebih dalam hakekat dari substansinya, "kulit" ini bisa juga adalah bentuk substansi yang berbeda dimana perlu reflektif dalam melihatnya

Kutip dari: Ayaz pada Februari 05, 2011, 01:01:23 AM
Bung FC melanjutkan:
##", tapi perlu tenggelam dengan apa yang mereka percaya, pikirkan dan rasakan, tapi bukan berarti tenggelam ini kita jadi ikut menganutnya, tapi lebih mencoba melihat "bagaimana kerangka berpikir mereka lebih jauh", yang juga tidak melulu untuk pengetahuan saja tapi juga sebagai bentuk empati dan toleransi terhadap mereka yang berbeda##

Sepertinya Bung FC memiliki kerinduan yang sama dengan saya, Bahwa Toleransi dan sikap saling menghormati mestilah dijunjung tinggi sebagai atribut bersama dalam beragama. Ini harapan dan ajakan yang mulia dan saya rasa forum ini juga memiliki semangat yang tak jauh berbeda.

Namun demikian adalah sebuah ketinggian dan keluhuran yang tak terandaikan, bila saja semangat mulia diatas tidak dijadikan mata pisau yang mengiris semangat sebuah tilikan dan pencarian didalamnya. Adalah sah adanya jika raung 'baca' sebuah kepercayaan disemaikan kuncupnya dan tidak lagi 'dicurigai' sebagai pihak asing yang bermaksud buruk didalamnya. 
Adalah pesan utama sebuah kepercayaan  untuk bisa didialogkan diinterupsi dan diverfikasi atas serangkaian kebenaran yang didakunya, dan bukan sebaliknya.
Mata pisau pengiris menurut saya adalah bentuk wacana tentang toleransi dan empati tapi realitanya tidak sesuai dengan wacana toleransi dan empati, sehingga memunculkan sikap permisif, tebang pilih dan sebagainya, fenomena ini sepertinya banyak terlihat di negeri ini.

Kutip dari: Ayaz pada Februari 05, 2011, 01:01:23 AM
Bung FC :
##Saya tidak ingin masuk ke ranah agama anda, disini adalah forum sains di sub Agama dan Filosofi dengan topik "Bagaimana Membuktikan keberadaan Tuhan??", sehingga saat anda melakukan komunikasi dengan mereka yang berbeda maka anda perlu yang namanya reflektif atau tidak fundamentalis dalam diskusi, karena yang berbeda belum tentu sama kepercayaannya dengan anda, karena itu seharusnya anda dalam diskusi lebih banyak memfokuskan pada bentuk-bentuk landasan yang lebih universal, tapi bukan berarti anda tidak boleh melakukan tolok ukur berdasarkan landasan apa yang anda percaya lebih tinggi yaitu agama anda, boleh saja, tapi lebih dalam rangka apa lebih pada menjelaskan apa yang anda percaya, entah itu untuk maksud kepentingan penyebaran agama atau apa itu terserah tapi tetap dengan "kotak" yang namanya reflektifitas.##

Saya terus terang agak sedikit 'kikuk' dengan paragraf Tuan FC ini. Himbauan Pak FC supaya saya menerapkan sebuah landasan Universal untuk menjelaskan sebuah tema yang saya usung agaknya sampai detik ini belum ada satupun yang saya batalkan. Saya senantitasa berdiri pada sebuah altar univerlsalia yang berpuncak pada peneguhan Fakultas  Akal dan intelektualitas didalamnya. Tak ada satupun point yang saya gerus untuk saya muntahkan dalam bentuk fundamentalis seperti kekhawatiran Bung FC.

Himbauan toleransi dan kesederajatan dalam komunitas manusia adalah sebuah agregad dan senyawa yang saya junjung tinggi sebagai bentuk terdalam pesan dari sebuah agama yang saya anut. Namun demikian adalah pesan yang sama juga dari sebuah agama dan kepercayaan untuk 'menyeretnya' dalam "mahkamah manusia" atas sejuta pesan yang didakunya.

