Selamat datang di ForSa! Forum diskusi seputar sains, teknologi dan pendidikan Indonesia.

Welcome to Forum Sains Indonesia. Please login or sign up.

Maret 29, 2024, 07:40:33 AM

Login with username, password and session length

Topik Baru

Artikel Sains

Anggota
Stats
  • Total Tulisan: 139,653
  • Total Topik: 10,405
  • Online today: 134
  • Online ever: 1,582
  • (Desember 22, 2022, 06:39:12 AM)
Pengguna Online
Users: 0
Guests: 106
Total: 106

Aku Cinta ForSa

ForSa on FB ForSa on Twitter

Melirik Rekayasa Nanoteknologi untuk Industri

Dimulai oleh adjie, Juni 15, 2007, 01:58:32 PM

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

adjie

Melirik Rekayasa Nanoteknologi untuk Industri (1)

Banyak Diburu, Manfaatnya Nyata
Nanoteknologi mulai dilirik negara-negara di dunia lantaran manfaatnya yang nyata bagi kehidupan. Rekayasa partikel, atom atau material dalam suatu benda itu saat ini telah mampu dikembangkan untuk berbagai kepentingan. Mulai dari energi yang ramah lingkungan, kesehatan, pangan, teknologi informasi, dan komunikasi, transportasi hingga pertahanan dan keamanan.

Di Indonesia sendiri, keberadaan nanoteknologi masih belum cukup populer. Hanya kalangan tertentu saja khususnya akademisi yang kerap bergulat dengan rekayasa material. Sementara, masyarakat awam hanya mampu merasakan hasilnya.

"Contoh paling sederhana saja soal flash disk yang mampu untuk menyimpan data hingga ukuran giga. Tapi, dengan rekayasa nanoteknologi, kekuatan menyimpan bisa mencapai ukuran tera. Jauh melampau kapasitas giga. Padahal, jika dilihat, barangnya justru lebih kecil," ujar Ketua Masyarakat Nanoteknologi Indonesia (MNI) Dr Nurul Taufiqu Rochman di sela-sela simposium internasional nanoteknologi dan katalis di Puspitek Kementrian Riset dan Teknologi, Serpong, Tangerang, kemarin.

Manfaat lain yang sudah dikembangkan negara maju seperti Jepang, nanoteknologi telah mampu menghasilkan teknologi ponsel layar sentuh yang dikendalikan lewat pantulan layar. Sementara untuk baterai yang digunakan juga mampu bertahan selama ekian lama. "Jika habis bisa di-charge tidak lebih dari satu menit," ungkap Deputi Bidang Pengembangan Riset dan Teknologi Kementrian Riset dan Teknologi Dr Ir Bambang Sapto Pratomosunu MSc saat membuka acara.

Di bidang energi, nanoteknologi juga mampu memisahkan material hidrogen untuk bahan bakar. Sehingga, hidrogen tidak lagi ditenteng dengan tabung yang besar, tebal dan rawan meledak. "Intinya efensiensi ruang, barang dan hemat waktu dan biaya. Sedangkan manfaatnya sangat nyata," kata Dr Nurul Taufiqu Rochman yang juga sebagai peneliti di Puslit Fisika LIPI.

Untuk dalam negeri, pengembangan nanoteknologi belum berorientasi pada industri pasar. Saat ini masih terus dilakukan pengembangan berbagai riset terobosan-terobosan baru dunia teknologi. Dari teknologi terapan hingga aplikasi untuk industri. "Kalau ditanya barangnya, kami tidak ada. Tapi kami punya ptototipenya dan sudah dipatenkan," terang Nurul.

Di antaranya, nano partikel fisika yang dipatenkan pada Desember 2006 lalu serta alat pembuat nano partikel (hight energy bolming) yang dipatenkan pada Februari 2007 baru-baru ini. Masih terbatasnya pengembangan nano teknologi di Indonesia lantaran minimnya fasilitas serta dukungan dana. Baik dari sponsorship maupun pemerintah.

Kementrian Riset dan Teknologi sendiri hanya menyediakan dana Rp 700 miliar untuk seluruh penelitian. Padahal, untuk pengembangan nanoteknologi saja dibutuhkan dana yang cukup besar. "Rata-rata biasanya, untuk satu kelompok penelitian ada dana sekitar Rp 300 juta. Tapi kami akui itu masih sangat kurang," ungkap Bambang.

