Forum Sains Indonesia

Diskusi Umum => Agama dan Filosofi => Topik dimulai oleh: rawWARus pada Maret 22, 2009, 04:43:18 PM

Judul: Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat(muslim only)
Ditulis oleh: rawWARus pada Maret 22, 2009, 04:43:18 PM
Para sahabat sering melakukan perbuatan yang bisa digolongkan ke dalam bid'ah hasanah atau perbuatan baru yang terpuji yang sesuai dengan cakupan sabda Rasulullah SAW:

مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا

Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)

Karena itu, apa yang dilakukan para sahabat memiliki landasan hukum dalam syariat. Di antara bid'ah terpuji itu adalah:

a. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini".

Ibn Rajar al- Asqalani dalam Fathul Bari ketika menjelaskan pernyataan Sayyidina Umar ibn Khattab "Sebaik-baik bid'ah adalah ini" mengatakan:

"Pada mulanya, bid'ah dipahami sebagai perbuatan yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Dalam pengertian syar'i, bid'ah adalah lawan kata dari sunnah. Oleh karena itu, bid'ah itu tercela. Padahal sebenarnya, jika bid'ah itu sesuai dengan syariat maka ia menjadi bid'ah yang terpuji. Sebaliknya, jika bidطah itu bertentangan dengan syariat, maka ia tercela. Sedangkan jika tidak termasuk ke dalam itu semua, maka hukumnya adalah mubah: boleh-boleh saja dikerjakan. Singkat kata, hukum bid'ah terbagi sesuai dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam".

b. Pembukuan Al-Qur'an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal.

Dengan demikian, pendapat orang yang mengatakan bahwa segala perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah haram merupakan pendapat yang keliru. Karena di antara perbuatan-perbuatan tersebut ada yang jelek secara syariat dan dihukumi sebagai perbuatan yang diharamkan atau dibenci (makruh).

Ada juga yang baik menurut agama dan hukumnya menjadi wajib atau sunat. Jika bukan demikian, niscaya apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar sebagai­mana yang telah dituliskan di atas merupakan perbuatan haram. Dengan demikian, kita bisa mengetahui letak kesalahan pendapat tersebut.

c. Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-­nya bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak. Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat di atas az-Zawra', yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.

Jika demikian, apakah bisa dibenarkan kita mengatakan bahwa Sayyidina Utsman ibn Affan yang melakukan hal tersebut atas persetujuan seluruh sahabat sebagai orang yang berbuat bid'ah dan sesat? Apakah para sahabat yang menyetu­juinya juga dianggap pelaku bid'ah dan sesat?

Di antara contoh bid'ah terpuji adalah mendirikan shalat tahajud berjamaah pada setiap malam selama bulan Ramadhan di Mekkah dan Madinah, mengkhatamkan Al-Qur'an dalam shalat tarawih dan lain-lain. Semua perbuatan itu bisa dianalogikan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW dengan syarat semua perbuatan itu tidak diboncengi perbuatan-perbuatan yang diharamkan atau pun dilarang oleh agama. Sebaliknya, perbuatan itu harus mengandung perkara-perkara baik seperti mengingat Allah dan hal-hal mubah.

Jika kita menerima pendapat orang-orang yang menganggap semua bid'ah adalah sesat, seharusnya kita juga konsekuen dengan tidak menerima pembukuan Al-Qur'an dalam satu mushaf, tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah dan mengharamkan adzan dua kali pada hari Jumat serta menganggap semua sahabat tersebut sebagai orang-­orang yang berbuat bid'ah dan sesat.

Ada beberapa kebiasan yang dilakukan para sahabat berdasarkan ijtihad mereka sendiri, dan kebiasaan itu mendapat sambutan baik dari Rasulullah SAW. Bahkan pelakunya diberi kabar gembira akan masuk surga, mendapatkan rida Allah, diangkat derajatnya oleh Allah, atau dibukakan pintu-pintu langit untuknya.

Misalnya, sebagaimana digambarkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, perbuatan sahabat Bilal yang selalu melakukan shalat dua rakaat setelah bersuci. Perbuatan ini disetujui oleh Rasulullah SAW dan pelakunya diberi kabar gembira sebagai orang-­orang yang lebih dahulu masuk surga.

Contoh lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang sahabat Khubaib yang melakukan shalat dua rakaat sebelum beliau dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy. Kemudian tradisi ini disetujui oleh Rasulullah SAW setahun setelah meninggalnya.

