Sebuah Kritik untuk Dokumentasi Bahasa

<h3 style="text-align: justify;">Dokumentasi Bahasa</h3> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Hari Bahasa Ibu Internasional selalu dipenuhi narasi-narasi mengenai pemertahanan bahasa, dan praktik dari pemertahanan bahasa yang paling menonjol adalah Dokumentasi Bahasa. Menurut P. Himmelmann, tujuan dokumentasi bahasa adalah untuk menyediakan rekaman karakteristik praktik linguistik yang komprehensif dari suatu komunitas penutur. Secara mendasar, <strong>dokumentasi bahasa</strong> berbeda dengan <strong>deskripsi bahasa</strong> yang bertujuan untuk merekam sebuah bahasa sebagai sebuah sistem elemen, konstruksi, dan aturan yang abstrak.</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Proses dokumentasi bahasa adalah sebagai berikut: pertama, menemukan orang yang bisa berperan sebagai guru bahasa, atau konsultan bahasa, atau &lsquo;narasumber&rsquo;, dan bekerjasama dengan mereka untuk mempelajari bahasa yang akan didokumentasikan. Kedua, kata-kata dan ekspresi direkam, ditranskrip, dan dianalisis untuk mengetahui struktur dan fungsi bahasa yang bersangkutan. Selain kata-kata dan ekspresi, pencarian data juga dilakukan dengan mengumpulkan teks-teks, seperti cerita, sejarah pribadi, penjelasan mengenai aktivitas kultural, pidato dan bentuk-bentuk teks yang lain, termasuk puisi dan lagu. Biasanya, fokus pendokumentasian bahasa adalah percakapan atau ekspresi-tulis. Dengan demikian, bentuk dokumentasinya bisa berupa tulisan, video, dan audio. Semua hasil rekaman akan ditranskrip, dianalisis, dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa yang komunitas penuturnya lebih banyak sehingga bisa digunakan untuk tujuan yang lebih luas.</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Kenapa sampai ada dokumentasi bahasa? Kenapa orang-orang mau repot melakukan penelitian bertahun-tahun untuk merekam bahasa kelompok penutur tertentu? Secara formal, ada tren yang berkembang di dunia bahasa, yaitu kepunahan bahasa. Bahasa dikatakan punah jika penutur terakhir bahasa itu telah meninggal; bahasa dikatakan hampir punah jika penggunaannya mengalami penurunan drastis. Yang kedua ini biasanya disebabkan oleh ketidakmampuan generasi muda penutur suatu bahasa untuk menjadi penutur aktif. Berdasarkan data dari UNESCO (2009), lebih dari 200 bahasa telah punah selama tiga generasi terakhir; 583 bahasa hampir punah; 502 bahasa sangat cepat punah; 632 bahasa pasti punah; dan 607 bahasa tidak terselamatkan. Keprihatinan atas gejala ini membuat pemerintah, LSM-LSM, pusat-pusat budaya, ilmu pengetahuan dan pendidikan membangun kerjasama menyelamatkan bahasa.</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">***</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Saya sangat heran: kenapa kematian bahasa tidak dibiarkan saja? Bukankah kematian bahasa adalah sesuatu yang wajar? Bukankah, menurut beberapa ahli bahasa, jumlah bahasa di dunia ini memang akan mengerucut? (Beberapa ahli bahasa berteori bahwa jumlah bahasa manusia awalnya sedikit, bahkan hanya satu. Seiring penyebaran manusia, jumlah bahasa meningkat. Di kondisi mutakhir ini, karena perkembangan teknologi, khususnya internet, dan tak terbendungnya globalisasi, jumlah bahasa yang dipakai mengalami perampingan). Jika demikian, bukankah bahwa bahasa yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan manusia akan mati sudah menjadi takdir? Namun, saya juga berpikir: apa salahnya pendokumentasian bahasa? Apa salahnya produk budaya didokumentasikan? Bukankah ia akan abadi, bisa dipelajari sebagai hasil peradaban budaya kelompok manusia tertentu?</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Dan inilah yang dikatakan oleh Vigdis Finnbogadottir, Duta Bahasa UNESCO:<em> Setiap orang kehilangan jika sebuah bahasa lenyap karena kemudian sebuah bangsa dan budaya kehilangan ingatan mereka, dan juga (kehilangan) permadani rumit yang menjadi penjalin dunia dan yang membuat dunia menjadi tempat yang menyenangkan.