Kepala Divisi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi LIPI Dr Hery Haerudin menambahkan, minimnya dana tersebut membuat sejumlah peneliti harus berani untuk berkorban serta berkolaborasi dengan para pakar serta berbagai disiplin ilmu. Sebab, diakuinya, manfaat nanoteknologi tersebut sangat luar biasa. Beberapa negara maju sudah meyakini, dengan nanoteknologi, segala sesuatu yang ada di muka bumi bisa direkayasa. Terutama untuk tujuan pasar industri. "Mereka bilang dengan menguasai nanoteknologi, dunia ada dalam genggaman," bebernya.

Indonesia memiliki prospek yang cukup menjanjikan mengingat banyak di antara bahan dasar nanoteknologi, khususnya katalysis, berasal dari sumber daya alam seperti mineral dan logam. "Orang mungkin tidak cukup familiar. Tapi hasilnya semua bisa melihat. Seperti cat yang beraneka ragam. Dengan nanoteknologi katalis, semua warna yang bercampur seperti tidak ada pemisah dan lebih halus. Begitu juga dalam bahan bakar. Bisa lebih bersih dan daya bakarnya jauh lebih tinggi," tambahnya. (aak)
[pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]

Salah satu contoh berita hot untuk keteknikan. Yang aku bold yang menurut aku memberikan point penting untuk keilmuan di Indonesia.

Sebenarnya di Indonesia teknologi nano ini sdh cukup populer, karena banyak temen2 dari Indonesia yang mempelajari ini. Hanya saja, ketika di Indonesia memang terjadi kebuntuan karena ketiadaan dana dan...

"Untuk dalam negeri, pengembangan nanoteknologi belum berorientasi pada industri pasar"

sementara ini, para pakar nano dari Indonesia belum ketemu cara yang lebih baik untuk mengembangkan teknologi ini kecuali...

"berkorban serta berkolaborasi " dengan universitas lain yang mampu menyediakan fasilitas serta pengembangan keilmuwan yang mapan.

Di sisi lain kita patut berbangga, karena justru dari hal2 yang semacam ini seringkali anak bangsa mentorehkan prestasi yang tidak sepele. Tp tentu saja, kadang ada konsekuensi yang harus dibayar, seperti mereka direkrut di perusahaan atau universitas disana.

Di sisi satu menggembirakan karena mengharumkan nama bangsa, tp disisi lain, kita gak akan maju2 kalo begini caranya.

Kreatifitas sekarang yang harus diupayakan para ilmuwan untuk bisa mengembangkan keilmuwanannya dalam mengikuti teknologi terkini.

Pertama, jelas dana itu nomer satu. Yang jadi masalah adalah sumber dana. Sumber dana dari pemerintah jelas tidak mencukupi karena nanoteknologi membutuhkan dana besar, ya tidak hanya nanoteknologi saja :D teknologi membranpun atau pengolahan airpun juga membutuhkan dana besar dalam penelitian. Nah, salah satu alternatif yang bisa dicoba adalah kerja sama dengan industri atau perusahaan. Mereka menyuplai dana untuk para ilmuwan, dimana penelitian nanoteknologi ini bisa diterapkan di industrinya, atau.. ada cross-scientific subsidy (ini istilah saya pribadi).

Misal, kita sebagai ahli nanoteknologi memberikan proposal ke perusahaan minyak atau elektronik untuk menyokong dana. Dari sini kita tidak usah peduli dulu mereka membutuhkan teknologi ini atau tidak. yang penting adalah, dana mereka bisa digunakan untuk perkembangan nano ini. Sebagai timbal baliknya, jika mereka memiliki masalah, atau project di dalam internal mereka, walaupun tidak berhubungan dengan teknologi nano, maka kita memberikan pelayanan konsultasi. Yang memberikan konsultasi adalah para pakar di bidangnya, bukan pakar nano teknologi. Disini pointnya adalah networking. Mampukah kita mempunyai sebuah network besar semacam itu? Harus ada upaya untuk merintis hal tersebut..

Atau sebenarnya sudah ada upaya, cuman kitanya aja yang malas :D


peregrin

KutipMasih terbatasnya pengembangan nano teknologi di Indonesia lantaran minimnya fasilitas serta dukungan dana.

haha pak adjie, yang distabilo benar2 point mendasar ya  ;)

300jt utk satu kelompok penelitian memang sangat-sangat minim ... bayangkan aja, di eropa dana yg disediakan utk menggaji seorang phd selama 4 tahun jumlahnya 2 kali 300jt tsb ... itu baru gaji satu orang personil, yg relatif sangat kecil porsinya dibanding total dana yg mereka sediakan utk satu proyek ... utk trial and error yg memang harus banyak dilakukan kalau benar2 mau mengembangkan sesuatu, ga ada halangan dana (contoh: lampu uv-nya LCMS baru pecah dan harganya 25jt, sudah siap-siap digantung saya, eeh tahunya supervisor cuma senyum dan bilang "ya, lain kali hati2 ya, itu lampu emang fragile"... gubraakkk  ???) ... kalau mau beli mesin LCMS, supervisor bilang "yah, kita cuma mampu beli yang bekas ini" ... yg bekas itu harganya 500jt (dana 1 proyek LIPI pun gak cukup buat beli LCMS bekas yah  :-X), sedang yg baru bisa 3,5 milyar ... pantesan satu Indonesia cuma punya GCMS (bukan LCMS malah) 5 biji, sedang satu lab di satu rumah sakit di zurich bisa punya 7 :'(  :'(  :'(