Selain itu, sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Rifa'ah ibn Rafi' bahwa seorang sahabat berkata: "Rabbana lakal hamdu" (Wahai Tuhanku, untuk-Mu segala puja-puji), setelah bangkit dari ruku' dan berkata "Sami'allahu liman hamidah" (Semoga Allah mendengar siapapun yang memuji­Nya). Maka sahabat tersebut diberi kabar gembira oleh Rasulullah SAW.

Demikian juga, sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Mushannaf Abdur Razaq dan Imam An-Nasa'i dari Ibn Umar bahwa seorang sahabat memasuki masjid di saat ada shalat jamaah. Ketika dia bergabung ke dalam shaf orang yang shalat, sahabat itu berkata: "Allahu Akbar kabira wal hamdulillah katsira wa subhanallahi bukratan wa ashilan" (Allah Mahabesar sebesar-besarnya, dan segala puji hanya bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan Mahasuci Allah di waktu pagi dan petang). Maka Rasulullah SAW memberikan kabar gembira kepada sahabat tersebut bahwa pintu­pintu langit telah dibukakan untuknya.

Hadis lain yang diriwayatkan oleh At- Tirmidzi bahwa Rifa'ah ibn Rafi' bersin saat shalat, kemudian berkata: "Alhamdulillahi katsiran thayyiban mubarakan 'alayhi kama yuhibbu rabbuna wa yardha" (Segala puji bagi Allah, sebagaimana yang disenangi dan diridai-Nya). Mendengar hal itu, Rasulullah SAW bersabda: "Ada lebih dari tiga puluh malaikat berlomba-lomba, siapa di antara mereka yang beruntung ditu­gaskan untuk mengangkat perkataannya itu ke langit."

Demikian juga hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam An-Nasa'i dari beberapa sahabat yang duduk berzikir kepada Allah. Mereka mengungkapkan puji-pujian sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah karena diberi hidayah masuk Islam, sebagaimana mereka dianugerahi nikmat yang sangat besar berupa kebersamaan dengan Rasulullah SAW. Melihat tindakan mereka, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahuku bahwa Allah sekarang sedang berbangga-bangga dengan mereka di hadapan para malaikat."

Dari tindakan Rasulullah SAW yang menerima perbuatan para sahabat tersebut, kita bisa menarik banyak pelajaran sebagai berikut:

1. Rasulullah SAW tidak akan menolak tindakan yang dibenarkan syariat selama para pelakunya berbuat sesuai dengan pranata so sial yang berlaku dan membawa manfaat umum. Dengan demikian, perbuatan tersebut bisa dianggap sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt yang bisa dilakukan kapan saja, baik di malam maupun siang. Perbuatan ini tidak bisa disebut sebagai perbuatan yang makruh, apalagi bid'ah yang sesat.

2. Orang Islam tidak dipersoalkan karena perbuatan ibadah yang bersifat mutlak, yang tidak ditentukan waktunya dan tempatnya oleh syariat. Terbukti bahwa Rasulu1lah SAW telah membolehkan Bilal untuk melakukan shalat setiap selesai bersuci, sebagaimana menerlma perbuatan Khubaib yang shalat dua rakaat sebelum menjalani hukuman mati di tangan kaum kafir Quraisy.

3. Tindakan Nabi SAW yang membolehkan bacaan doa-doa waktu shalat, dan redaksinya dibuat sendiri oleh para shahabat, atau juga tindakan beliau yang membolehkan dikhususkannya bacaan surat-surat tertentu yang tidak secara rutin dibaca oleh beliau pada waktu shalat, tahajjud, juga doa-­doa tambahan lain. Itu menunjukkan bahwa semua perbuatan tersebut bukanlah bid'ah menurut syariat. Juga tidak bisa disebut sebagai bid'ah jika ada yang berdoa pada waktu-waktu yang mustajabah, seperti setelah shalat lima waktu, setelah adzan, setelah merapatkan barisan (dalam perang), saat turunnya hujan, dan waktu-waktu mustajabah lainnya. Begitu juga doa-doa dan puji­-pujian yang disusun oleh para ulama dan orang­ orang shalih tidak. bisa disebut sebagai bid'ah. Begitu juga zikir-zikir yang kemudian dibaca secara rutin selama isinya masih bisa dibenarkan oleh syariat.