</em></p> <div style="text-align: justify;"> </div> <h3 style="text-align: justify;">Perjuangan Mempromosikan Bahasa</h3> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Tidak bisa lain, di Hari Bahasa Ibu Internasional ini, ingatan kita akan tertuju pada <em>Ekushey </em>(istilah bahasa Bengali yang bermakna harfiah &lsquo;21 Februari 1952&prime;). Pikiran kita akan menjelajah ke tahun-tahun ketika sebagian besar negara jajahan memerdekaan dirinya. Pun di Asia Selatan.</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Di tahun 1947, Inggris <em>terpaksa </em>angkat kaki dari Pakistan. Negara baru ini bisa diibaratkan memiliki dua blok masyarakat (sebutlah, Pakistan Timur dan Pakistan Barat). Kedua blok masyarakat ini berbeda dalam suku dan bahasa. Blok pertama, Pakistan Timur, dihuni oleh masyarakat yang sebagian besar berbahasa Bengali. Orang-orang yang tinggal di wilayah barat berbahasa Punjabi, Pasthu, Sindhi, dan Urdu. Sebagai bagian dari identitas baru negara-bangsa, bahasa nasional harus dicipta. Karena banyak pemimpin politik Pakistan berasal dari Pakistan Barat, diambillah keputusan untuk menjadikan bahasa Urdu sebagai bahasa nasional. Kebijakan ini mengabaikan keinginan penduduk Pakistan Timur, yang jumlahnya lebih dari 50% dari seluruh penduduk Pakistan, untuk menjadikan bahasa Bengali salah satu bahasa nasional.</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Ekushey adalah peristiwa berdarah yang terjadi karena tindakan beringas polisi Pakistan dalam menyikapi demonstrasi memperjuangkan bahasa Bengali. Tiga orang demonstran meninggal dunia. Peristiwa ini membuat masyarakat kota mendirikan sebuah tugu peringatan, yang kemudian diratakan oleh polisi, dan memicu timbulnya demonstrasi dan penembakan lagi.</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Perjuangan bahasa gaya Ekushey adalah perjuangan yang umum ada dalam narasi sejarah kemerdekaan suatu bangsa. Para pejuang kemerdekaan merasa bahwa kontrol atas bahasa masih merupakan instrumen potensial untuk menguasai budaya. Dalam sejarah penjajahan, penguasaan atas budaya melalui bahasa dilakukan dengan cara mengganti bahasa lokal, atau dengan cara menanamkan bahasa penjajah ke daerah jajahan.</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Bahasa menyediakan istilah-istilah untuk mengetahui dan menamai dunia. Bahasa merupakan dunia. Dalam perjuangan linguistik anti-penjajahan, beberapa cara dilakukan untuk melakukan perlawanan, yaitu: menolak menggunakan bahasa penjajah (seperti yang dilakukan Ngugi wa Thiong&rsquo;o di Afrika) atau menggunakan bahasa penjajah untuk kepentingan masyarakat terjajah (seperti yang dilakukan oleh Chinua Achebe di Afrika dan Raja Rao di India).</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Ekushey adalah simbol dari &lsquo;usaha menggunakan bahasa sendiri guna menyampaikan semangat diri&rsquo;. Konteksnya memang bukan konfrontasi bahasa negara terjajah dan negara penjajah, tetapi kesatuan suatu bangsa yang diwakili oleh penggunaan bahasa.&nbsp; Penutur bahasa Bengali sebagai bagian dari rakyat Pakistan waktu itu (tahun 1972 daerah Pakistan timur ini memerdekakan diri dengan nama Bangladesh) ingin akar budayanya menjadi bagian eksplisit dari negara-bangsa Pakistan. Penutur bahasa ini sadar bahwa bahasa yang diperjuangkan merupakan bagian dari sebuah perjuangan besar: keadilan budaya.</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <h3 style="text-align: justify;">Ekushey dan Dua Contoh Lain dari Perjuangan Bahasa</h3> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;"><strong> </strong></p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Apa yang terjadi di Pakistan tahun 1952 itu bisa saja terjadi di Indonesia beberapa tahun sebelumnya jikalau negara Indonesia tidak memiliki sejarah panjang penggunaan bahasa Melayu sebagai<em> lingua franca</em>. Terlepas dari pendikotomian tinggi-rendah di bahasa Melayu, buah dari pengaturan yang dibuat oleh Charles van Ophuysen dari melayu Riau, dan penstandaran bahasa melayu tinggi oleh balai pustaka, tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat Nusantara memang sudah terbiasa menggunakan bahasa perantara. Inilah yang justru menjadi kekuatan pemersatuan diri dalam bahasa di sejarah perjuangan Indonesia. Orang Indonesia menyepakati bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan (seperti yang tertulis dalam butir ketiga Sumpah Pemuda 1928).