Member baru? Bingung? Perlu bantuan? Silakan baca panduan singkat untuk ikut berdiskusi.

Welcome to Forum Sains Indonesia. Please login or sign up.

Maret 29, 2024, 03:22:16 PM

Login with username, password and session length

Topik Baru

Artikel Sains

Anggota
Stats
  • Total Tulisan: 139,653
  • Total Topik: 10,405
  • Online today: 207
  • Online ever: 1,582
  • (Desember 22, 2022, 06:39:12 AM)
Pengguna Online
Users: 0
Guests: 191
Total: 191

Aku Cinta ForSa

ForSa on FB ForSa on Twitter

Krisis Keungan Di USA

Dimulai oleh ksatriabajuhitam, Oktober 12, 2008, 12:03:17 PM

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

ksatriabajuhitam

copy-paste dari milist alumni, judul aslinya Kalau Langit Masih Kurang Tinggi
lumayan buat nambah2 info

;D ;D baru tau Lehman Brothers itu apaan, ga terlalu jelas tp at least ada gambaran  8) ;D :D ;) :) :P



beberapa comment:
"Dari milis sebelah... Moga2 bisa ngebantu ngasih penjelasan tentang krisis di US. Artikelnya ringkas, runut, dan lengkap.."
"sepertinya pernah baca, kalau ga salah artikel itu ditulis Dahlan Iskan,
Pemilik Jawa Pos Grup
"



Krisis Keungan Di USA

Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus berkembang di semua sektor. Terutama labanya. Kalau bisa, laba sebuah perusahaan publik terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Soal caranya bagaimana, itu urusan kiat para CEO dan direkturnya. Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka mau tahu adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terus naik dan labanya harus terus meningkat.

Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang, sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka.
Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau para pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi dibanding
waktu mereka beli dulu: untung. Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin jual saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kian banyak.

Soal cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan baik, terserah pada CEO-nya. Mau pakai cara kucing hitam atau cara kucing putih,
terserah saja. Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja para CEO tersebut: hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, hukum perburuhan, dan
seterusnya.

Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan dan stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi
kadang bisa rugi ?  Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya. Mengapa? Pertama, agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar dia mendapat bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian persen dari laba dan pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima para CEO perusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden George Bush. Mana bisa dengan gaji sebesar itu masih stres?

Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti tumbu ketemu tutup: klop. Maka, semua perusahaan dipaksa untuk terus-menerus
berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan baru. Kalau bikin jalan baru
ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain. Kalau tidak boleh diambil? Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengan cara yang licik -dan kasar! Istilah populernya
hostile take over.

Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat jalan.

Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang happy. CEO dan para direkturnya happy karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun. Para pemilik saham juga happy karena kekayaannya terus naik. Pemerintah happy karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi happy karena dapat dukungan atau sumber dana.

Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan kesejahteraan rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli kebutuhan hidupnya. Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya. Semakin banyak yang bisa membeli barang, ekonomi semakin maju lagi.

Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Barang apa saja. Kalau tidak bisa bikin sendiri, datangkan saja dari Tiongkok atau Indonesia atau negara lainnya.
Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa saja ke AS yang bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar di dunia: USD 2 triliun!

Sudah lebih dari 60 tahun cara "membesarkan" perusahaan seperti itu dilakukan di AS dengan suksesnya. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. AS
dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia.

Tapi, itu belum cukup.

Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggap tidak cukup lagi: harus computerized!
Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah harus dibikin lebih jumbo. Langit, gajah, jumbo juga belum cukup.

Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat, dicarilah jalan
agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yang kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar kucing atau anjingnya juga
punya rumah. Demikian juga mobilnya.

Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli rumah?

Kalau tidak ada lagi yang beli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa lebih besar? Bagaimana notaris bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjual kloset bisa lebih besar? Padahal, doktrinnya, semua perusahaan harus semakin besar?

Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada 1980, pemerintah bikin keputusan yang disebut "Deregulasi Kontrol Moneter".
Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan realestat diperbolehkan menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku dua tahun kemudian.

Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan, asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang dimanfaatkan perbankan
secara nyata.


Begini ceritanya:

Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan memenuhi syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti KPR, meski tidak sama). Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan karena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun.

Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yang terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di Dubai naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkan syarat orang yang bisa mendapat mortgage.

Dengan keluarnya "jalan baru" pada 1980 itu, terbuka peluang untuk menaikkan bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. Bank bisa
dapat peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Juga para broker dan bisnis lain yang terkait.

Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan. Maka, ada lagi "jalan baru" yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian. Yakni,
tahun 1986.

bersambung...
not all the problems could be solved by the sword, but sword holder take control of problems.
ForSa versi mobile: http://www.forumsains.com/forum?wap2

ksatriabajuhitam

sambungan...

Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya: pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi
pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau beli rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.

Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang luar biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di Swedia atau
Denmark, gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen. Imbalannya, semua keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis. Hari tua juga terjamin.
Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang
disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung menjadi dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus meningkat
lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar setahun.

Kata "mortgage" berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya: matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam
mortgage, Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah itu Anda serahkan kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama
cicilan Anda belum lunas.

Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet, rumah itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa itu bukan rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar cicilan, ikrar itu dianggap mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi dari rumah tersebut.

Lalu, apa hubungannya dengan bangkrutnya investment banking seperti Lehman Brothers?

Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh "para pelaku
bisnis keuangan" sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan meningkatkan laba.

Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah.
Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank. Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para pemilik rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage- kan lagi untuk membeli rumah berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa mendapatkan kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi, tidak ada kata takut dalam memberi kredit rumah.

Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam undang-undang perbankan yang keras.

Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan.

Jalan baru itu adalah ini: bank bisa bekerja sama dengan "bank jenis lain" yang disebut investment banking.

Apakah investment banking itu bank?

Bukan. Ia perusahaan keuangan yang "hanya mirip" bank. Ia lebih bebas daripada bank. Ia tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal:
menerima macam-macam "deposito" dari para pemilik uang, meminjamkan uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin,
membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang bisa lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidak pernah memikirkan! Lehman Brothers, Bear Stern, dan banyak lagi adalah jenis investment banking itu.

Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya
kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja: kepada bank lain atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah "personal banking".

Saya sering kedatangan orang dari investment banking seperti itu yang menawarkan banyak fasilitas. Kalau saya mau menempatkan dana di sana, saya dapat bunga lebih baik dengan hitungan yang rumit. Biasanya saya tidak sanggup mengikuti hitung-hitungan yang canggih itu.

Saya orang yang berpikiran sederhana. Biasanya tamu-tamu seperti itu saya serahkan ke Dirut Jawa Pos Wenny Ratna Dewi. Yang kalau menghitung angka lebih
cepat dari kalkulator. Kini saya tahu, pada dasarnya dia tidak menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk memutar cash-flow.

Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, yang kurang memenuhi
syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage.

Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahun orang bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun.

Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan terus
bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan pengeluaran. Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi, pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya.

Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang dari 10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang
disita sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyak yang gagal bayar.

Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain itu
menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang beriktunya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti kartu domino
yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain. Roboh semua.

Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 triliun dolar. Jadi,
kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700 miliar, memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan masalah, apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?

Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak USD
700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara Indonesia dijadikan satu.

Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang Indonesia yang "menabung"-kan uangnya di lembaga-lembaga investment banking yang kini lagi pada kesulitan itu.

Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada
Singapura, Hongkong, atau Tiongkok.

Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun, yang berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran ke sana. Kita, setidaknya, masih bisa menanam jagung .....

END
not all the problems could be solved by the sword, but sword holder take control of problems.
ForSa versi mobile: http://www.forumsains.com/forum?wap2

ahmad fauzan

satu kata"AS bodoh"..........!!!!
[move]semua itu bisa asalkan kita terbiasa
[/move]

ksatriabajuhitam

#3
nih ada sequel-nya...




Ini ada kutipan dari teman saya di milis lain untuk menggambarkan krisis bursa saham akibat keserakahan orang,




Seorang pengusaha dari kota datang ke sebuah desa di pinggir hutan untuk membeli monyet. Satu monyet dihargai Rp.10rb.

Orang desa tersebut berlomba2 menangkap monyet dari hutan dan menjualnya ke si pengusaha.

Lama-lama monyet di hutan itu tinggal sedikit dan penduduk desa malas menangkap monyet lagi.

Si pengusaha menaikkan harga, sekarang dia sanggup beli Rp.20rb per monyet.

Orang desa kembali berlomba2 menangkap monyet.

Makin lama monyet di hutan itu makin langka dan susah untuk ditemui apalagi untuk ditangkap. Orang2 desa kembali malas mencari monyet.

Si pengusaha kali ini menawarkan Rp50rb per monyet sambil menitipkan bisnisnya ke asistennya, lalu dia kembali ke kota.

Setelah beberapa waktu orang desa kesulitan mendapat monyet, si asisten bisik-bisik dengan orang desa "saya punya banyak monyet, kalian mau beli dengan harga Rp.35rb? Lumayan kan bisa untung Rp.15rb kalau dijual dgn harga Rp50rb.".

Orang desa setuju dan memborong monyet-monyet itu dari si asisten.

Besoknya si asisten lenyap dari desa itu dan si pengusaha tidak pernah kembali lagi. Tinggalah orang-orang desa yang serakah itu dan segerombolan monyet.