4. Dari persetujuan Nabi SAW terhadap tindakan beberapa sahabat yang berkumpul di masjid untuk berzikir dan menyukuri nikmat dan kebaikan Al­lah Swt serta untuk membaca Al-Qur'an, dapat disimpulkan bahwa tindakan mereka mendapatkan legitimasi syariat, baik yang dilakukan dengan suara pelan ataupun dengan suara keras tanpa ada perubahan makna dan gangguan. Dan selama tindakan tersebut bersesuaian dengan kebutuhan umum dan tidak ada larangan syariat yang ditegaskan terhadapnya, maka perbuatan tersebut termasuk bentuk mendekatkan diri kepada Allah, dan bukan termasuk bid'ah menurut syariat.

Dr. Oemar Abdallah Kemel
Ulama Mesir kelahiran Makkah al-Mukarromah
Dari karyanya "Kalimatun Hadi'ah fil Bid'ah" yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan "Kenapa Takut Bid'ah?"


Judul: Re: Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat(muslim only)
Ditulis oleh: rawWARus pada Maret 22, 2009, 04:50:31 PM
Fasal tentang Bid'ah (1)


Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama'ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy'ari, istilah "bid'ah" ini disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Hadratusy Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab 'Uddatul Murid, kata bid'ah secara syara' adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW," Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak". Nabi juga bersabda,"Setiap perkara baru adalah bid'ah".

Menurut para ulama', kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh syari'ah atau salah satu cabangnya (furu').

Bid'ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya, sebagaimana firman Allah S.W.T.:

بَدِيْعُ السَّموتِ وَاْلاَرْضِ
"Allah yang menciptakan langit dan bumi". (Al-Baqarah 2: 117).

Adapun bid'ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama' yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Timbul suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama' yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. pasti jeleknya? Jawaban yang benar, belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid'ah itu baik dan kapan bid'ah itu jelek? Menurut Imam Syafi'i, sebagai berikut;

اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
"Bid'ah ada dua, bid'ah terpuji dan bid'ah tercela, bid'ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid'ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela".

Sayyidina Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih berjama'ah dengan dua puluh raka'at yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka'ab beliau berkata :

نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِهِ
"Sebagus bid'ah itu ialah ini".

Bolehkah kita mengadakan Bid'ah? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali kepada hadits Nabi SAW. yang menjelaskan adanya Bid'ah hasanah dan bid'ah sayyiah.

مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا. القائى, ج: 5ص: 76.
"Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun".

Apakah yang dimaksud dengan segala bid'ah itu sesat dan segala kesesatan itu masuk neraka?
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
"Semua bid'ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka".

Mari kita pahami menurut Ilmu Balaghah. Setiap benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk.

Mari kita kembali kepada hadits.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
"Semua bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka".

Bid'ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan, حدف الصفة على الموصوف "membuang sifat dari benda yang bersifat". Seandainya kita tulis sifat bid'ah maka terjadi dua kemungkinan: Kemungkinan pertama :
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
"Semua bid'ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka".

Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر

"Semua bid'ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka".

--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)
Judul: Re: Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat(muslim only)
Ditulis oleh: rawWARus pada Maret 22, 2009, 04:52:40 PM
Fasal tentang Bid'ah (2)


Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur'an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya :

وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا (الكهف: 79)
"Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa". (Al-Kahfi : 79).

Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة .

Selain itu, ada pendapat lain tentang bid'ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid'ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari'at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid'ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.

Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai bid'ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu' (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.

Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara' ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid'ah.

Syeikh Zaruq membagi bid'ah dalam tiga macam; pertama, bid'ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid'ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar'i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid'ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid'ah ini merupakan bid'ah paling jelek. Meski bid'ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu', tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid'ah idlafiyah (relasional), yakni bid'ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid'ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid'ah.

Ketiga, bid'ah khilafi (bid'ah yang diperselisihkan), yaitu bid'ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid'ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid'ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama'ah atau soal administrasi.

Hukum bid'ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama'ah, ada lima macam: pertama, bid'ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman syari'ah.

Kedua, bid'ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid'ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid'ah yang hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid'ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.

Dengan penjelasan bid'ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid'ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid'ah yang tidak baik.