</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Dan tragedi di Pakistan itu juga bisa terjadi di Afrika Selatan karena keragaman bahasa dari masyarakatnya. Namun, itu tidak terjadi. Afrika Selatan menyepakati lebih dari satu bahasa nasional, tepatnya 11 bahasa. Bahasa penjajah, bahasa Inggris, masuk menjadi salah satu bahasa nasionalnya. Keputusan memberlakukan lebih dari satu bahasa nasional ini dilakukan untuk mengakomodasi beragamnya bahasa di sana, dan juga mencegah perang saudara. Bahasa Inggris dibakukan juga karena alasan yang sama. Berbeda dengan di India atau Pakistan atau Indonesia, masyarakat kulit putih tidak hengkang begitu saja, pun ketika Afrika Selatan merdeka secara demokratis tahun 1994 dengan kepemimpinan Nelson Mandela. Maka, penutur bahasa Inggris juga menjadi bagian dari negara-bangsa Afrika Selatan.</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <h3 style="text-align: justify;">Dokumentasi Bahasa dan Ekushey</h3> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Cukup jelas bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat penutur bahasa Bengali dan apa yang dilakukan oleh para pendokumentasi bahasa memiliki persamaan mendasar: keduanya paham bahwa bahasa adalah alat untuk menyatakan diri, alat untuk memahami dunia, dan merupakan bagian penting (bahkan pada konteks tertentu, misalnya perjuangan kemerdekaan, mungkin yang terpenting) dalam kebudayaan. Keduanya membicarakan dan melakukan pemertahanan bahasa.</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Namun, ada hal lain yang saya pikir perlu dibicarakan di sini, yaitu nada &lsquo;budaya&rsquo; yang begitu ditekankan dalam narasi pendokumentasian bahasa. Pidato duta bahasa UNESCO yang telah saya tulis di atas adalah rujukannya; dan ratapannya mengenai pemertahanan budaya melalui pemertahanan bahasa dalam kutipan pidatonya itu juga diamini oleh para pendokumentasi bahasa, entah yang dari pemerintah semacam Pusat Bahasa maupun LSM semacam CELD Papua (sikap Pusat Bahasa dapat dilihat dari, misalnya, makalah yang dibuat oleh Wati Kurniawati berjudul <em>Menyelamatkan Bahasa Ibu dari Kepunahan </em> dan narasi CELD dapat dilihat secara lengkap di situs-web resminya).</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Dalam tiga contoh perjuangan bahasa di atas (Bengali di Pakistan, Bahasa Indonesia di Indonesia, dan 11 bahasa di Afrika Selatan), kata <em>budaya</em> tidak menjadi nada dominan. Perjuangan itu lebih merupakan perjuangan yang menjadi satu bagian dari perjuangan yang lebih besar: kemerdekaan dan persatuan suatu bangsa.</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Perbedaan nada dasar ini patut dikaji alasannya.</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">***</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Mari kita ambil perbedaan lain dulu sebelum mencoba menjawabnya. Bahasa Bengali dan Bahasa Indonesia diperjuangkan oleh masyarakatnya sendiri; dokumentasi bahasa, kebanyakan, dilakukan oleh orang luar (ahli bahasa dari luar komunitas penutur). Perbedaan ini penting mengingat pada akhirnya kita akan berbicara mengenai klaim ilmu, mengenai gerbang akhir justifikasi atas keabsahan ilmu, mengenai siapa ahli apa, mengenai siapa menguasai apa menguasai siapa.</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Pertanyaan mendasarnya: kenapa budaya? Kenapa bukan politik? Apakah karena budaya sudah terpisah dari politik maka ia bisa berdiri sendiri terlepas dari realitas politik yang melingkupinya? Apakah penutur suatu bahasa bisa habis dan perlu diperjuangkan dari luar jikalau tidak ada perjuangan bahasa nasional yang meminggirkan bahasa daerah, jikalau ekspansi ekonomi sistem kapitalis tidak masuk ke&nbsp; gunung-gunung dan menghancurkan sistem ekonomi lokal? Kalau budaya suatu suku bangsa penutur itu dilestarikan oleh orang luar, pelestarian itu dilakukan untuk kepentingan siapa? Apakah pelestarian dari luar ini tidak lain dan tidak bukan adalah bentuk kegilaan atas yang eksotis, yang harmonis, dan Liyan yang belum dikenal &mdash; seperti kegilaan para peneliti barat sejak beberapa abad silam?