Kutipberkorban...

ini bukannya sudah sering terjadi ya pak...  ;D


Kutip...serta berkolaborasi

Misal, kita sebagai ahli nanoteknologi memberikan proposal ke perusahaan minyak atau elektronik untuk menyokong dana. Dari sini kita tidak usah peduli dulu mereka membutuhkan teknologi ini atau tidak. yang penting adalah, dana mereka bisa digunakan untuk perkembangan nano ini. Sebagai timbal baliknya, jika mereka memiliki masalah, atau project di dalam internal mereka, walaupun tidak berhubungan dengan teknologi nano, maka kita memberikan pelayanan konsultasi. Yang memberikan konsultasi adalah para pakar di bidangnya, bukan pakar nano teknologi. Disini pointnya adalah networking. Mampukah kita mempunyai sebuah network besar semacam itu? Harus ada upaya untuk merintis hal tersebut..

ide yang bagus ini ... memang dalam situasi serba minim, networking ini jadi penting sekali. Sayangnya kabarnya kerja sama antar berbagai lembaga penelitian di Indonesia masih minim (juga) yah. Contohnya, lembaga A tidak tahu apa yg sedang dikembangkan lembaga B, atau kalaupun tahu malah juga melakukan penelitian di topik yang sama. Padahal, dengan sumber daya (fasilitas, tenaga, dsb) yang terbatas, harusnya malah 2 lembaga ini bekerja sama menggabungkan resources supaya usaha yang dilakukan lebih sinergis.

tentang kerja sama dengan industri dengan memberikan jasa konsultasi sbg timbal baliknya, ini bagus sekali. Idealnya memang universitas dan lembaga penelitian bisa menjadi pusat dan gudang ilmu, juga tempat dilakukannya eksplorasi dan pengembangan yang tidak dilakukan oleh industri. Sayangnya, setahu saya, justru pihak industri kadang2 menganggap (atau emang benar?) orang2 di universitas serba ketinggalan. Lagi-lagi, karena masalah dana, fasilitas terbatas, birokrasi, dsb. yg menyebabkan tenaga2 di universitas tidak sempat meng-update informasi dan ilmunya. Atau barangkali, ini tidak terjadi di semua bidang yah?


KutipDi sisi lain kita patut berbangga, karena justru dari hal2 yang semacam ini seringkali anak bangsa mentorehkan prestasi yang tidak sepele. Tp tentu saja, kadang ada konsekuensi yang harus dibayar, seperti mereka direkrut di perusahaan atau universitas disana.

Di sisi satu menggembirakan karena mengharumkan nama bangsa, tp disisi lain, kita gak akan maju2 kalo begini caranya.

benar juga. cuma, hal tsb ga bisa 100% dicegah. Malah menurut saya, daripada anak bangsa di luar negeri dicela-cela sbg tidak nasionalis, lebih baik dijalin kerja sama krn toh "sekecil" apapun sumbangan yg bisa mereka berikan, tetap kita butuhkan (lha wong di dalam negeri sendiri serba minim  ;D).

Btw, jadi ingat ceritanya Abdus Salam, seorang ahli fisika dari Pakistan, yang akhirnya memilih utk bekerja di luar negeri krn lebih bisa mengembangkan ilmunya. Tapi di sana, dia bisa banyak membantu mahasiswa2 asal negara asalnya utk mendapatkan grant. Bahkan sampai dia mendirikan TWAS (Third World Academy of Sciences).

Pada akhirnya, sepertinya bukan masalah tempat, tapi kembali ke pribadi masing2, apa dan bagaimana kita mau berkarya.
Free software [knowledge] is a matter of liberty, not price. To understand the concept, you should think of 'free' as in 'free speech', not as in 'free beer'. (fsf)

peregrin

jadi OOT nih, tapi barusan penasaran cek wiki tentang si Salam dan TWAS.
( [pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]  [pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.] )
Berikut kutipannya:

KutipScientific career:

Salam returned to Pakistan in 1951 to teach mathematics at Government College. In 1952 became the head of the Mathematics Department of the Punjab University. He had returned to Pakistan with the intention of founding a school of research, but soon found that this was impossible. In 1954 Salam left Pakistan for a lectureship at Cambridge, although he visited Pakistan from time to time as a government adviser on science policy. His work for Pakistan was far-reaching and influential. He was a member of the Pakistan Atomic Energy Commission, a member of the Scientific Commission of Pakistan, Founder Chairman of Space and Upper Atmosphere Research Commission and was Chief Scientific Adviser to the President of Pakistan from 1961 to 1974.