--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)


JADI APA MSH DIPERSOALKAN?
Judul: Re: Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat(muslim only)
Ditulis oleh: Cyclops pada Maret 25, 2009, 01:15:19 PM
Nice posting bro :) Dengan adanya penjelasan tentang bid'ah yg gamblang tadi, kita jadi mengerti dan bisa menjadi lebih luwes dalam berhubungan dengan sesama muslim.
Kalo makna bid'ah hanya dipahami secara sempit bisa mempunyai arti segala2 yang baru dilakukan di jaman sekarang, ya masuk neraka dong. Na'udzubillah.. yang artinya kalo kita baca Qur'an malah masuk neraka dong..karena semasa Rasul S.A.W hidup, beliau S.A.W tidak mengaji dengan membaca Qur'an yg sudah berbentuk "buku" seperti sekarang... Apalagi Al Qur'an sekarang sudah "jauh berbeda" isinya dari yang dulu.. kenapa? karena yang sekarang sudah ditambahi titik untuk membedakan huruf ba' dan nun' (yg aslinya tidak ada), ada harokatnya (yang aslinya bahasa Arab gundul), apalagi sekarang Al Qur'annya ada yg versi tajwid alias warna-warni dalam hurufnya.. yang kesemuanya itu tujuannya adalah untuk kebaikan umat sendiri sehingga dapat digolongkan ke dalam Bid'ah hasanah
Wallahu'alam
Judul: Re: Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat(muslim only)
Ditulis oleh: abusalza pada April 02, 2009, 05:37:18 PM
wah yang begini kayaknya kita mesti hati2, bro! soalnya ini menyangkut masalah aqidah. salah2 nanti kita malah menyesatkan >:D ;D

hampir seluruh ulama salaf (terdahulu) yang selalu menempatkan qur'an dan hadits diatas segala2nya pasti mengamini jika bid'ah adalah sesat, tidak ada pemisahan antara bid'ah hasanah atau yang lainnya.

jadi aku hanya sedikit mengomentari (soalnya landasan ilmuku juga sedikit :P)

lain halnya mengenai hal yang dilakukan para shahabat, beberapa ulama membahasnya (fathul bari dan lain-lain) tapi aku agak lupa jadi g bisa memberi dalilnya...
yang aku ingat ada sebuah hadits dari nabi yg kurang lebihnya berbunyi: "ikutilah sunahku dan para shahabatku, serta gigitlah ia dengan gigi gerahammu (maksudnya agar sunah itu tidak terlepas dari dirimu)"
apa2 petunjuk nabi baik ucapan dan perbuatan maka itu adalah sunah, dan yang dilihat dari sahabat maka itu atsar. kita diperintahkan untuk mengikuti sunnah beliau dan para sahabat.
dan beliau juga pernah bersabda: "segala yang baru dalam agama adalah bid'ah, dan bid'ah tempatnya di neraka". semuanya hadits shaih atau hasan, jadi dapat dipergunakan sebagai dalil.

lain halnya dengan maulid. karena nabi pernah berpesan: "janganlah kalian menjadikan hari lahirku menjadi hari raya layaknya kaum nasrani". ini juga shahih. memperingati maulid berarti merayakannya (perayaan, hari raya).

kalo aku sih cari yang safe aja. kalo gak tau hukumnya lebih baik menyingkir :P

wallahu a'lam
Judul: Re: Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat(muslim only)
Ditulis oleh: rawWARus pada April 03, 2009, 05:47:45 AM
Kutip dari: abusalza pada April 02, 2009, 05:37:18 PM

yang aku ingat ada sebuah hadits dari nabi yg kurang lebihnya berbunyi: "ikutilah sunahku dan para shahabatku, serta gigitlah ia dengan gigi gerahammu (maksudnya agar sunah itu tidak terlepas dari dirimu)"
apa2 petunjuk nabi baik ucapan dan perbuatan maka itu adalah sunah, dan yang dilihat dari sahabat maka itu atsar. kita diperintahkan untuk mengikuti sunnah beliau dan para sahabat.
dan beliau juga pernah bersabda: "segala yang baru dalam agama adalah bid'ah, dan bid'ah tempatnya di neraka". semuanya hadits shaih atau hasan, jadi dapat dipergunakan sebagai dalil.

lain halnya dengan maulid. karena nabi pernah berpesan: "janganlah kalian menjadikan hari lahirku menjadi hari raya layaknya kaum nasrani". ini juga shahih. memperingati maulid berarti merayakannya (perayaan, hari raya).