Agama dan keprecayaan mesti 'memberanikan' diri berdialog dengan manusia yang senjatanya tak lain adalah Akal fikiran sebagai domain 'kuasa' dan independensi sebuah makhluk yang bernama Manusia. Tuhan tak boleh LARI tak boleh pula bersembunyi dibalik jubah kebesarannya. Tuhan sekali lagi, harus berani ' bertatap' muka mempertanggung jawabkan apa yang telah diakunya, apa yang telah didakunya. Selain ini tak ada tempat untuk Tuhan bermitra dan 'berkeluh kesah' dengan manusia.
Kalau kita lihat fenomena di negeri ini, universal pada bentuk moral apa ukurannya, begitu relatif, tapi tidak sedikit orang di negeri berteriak tentang universal, tapi universalitasnya belum tentu sama dengan yang lain. Sehingga kalau di lihat lebih jauh, seperti terlihat umum jika orang menghakimi di berbagai media internet atas nama apa yang dia yakini entah moral atau apa, dan orang yang konon jika ada yang mengaku netral dengan berusaha melakukan pengalihan substansi, apakah sesungguhnya dia tidak bersikap permisif dalam melihat ketidakadilan yang ada.

Kutip dari: Ayaz pada Februari 05, 2011, 01:01:23 AM
lebih Selanjutnya Bung FC:
##Salah satu yang saya banyak angkat adalah akal budi, disini manusia mempunyai yang namanya akal budi, seorang agnostik atau orang yang sudah punya agama punya yang namanya akal budi, berangkat dari sinilah, untuk pembuktian lebih dalam bentuk yang berbeda, bukan lebih pada material melulu, inilah bentuk obyektifitas yang saya angkat, jadi bukan berdasarkan pada bukti materi.##

Jika kita amati dengan cermat postingan saya sebelumnya  hampir kita dapati kesamaan pandangan dalam mengetengahkan peran Akal-budi. Yang bermakna akal yang tulus akal yang bersih akal yang tak dijarah oleh bualan hawa nafsu. Inilah akal yang semoga sama-sama kita amini runang jelajah dan keagungannya.

##" seorang agnostik atau orang yang sudah punya agama punya yang namanya akal budi"##

Tilikan ini agaknya sedikit refleksi dari ketergesa-gesaan anda dalam membuat rangkuman penganut Agama dan mereka yang belum beragama,  Mengapa demikian?? Karena seorang PraAgnostik sesungguhnya juga telah memiliki senirai Akal dan budi didalamnya, Hanya saja peran dan kedudukan evolutiv yang dimilikinya belum bekerja dengan optimal.

Jika kita pra-andaikan seorang Pra agnostik tak memiliki sebuah lokus utama yang benama Akal-budi maka sudah barang tentu tak ada lagi celah buat mereka menangkap pesan dan sponsor agama yang bergegas mendatanginya. Meraka akan terisolir dan terlempar dari kedudukannya sebagai Manusia ciptaan yang paling bermartbat.

Bukannya saya mengatakan yang intinya bahwa agnostik sekalipun punya akal budi, jika pra agnostik itu belum saya ukurkan belum berarti mereka tidak memiliki akal budi, akal budi ini punya ukuran di masing-masing individu. Intinya manusia mempunyai akal budi.

Ayaz

Semula Thread ini sengaja saya lontarkan dengan harapan memunculkan semangat Intelektualisme didalam memahami tentang sebuah Entitas prima tentang sebuah Wujud yang tidak terbatas. Saya sama sekali sedang tidak berbicara tentang Oknum yan digelari dengan Tuhan, Allah, Yesus, God, Sang yangwidi atau apapun nama yang akan disematkanya. Saya sedang tidak berbicara Agama tertentu. Sama sekali tidak!! (( walaupun saya memiliki kesanggupan untuk berdiskusi dengan baik masalah keagamaan))

Saya agak sedikit kurang ber-nas, kurang sreg membaca jawaban terakhir dari saudara FC, Karena serasa masih jauh dari yang saya harapkan.  Namun besar harapan saya  Bapak FC masih sudi memberikan pencerahan tambahan atas postingan saya sebelumnya.