</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Saya akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan di atas dan membiarkan beberapa ruang di antaranya menganga, untuk menjadi tanggungjawab kita bersama untuk menelitinya. </p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Penelitian atas apa yang disebut &lsquo;budaya&rsquo; sudah sejak lama dilakukan di dunia ini - dari <em>Java Instituut </em>di Jawa, penelitian bangsa Maori di Selandia Baru hingga, lebih awal lagi, penelitian Mesir oleh para ahli kiriman Napoleon Bonaparte. Selama bertahun-tahun, penelitian itu dilakukan atas nama budaya; dan karena klaim positivistik yang menjauhkan penelitian dari politik, tidak ada yang mencoba menghubungkan secara sistematis dan terperinci penelitian-penelitian yang &lsquo;humanis&rsquo; itu dengan politik praktis penaklukan-penjajahan selain Edward Said dengan Orientalisme-nya. Banyak peneliti lain, Sara Mills, misalnya, memakai nalar penguasaan yang sama dengan obyek berbeda.</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Dalam tulisan di situs resmi UNESCO, ada kata kunci dalam pendokumentasian bahasa, yaitu <em>pluralisme bahasa</em> dan <em>multilingualisme</em>. Jika kemudian kita tarik lagi ke nada dasarnya, yang &lsquo;budaya&rsquo; tadi, bukankah akan menjadi &lsquo;pluralisme budaya&rsquo; dan &lsquo;multikulturalisme&rsquo;? Dan perlu diketahui bahwa penekanan dari kedua isme itu adalah perlunya toleransi. Lalu apa yang salah dengan toleransi dan multikulturalisme?</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Menurut Slavoj Zizek, dalam esai <em>The</em> <em>Culturalization of Politics</em>, mengemukanya kata &lsquo;toleransi&rsquo;, dan bukan &lsquo;emansipasi&rsquo;, &lsquo;perjuangan politik&rsquo;, atau &lsquo;perjuangan bersenjata&rsquo;, adalah operasi ideologis dasar multikulturalisme liberal, yaitu &lsquo;Pengkulturan Politik&rsquo;, dimana perbedaan politik, perbedaan yang disebabkan oleh ketaksetaraan politik, eksploitasi ekonomi dan sebagainya, dinetralkan ke dalam perbedaan &lsquo;kultural&rsquo;, perbedaan &lsquo;cara hidup&rsquo;. &lsquo;Budaya&rsquo; dan &lsquo;cara hidup&rsquo; ini merupakan sesuatu yang terberi, sesuatu yang tidak bisa diubah, dan hanya bisa ditoleransi.</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Dalam esai yang sama, Zizek mengatakan bahwa toleransi memiliki batasnya sendiri; dan menjadi toleran terhadap ketidaktoleranan berarti mendukung (&rsquo;mentolerir&rsquo;) ketidaktoleranan. Toleransi hanya mungkin ada dalam budaya individualis Barat dan, jadinya, toleransi bahkan melegitimasi serangan militer untuk menghadapi ketidaktoleranan liyan (beberapa feminis Amerika mendukung serangan Amerika ke Irak dengan dalih untuk membebaskan para perempuan Irak dari sistem Patriarkis).</p> <div style="text-align: justify;"> </div> <p style="text-align: justify;">Zizek mengemukakan banyak hal lain mengenai kelemahan toleransi sebagai dasar hubungan antar budaya dan juga kelemahan mazhab universalisme. Untuk kepentingan esai ini, keduanya tidak perlu dijabarkan. Intinya adalah jika nada dasar &lsquo;budaya&rsquo; dan kemudian &lsquo;toleransi&rsquo;, karena kelemahan-kelemahan dan jebakan filosofisnya, menyebabkan ketidakadilan, ketidaksetaraan, hilangnya kesadaran politik;&nbsp; jika pendokumentasian bahasa tidak berbeda dengan bentuk lain pengartefakan budaya Liyan yang sudah berlangsung berabad-abad, yang akhirnya melegitimasi dan melancarkan penjajahan; dan juga jika pengetahuan masih milik para akademisi saja untuk kepentingan <em>mereka </em>saja, maka kita punya hak untuk bersikap kritis.</p>

SMF 2.1.4 © 2023, Simple Machines, TinyPortal 2.2.2 © 2005-2022 | Sitemap

Go back to article