kalo aku sih cari yang safe aja. kalo gak tau hukumnya lebih baik menyingkir :P

wallahu a'lam

Nah anda saja mengamini spt kata anda diatas , "ikutilah sunahku dan shahabatku", jika shahabat Rosul jg melakukannya dan itu tidak bertentangan dgn syariat knp tidak?
klo anda ga tahu ya mending ngaji lagi donk, jgn cuma nerima ilmu cuma sedikit and cuma dari salah satu sisi, coba mengaji dari kedua pendapat ulama, dan dalam mempelajarinya buka hati jgn menaruh curiga dan benci dahulu...
Judul: Re: Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat(muslim only)
Ditulis oleh: abusalza pada April 03, 2009, 10:18:32 AM
karena itu aku bilang maaf ilmuku cuma sedikit... dan masalah ini adalah aqidah yang harus hati2 dalam memutuskan.
berguru dengan ulama manapun dari dua golongan haruslah mengambil hukumnya dari Qur'an, Sunnah dan Atsar. jika mereka benar2 telah mengambil dari yang tersebut diatas pastilah hanya ada satu jawabannya.
jika kita merujuk lebih banyak hadits, tentunya yang disebutkan tentang azan 2 kali, tarawih berjama'ah, semuanya pernah dilakukan pada zaman nabi masih hidup. jadi itu bukanlah bid'ah seperti yang kita sangkakan.
kita harus tau darimana seseorang mengambil sumber hukumnya sebelum belajar dengan orang tersebut.
biar lebih afdolnya merujuk [pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.], ya :)
Judul: Re: Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat(muslim only)
Ditulis oleh: utusan langit pada April 03, 2009, 01:09:02 PM
sepertinya memang yang menyangkut aqidah seperti ini, memang harus berhati-hati!
jangan sembarangan!
lebih baik gurukan saja, jangan hanya dikira-kira! :D :D :D
Judul: Re: Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat(muslim only)
Ditulis oleh: rawWARus pada April 04, 2009, 11:38:02 AM
ok dh...hehehe...
Judul: Re: Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat(muslim only)
Ditulis oleh: nurR pada April 10, 2009, 06:58:07 AM
Amal itu ada keduniaan ada ibadah (akherat)

keduniaan tuh boleh berubah sesuai perkembangan zaman
sedangkan ibadah harus murni dari zaman Nabi. Tak boleh ada perubahan. Jadi semua ibadah harus ada dalil dari Alquran dan hadits.

Menurutku pembukuan Quran hanyalah amal keduniaan yang bertujuan pemeliharaan Quran jangka panjang. Karena para hafizh (penghafal quran) banyak yang mati syahid dalam peperangan.


dagh sgitu aja .......
Judul: Re: Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat(muslim only)
Ditulis oleh: rawWARus pada April 12, 2009, 12:26:56 AM
tapi menurutku selama inti sarinya ada dalam alquran dan khadist sih ga pa2 dh...
Judul: Re: Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat(muslim only)
Ditulis oleh: satya pada April 12, 2009, 03:49:52 PM
,,,, lalu apa yang dimaksud dengan ijtihad??
setelah Rasul wafat banyak yang bilang suatu amalan itu bid'ah ( sia sia.)..
Judul: Re: Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat(muslim only)
Ditulis oleh: Cyclops pada April 13, 2009, 08:34:19 AM
Kutipنِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِهِ
"Sebagus bid'ah itu ialah ini".
Dalam perkataan Sayyidina Umar tersebut, apakah menjelaskan bahwa beliau R.A telah mengetahui bahwa Bid'ah memang ada yang baik dan buruk ?? Karena jika ada sebagus2nya bid'ah tentu ada sejelek2nya bid'ah ?
Mohon penjelasan dari hadits Rasul S.A.W yang menyatakan:
‏من سن في الإسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل أجر من عمل بها ولا ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من أوزارهم شيء

"Barang siapa merintis dalam Islam pekerjaaan yang baik kemudian dilakukan oleh generasi setelahnya, maka ia mendapatkan sama dengan orang melakukannya tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barangsiapa merintis dalam Islam pekerjaan yang tercela, kemudian dilakukan oleh generasi setelahnya, maka ia mendapatkan dosa orang yang melakukannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun" (H.R. Muslim).

