Forum Sains Indonesia

Diskusi Umum => Agama dan Filosofi => Topik dimulai oleh: Farabi pada Juli 01, 2010, 06:11:13 AM

Judul: Sebuah jawaban pada pertanyaan saya
Ditulis oleh: Farabi pada Juli 01, 2010, 06:11:13 AM
@Farabi
Saya pinjam barang, kemudian barang tersebut dipinjam orang, bagaimana hukumnya?
Saya dititipi barang, kemudian barang tersebut dicuri orang. Bagaimana hukumnya?
Menurut hukum kasih tentu saja.


Mungkin Prinsip2 di bawah ini bisa menjelaskan ttg menjadi penanggung Utang orang lain

UTANG Yang dimaksud dengan utang ialah sesuatu yang dipinjam, kewajiban untuk membayar atau memberikan sesuatu. Di Israel kuno, orang berutang terutama karena mengalami kesulitan keuangan. Bagi orang Israel, berutang merupakan kemalangan; pada dasarnya, si peminjam menjadi hamba orang yang meminjamkan. (Ams 22:7) Karena itu, umat Allah diperintahkan untuk bermurah hati dan tidak mementingkan diri dalam memberikan pinjaman kepada sesama orang Israel yang kekurangan, tidak mencari keuntungan dari kesusahan mereka dengan menarik bunga. (Kel 22:25; Ul 15:7, 8; Mz 37:26; 112:5) Tetapi orang asing dapat diminta untuk membayar bunga. (Ul 23:20) Para komentator Yahudi berpendapat bahwa ketentuan ini berlaku atas pinjaman untuk bisnis, bukan untuk kebutuhan yang mendesak. Biasanya orang asing berada di Israel untuk sementara waktu saja, sering kali sebagai pedagang, dan masuk akal apabila mereka diharapkan untuk membayar bunga, teristimewa karena mereka juga memberikan pinjaman kepada orang lain dengan bunga.

Kadang-kadang ada pihak ketiga yang akan memikul tanggung jawab, atau menjadi penjamin, bagi orang yang berutang. Buku Amsal (6:1-3; 11:15; 17:18; 22:26) berulang kali memberikan peringatan terhadap praktek ini, sebab orang yang menjadi penjamin akan menderita kerugian andaikata si peminjam tidak dapat melunasi utangnya.

Pandangan orang Kristen pada abad pertama terhadap utang dinyatakan di Roma 13:8, "Jangan berutang apa pun kepada siapa saja, kecuali mengasihi satu sama lain."

Hukum Melindungi Orang yang Meminjamkan dan si Peminjam. Di bawah Hukum Musa, bahkan seorang pencuri dituntut untuk membayar utang yang timbul akibat perbuatan salahnya. Jika ia tidak dapat membayar, ia harus dijual untuk dijadikan budak. (Kel 22:1, 3) Jadi si korban merasa pasti akan mendapat ganti rugi untuk hartanya yang hilang.

Orang Israel yang setia mengakui bahwa melunasi utang adalah tuntutan ilahi. (Mz 37:21) Dengan demikian, pemberi utang dapat merasa yakin bahwa ia akan dibayar kembali. Orang Israel yang tidak mempunyai aset materi dapat menjual dirinya sendiri atau anak-anaknya sebagai budak untuk melunasi utangnya.—Kel 21:7; Im 25:39; bdk. 2Raj 4:1-7.

Di pihak lain, Hukum juga melindungi orang yang berutang. Seorang kreditor tidak dapat memasuki rumah orang yang berutang dan merampas barang jaminan tetapi harus menunggu di luar sampai barang itu dibawa kepadanya oleh orang yang berutang itu. (Ul 24:10, 11) Pakaian seorang janda atau barang keperluannya, seperti kilangan tangan atau batu gilingan bagian atas, tidak boleh dirampas untuk dijadikan jaminan. (Ul 24:6, 17) Pada umumnya orang miskin hanya mempunyai satu pakaian luar (mantel), yang mereka kenakan juga untuk tidur, maka jika pakaian ini diambil sebagai jaminan, pemberi utang harus mengembalikannya pada waktu matahari terbenam.—Kel 22:26, 27; Ul 24:12, 13.

Seperti ditunjukkan dalam Ulangan 15:1-3, tampaknya pada tahun Sabat (setiap tahun ketujuh) kreditor tidak boleh menekan sesama orang Israel agar melunasi utangnya. Orang Israel yang menjalankan Sabat hampir tidak mendapat hasil apa-apa dari tanahnya, tetapi sebaliknya, orang asing terus memperoleh penghasilan dari pekerjaannya yang nonagraris. Maka, masuk akal apabila ia dapat ditekan untuk membayar utang pada tahun Sabat. Menjelang tahun Sabat, ada orang Israel yang mungkin tidak bersedia memberikan pinjaman kepada saudara-saudaranya yang kekurangan karena ia tahu bahwa ia tidak boleh memaksanya untuk melunasi utangnya. Tetapi Hukum mengutuk perbuatan yang mementingkan diri demikian.—Ul 15:9.

Pada tahun Yobel (setiap tahun ke-50) para budak Ibrani dimerdekakan; semua milik pusaka, kecuali rumah-rumah di kota-kota bertembok yang sebelumnya bukan milik orang Lewi, harus dikembalikan kepada pemilik yang semula. Pengaturan ini mencegah keluarga-keluarga Israel terpuruk ke dalam utang dan kemiskinan tanpa harapan. Bahkan jika orang salah mengelola asetnya, milik pusaka bagi keluarganya tidak akan hilang untuk selamanya.—Im 25:10-41.

Jika hukum Allah benar-benar diikuti, ekonomi bangsa Israel akan stabil, bebas dari utang nasional dan utang pribadi yang besar. Orang Israel mendapat jaminan, "Sebab Yehuwa, Allahmu, akan memberkati engkau sebagaimana yang ia janjikan kepadamu, dan engkau akan memberi pinjaman kepada banyak bangsa dengan jaminan, sedangkan engkau sendiri tidak akan meminjam."—Ul 15:6.

Penyalahgunaan.
Seraya Israel tergelincir ke dalam haluan ketidaksetiaan, orang-orang miskin yang berutang ikut menderita. Fakta bahwa ada orang-orang berutang yang menggabungkan diri dengan Daud ketika ia menjadi buronan menunjukkan bahwa mereka ditekan keras oleh para kreditor. (1Sam 22:2) Memberikan pinjaman dengan bunga kepada sesama orang Israel tampaknya menjadi hal yang umum. (Yes 24:2) Melalui Amos, nabi-Nya, Yehuwa mengutuk Israel karena menjual "orang yang miskin seharga sepasang kasut". (Am 2:6) Melalui Yehezkiel, Ia juga mencela orang Israel karena menarik bunga dan dengan curang menarik keuntungan dari rekan-rekan mereka.—Yeh 22:12.

Setelah Israel kembali dari pembuangan di Babilon, situasi yang memprihatinkan berkembang di kalangan orang Yahudi karena mereka tidak menaati hukum Allah tentang memberikan pinjaman tanpa bunga kepada sesama orang Israel yang miskin. Pada zaman Nehemia, banyak orang Yahudi terpaksa menyerahkan rumah, ladang, dan bahkan putra-putri mereka sebagai jaminan. Akan tetapi, setelah Nehemia memberikan nasihat untuk memperbaiki keadaan, orang-orang yang memberikan pinjaman setuju untuk mengembalikan jaminan kepada mereka yang berutang dan memberikan pinjaman tanpa bunga.—Neh 5:1-13.