Since 1957 he has been Professor of Theoretical Physics at Imperial College, London. From 1964 onwards, has combined this position with that of Director of the International Centre For Theoretical Physics, a research institution in Trieste, Italy.

Salam had a prolific research career in theoretical elementary particle physics. He either pioneered or was associated with all important developments in this field. He also served on a number of United Nations committees concerning science and technology in developing countries.


KutipTWAS, the academy of sciences for the developing world -- until 2004 named Third World Academy of Sciences -- is a merit-based science academy uniting more than 800 scientists from some 90 countries. Its principal aim is to promote scientific capacity and excellence for sustainable development in the South (see North-South divide). Its headquarters are located on the premises of the Abdus Salam International Centre for Theoretical Physics (ICTP) in Trieste, Italy.

TWAS was founded in 1983 under the leadership of the late Nobel Laureate Abdus Salam of Pakistan by a group of distinguished scientists who were determined to do something about the dismal state of scientific research in developing countries.

= Although developing countries account for 80% of the world’s population, they account for only 28% of the scientists. This fact reflects the lack of innovative potential necessary to solve real-life problems affecting nations in the South.
= A chronic lack of funds for research often forces scientists in the South into intellectual isolation, jeopardizing their careers, their institutions and, ultimately, their nations.
= Scientists in developing countries tend to be poorly paid and gain little respect for their work because the role that scientific research can play in development efforts is underestimated. This in turn leads to brain drain in favour of the North that further impoverishes the South.
= Research institutions and universities in the South are under-funded, forcing scientists to work in difficult conditions and often with outdated equipment.


speechless.....
Free software [knowledge] is a matter of liberty, not price. To understand the concept, you should think of 'free' as in 'free speech', not as in 'free beer'. (fsf)

cassle

Menurut pendapat saya, kondisi para pelaku industri di Indonesia cenderung menginginkan kerja sama yang pasti. Masih dengan prinsip "saya bayar ini dan saya akan mendapat itu". Tapi kalaupun ada perusahaan dengan prinsip yang mulia seperti itu, apakah kiranya para peneliti nantinya tidak didesak kemauan dari pihak industri yang menginginkan keuntungan komersil dengan sebanyak-banyaknya (dan secepat-cepatnya)?

Maaf tapi saya belum menjadi peneliti sehingga belum tahu pula kondisi nyata dari kehidupan para peneliti di Indonesia. Pernah berkunjung ke LIPI tapi ke perpustakaannya saja (perpustakaan terbaik yang pernah saya kunjungi), jadi sama sekali tidak tahu menahu tentang aktivitas yang sebenarnya.  ;D

Monox D. I-Fly

Kutip dari: adjie pada Juni 15, 2007, 01:58:32 PM
"Contoh paling sederhana saja soal flash disk yang mampu untuk menyimpan data hingga ukuran giga. Tapi, dengan rekayasa nanoteknologi, kekuatan menyimpan bisa mencapai ukuran tera. Jauh melampau kapasitas giga. Padahal, jika dilihat, barangnya justru lebih kecil," ujar Ketua Masyarakat Nanoteknologi Indonesia (MNI) Dr Nurul Taufiqu Rochman di sela-sela simposium internasional nanoteknologi dan katalis di Puspitek Kementrian Riset dan Teknologi, Serpong, Tangerang, kemarin.

Manfaat lain yang sudah dikembangkan negara maju seperti Jepang, nanoteknologi telah mampu menghasilkan teknologi ponsel layar sentuh yang dikendalikan lewat pantulan layar. Sementara untuk baterai yang digunakan juga mampu bertahan selama ekian lama. "Jika habis bisa di-charge tidak lebih dari satu menit," ungkap Deputi Bidang Pengembangan Riset dan Teknologi Kementrian Riset dan Teknologi Dr Ir Bambang Sapto Pratomosunu MSc saat membuka acara.

Postingan tahun 2007. Di masa itu, HP semakin kecil dianggap semakin canggih. Namun sekarang, di era smartphone, HP kembali berukuran makin besar agar teks dari internet dapat terbaca dengan jelas.
Gambar di avatar saya adalah salah satu contoh dari kartu Mathematicards, Trading Card Game buatan saya waktu skripsi.