 
Judul: Re: Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat(muslim only)
Ditulis oleh: binekas pada April 20, 2009, 01:22:48 PM
Saya tidak setuju dengan penamaan bahwa bi'dah itu dibagi-bagi seperti yang dari awal dibahas. Rasulullah saw pernah bersabda kalo setiap bid'ah itu adalah sesat dan sesat itu tempatnya di neraka. Adapun dengan hal keduniawian Raslulullah saw memberikan kebebasan karena manusia lebih tau dengan dunianya. Namun, apabila menyangkut masalah ibadah maka tidak ada yang patut kita tiru kecuali Allah dan Rasulullah saw.
Judul: Re: Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat(muslim only)
Ditulis oleh: Cyclops pada April 21, 2009, 01:08:56 PM
Imam Nawawi r.a berkata : "Para ulama menyatakan bahwa bid'ah itu terbagi lima, yaitu:1) bid'ah wajib (bid'ah yang harus dilakukan demi menjaga terwujudnya kewajiban yang telah ditetapkan Allah e.g: mengumpulkan ayat2 Al-Qur'an,memberi titik dan harakat pada Al qur'an,membukukan hadis-hadis Nabi s.a.w seperti yang dilakukan para imam Hadis,menulis buku2 tafsir Al-Qur'an demi menghindari salah penafsiran, membuat buku2 fikih agar hukum agama dapat diterapkan lebih baik dan mudah; 2) bid'ah haram (bid'ah yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadis Nabawi e.g: Sholat tidak menggunakan bhs Arab, membuat haji tandingan(bukan ke Mekkah tapi ke tempat lain)seperti beberapa masyarakat kita di Sulawesi,menambah atau mengurangi isi ayat2 Al-Qur'an; 3) Bid'ah sunah (bid'ah yg sesuai dengan Al-Qur'an dan bersifat untuk menghidupkan sunah Nabi S.A.W eg: sholat Tarawih di masjid satu bulan penuh, menmbah adzan pertama sholat Jum'at,Khutbah Jum'at dgn bhs Arab pada rukunnya saja dan setelah itu menggunakan bhs Indonesia agar mudah dipahami, membuat Al-Qur'an dalam CD; 4) bid'ah Makruh e.g:membaca Basmallah ketika akan merokok; 5)Bid'ah Mubah(bid'ah yg tidakbertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadis e.g:membangun rumah yg megah dan luas, melancong ke luar negeri, pergi haji dengan pesawat.
Wallahu'alam
Dikutip dari: Naufal bin Muhammad Alaydrus, Mana Dalilnya 1, Taman Ilmu, Surakarta 2006.
Judul: Re: Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat(muslim only)
Ditulis oleh: rawWARus pada April 27, 2009, 12:18:32 PM
terkadang suatu khadist/sunnah itu perlu dipahami secara mendalam, jangan ditelan mentah2, dan inilah yg kadang menyebabkan adanya khilafiyah antara ulama
Judul: Re: Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat(muslim only)
Ditulis oleh: shafura ren pada April 02, 2010, 11:43:03 PM
Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuhu


PENJELASAN KAIDAH-KAIDAH DALAM MENGAMBIL DAN MENGGUNAKAN DALIL


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Kelima dari Enam Tulisan 5/6




Penjelasan Kaidah Kesepuluh

?Setiap Perkara Baru yang Tidak Ada Sebelumnya di Dalam Agama Adalah
Bid?ah. Setiap Bid?ah Adalah Kesesatan dan Setiap Kesesatan
Tempatnya di Neraka.?

[A]. Pengertian Bid?ah.

Bid?ah berasal dari kata al-ikhtira? yaitu yang baru yang dicip-
takan tanpa ada contoh sebelumnya.[1]

Bid?ah secara bahasa adalah hal yang baru dalam agama setelah agama
ini sempurna[2]. Atau sesuatu yang dibuat-buat setelah wa-fatnya
Nabi j berupa kemauan nafsu dan amal perbuatan. [3] Bila dikatakan: ?
Aku membuat bid?ah, artinya melakukan satu ucapan atau perbuatan
tanpa adanya contoh sebelumnya..? Asal kata bid?ah berarti
menciptakan tanpa contoh sebelumnya[4]. Di antaranya adalah firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Artinya : Allah pencipta langit dan bumi...? [Al-Baqarah : 117]

Yakni, bahwa Allah menciptakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya.
[5]

Bid?ah menurut istilah memiliki beberapa definisi di kalangan para
ulama yang saling melengkapi.

Di antaranya:

Al-Imam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah.

Beliau Rahimahullah mengungkapkan: ?Bid?ah dalam Islam adalah segala
yang tidak disyari?atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yakni yang tidak
diperintahkan baik dalam wujud perintah wajib atau bentuk anjuran.[6]

Bid?ah itu sendiri ada dua macam: Bid?ah dalam bentuk ucapan atau
keyakinan, dan bentuk lain dalam bentuk perbuatan dan ibadah. Bentuk
kedua ini mencakup juga bentuk pertama, sebagaimana bentuk pertama
dapat menggiring pada bentuk yang kedua. [7] Atau dengan kata lain,
hukum asal dari ibadah adalah dilarang, kecuali yang disyari?atkan.
Sedangkan hukum asal dalam masalah keduniaan dibolehkan kecuali yang
dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Asal dari ibadah adalah tidak disyai?atkan, kecuali yang telah
disyari?atkan oleh Allah Azza wa Jalla. Dan asal dari kebiasaan
adalah tidak dilarang, kecuali yang dilarang oleh Allah[8]. Atau
dengan kata lain, hukum asal dari ibadah adalah dilarang, kecuali
yang disyari?atkan. Sedangkan hukum asal masalah keduniaan adalah
dibolehkan, kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Beliau (Ibnu Taimiyah Rahimahullah) juga menyatakan: ?Bid?ah adalah
yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau ijma? para Ulama as-Salaf berupa
ibadah maupun keyakinan, seperti pandangan kalangan al-Khawarij,
Rafidhah, Qadariyah, Jahmiyah, dan mereka yang beribadah dengan
tarian dan nyanyian dalam masjid. Demikian juga mereka yang
beribadah dengan cara mencukur jenggot, mengkonsumsi ganja dan
berbagai bid?ah lainnya yang dijadikan sebagai ibadah oleh sebagian
golongan yang berten-tangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Wallaahu a?lam.?[9]

Imam Asy-Syathibi (wafat tahun 790 H) Rahimahullah.[10]

Beliau menyatakan: "Bid?ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat
menyerupai syari?at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam
beribadah kepada Allah".

Ungkapan ?cara baru dalam agama? itu maksudnya, bahwa cara yang
dibuat itu disandarkan oleh pembuatnya kepada agama. Tetapi
sesungguhnya cara baru yang dibuat itu tidak ada dasar pedomannya
dalam syari?at. Sebab dalam agama terdapat banyak cara, di antaranya
ada cara yang berdasarkan pedoman asal dalam syari?at, tetapi juga
ada cara yang tidak mempunyai pedoman asal dalam syari?at. Maka,
cara dalam agama yang termasuk dalam kategori bid?ah adalah apabila
cara itu baru dan tidak ada dasarnya dalam syari?at.

Artinya, bid?ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari
syari?at. Sebab bid?ah adalah sesuatu yang keluar dari apa yang
telah ditetapkan dalam syari?at.

Ungkapan ?menyerupai syari?at? sebagai penegasan bahwa sesuatu yang
diada-adakan dalam agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam
syariat, bahkan bertentangan dengan syari?at dari beberapa sisi,
seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam
syari?at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang dalam syari?
at tidak ada ketentuannya.

Ungkapan ?untuk melebih-lebihkan dalam beribadah kepada Allah?,
adalah pelengkap makna bid?ah. Sebab demikian itulah tujuan para
pelaku bid?ah. Yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena
manusia diciptakan Allah hanya untuk beribadah kepadaNya seperti
disebutkan dalam firmanNya : ?Dan Aku tidak menciptkan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu? [Adz-Dzariyaat :
56]. Seakan-akan orang yang membuat bid?ah melihat bahwa maksud
dalam membuat bid?ah adalah untuk beribadah seba-gaimana maksud ayat
tersebut, dan dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari?
at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum mencukupi sehingga
dia berlebih-lebihan dan menambahkan serta dia mengulang-ulanginya.
[11]

Beliau Rahimahullah juga mengungkapkan definisi lain: ?Bid?ah adalah
satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuknya menyerupai
ajaran syari?at yang ada, tujuan dilaksanakannya adalah sebagaimana
tujuan syari?at.? [12]

Beliau menetapkan definisi yang kedua tersebut, bahwa kebiasaan itu
bila dilihat sebagai kebiasaan biasa tidak akan mengan-dung kebid?
ahan apa-apa, namun bila dilakukan dalam wujud ibadah, atau
diletakkan dalam kedudukan sebagai ibadah, ia bisa dimasuki oleh bid?
ah. Dengan cara itu, berarti beliau telah meng-korelasikan berbagai
definisi yang ada. Beliau memberikan contoh untuk kebiasaan yang
pasti mengandung nilai ibadah, seperti jual beli, pernikahan,
perceraian, penyewaan, hukum pidana,... karena semuanya itu diikat
oleh berbagai hal, persyaratan dan kaidah-kaidah syariat yang tidak
menyediakan pilihan lain bagi seorang muslim selain ketetapan baku
itu. [13]

Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali Rahimahullah[14] (wafat th. 795
H).

Beliau Rahimahullah menyebutkan: ?Yang dimaksud dengan bid?ah adalah
yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari?at yang
mengindikasikan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syari?
at yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari?at tidaklah
dikatakan sebagai bid?ah, meskipun secara bahasa dikata-kan bid?ah.
Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu menisbatkannya
kepada ajaran agama, namun tidak memiliki landasan dari ajaran agama
yang bisa dijadikan sandaran, berarti itu adalah kesesatan. Ajaran
Islam tidak ada hubungannya dengan bid?ah semacam itu. Tak ada
bedanya antara perkara yang berkaitan dengan keyakinan, amalan
ataupun ucapan, lahir maupun batin.

Terdapat beberapa riwayat dari sebagian Ulama Salaf yang menganggap
baik sebagian perbuatan bid?ah, padahal yang dimaksud tidak lain
adalah bid?ah secara bahasa, bukan menurut syari?at.

Contohnya adalah ucapan Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu,
ketika beliau mengumpulkan kaum Muslimin untuk melaksanakan shalat
malam di bulan Ramadhan (Shalat Terawih) dengan mengikuti satu imam
di masjid. Ketika beliau Radhiyallahu 'anhu keluar, dan melihat
mereka shalat berjamaah. Maka beliau Radhiyallahu 'anhu berkata: ?
Sebaik-baiknya bid?ah adalah yang semacam ini.? [15]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264
Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]


semoga membantu........
selanjutnya dapat dicari di situs [pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]
Judul: Re: Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat(muslim only)
Ditulis oleh: anggik2002 pada April 28, 2010, 10:57:06 AM
hat
Kutip dari: rawWARus pada April 03, 2009, 05:47:45 AM
Kutip dari: abusalza pada April 02, 2009, 05:37:18 PM

yang aku ingat ada sebuah hadits dari nabi yg kurang lebihnya berbunyi: "ikutilah sunahku dan para shahabatku, serta gigitlah ia dengan gigi gerahammu (maksudnya agar sunah itu tidak terlepas dari dirimu)"
apa2 petunjuk nabi baik ucapan dan perbuatan maka itu adalah sunah, dan yang dilihat dari sahabat maka itu atsar. kita diperintahkan untuk mengikuti sunnah beliau dan para sahabat.
dan beliau juga pernah bersabda: "segala yang baru dalam agama adalah bid'ah, dan bid'ah tempatnya di neraka". semuanya hadits shaih atau hasan, jadi dapat dipergunakan sebagai dalil.

lain halnya dengan maulid. karena nabi pernah berpesan: "janganlah kalian menjadikan hari lahirku menjadi hari raya layaknya kaum nasrani". ini juga shahih. memperingati maulid berarti merayakannya (perayaan, hari raya).

kalo aku sih cari yang safe aja. kalo gak tau hukumnya lebih baik menyingkir :P

wallahu a'lam

Nah anda saja mengamini spt kata anda diatas , "ikutilah sunahku dan shahabatku", jika shahabat Rosul jg melakukannya dan itu tidak bertentangan dgn syariat knp tidak?
klo anda ga tahu ya mending ngaji lagi donk, jgn cuma nerima ilmu cuma sedikit and cuma dari salah satu sisi, coba mengaji dari kedua pendapat ulama, dan dalam mempelajarinya buka hati jgn menaruh curiga dan benci dahulu...

hati2 ya klo ngomong, ntar jd takabur, mari "Kita" sama2 ngaji, jangan hanya nyuruh orang lain aja! Cos ilmu Qta itu kayak setetes air di lautan.