Begitulah yang terjadi dengan pasar modal saat ini.




kira-kira begini gambaran "cast-flow" nya...

pada pembelian pertama katakanlah orang desa berhasil menangkap 50 monyet, maka pengusaha keluar uang sebanyak
50 monyet x 10 ribu / monyet = 500 ribu

pada pembelian kedua katakanlah orang desa juga berhasil menangkap 50 monyet, maka pengusaha keluar uang sebanyak
50 monyet x 20 ribu / monyet = 1000 ribu

pada penjualan terakhir, katakanlah hanya 75% dari monyet yang pengusaha terima berhasil terjual kembali ke orang desa melalui asistennya, maka pengusaha mendapat uang sebanyak
0.75 x 100 monyet x 50 ribu / monyet = 3750 ribu

Maka sang pengusaha meraup untung sebesar 3750 ribu - (500 ribu + 1000 ribu) = 2250 ribu

hanya dengan memutar cash-flow
not all the problems could be solved by the sword, but sword holder take control of problems.
ForSa versi mobile: http://www.forumsains.com/forum?wap2

ksatriabajuhitam

ini ada lagi sequel-nya, versi lain dari India...




Resesi Ekonomi Bikin Karyawan TI Gagal Nikah Kamis, 16 Oktober 2008 -
13:39 wib Magfirah Ahdarini Sipahutar - Okezone

(foto: ist)

HYDERABAD - Masa resesi ekonomi global ternyata bukan hanya mengguncang
dunia perekonomian dan bisnis, namun juga dunia percintaan. Ketakutan
Pemutusan Hubungan Keja (PHK), yang diprediksi akan melanda banyak
karyawan teknologi informasi (TI) di India, membuat calon-calon mertua,
yang anak gadisnya bakal dinikahi oleh karyawan TI, juga ikut-ikutan
membatalkan pernikahan yang sudah direncanakan.

Ketakutan yang menular ke para orangtua yang memiliki anak gadis di
Hyderabad ini berawal dari logika bahwa fluktuasi di sektor teknologi
informasi akibat resesi ekonomi akan berpengarah ke kesejahteraan
anaknya kelak bila menikahi karyawan TI. Hal inilah yang membuat seorang
ibu dari calon pengantin perempuan lebih memilih seseorang yang
berprofesi bukan dari bidang TI untuk anaknya.

"Perekonomian naik turun, dari hari ke hari bisa berubah dengan cepat.
Apa yang dimiliki sekarang bisa jadi cuma untuk sementara," keluh
seorang ibu dari calon pengantin, Sharda Singh, seperti diberitakan di
Big News Network, Kamis (16/10/2008).

Selain para ibu, para ayah tak kalah ketar-ketir menghadapi masalah
resesi dengan menganggap sektor ekonomi terlalu beresiko untuk dijadikan
pegangan hidup.

"Jika mereka bergantung pada pekerjaan yang jatuh bangun maka
kehidupannya pun akan ikut jatuh bangun," terang seorang ayah dari bakal
pengantin, Rama Rao.

Dengan ekstrimnya efek yang ditimbulkan krisis ekonomi global, beberapa
orangtua sudah bersikukuh untuk memilih jalan aman bagi anak gadis
mereka dan menolak mentah-mentah menikahkan pemuda berprofesi TI kepada
anak mereka.

"Saya terlalu takut dengan efeknya," simpul seorang ayah, S Krishna.

Sebagai informasi, National Association of Software and Service
Companies (NASSCOM), sebuah organisasi yang mewakili industri TI di
India, melaporkan kemungkinan penurunan pertumbuhan ekspor teknologi
informasi di India akibat adanya resesi.

Semula pada bulan Juli lalu mereka menargetkan kenaikan ekspor TI
sebanyak 21 hingga 24 persen atau sekira USD50 miliar. Sebagian besar
perusahaan TI di India bekerja sama dengan Eropa dan Asia seperti Tata
Consultancy, Infosys Technologies, Wipro, dan Satyam Computer. Pemilihan
firma TI di India untuk bekerja sama dengan kedua benua tersebut
ditujukan untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap Amerika
Serikat.




duh jadi tersinggung nih :P
not all the problems could be solved by the sword, but sword holder take control of problems.
ForSa versi mobile: http://www.forumsains.com/forum?wap2

ksatriabajuhitam

sorry ada kesalahan,

Kutip dari: ksatriabajuhitam pada Oktober 15, 2008, 09:34:11 PM
...
kira-kira begini gambaran "cast-flow" nya...

pada pembelian pertama katakanlah orang desa berhasil menangkap 50 monyet, maka pengusaha keluar uang sebanyak
50 monyet x 10 ribu / monyet = 500 ribu

pada pembelian kedua katakanlah orang desa juga berhasil menangkap 50 monyet, maka pengusaha keluar uang sebanyak
50 monyet x 20 ribu / monyet = 1000 ribu

pada penjualan terakhir, katakanlah hanya 75% dari monyet yang pengusaha terima berhasil terjual kembali ke orang desa melalui asistennya, maka pengusaha mendapat uang sebanyak
0.75 x 100 monyet x 50 ribu / monyet = 3750 ribu

Maka sang pengusaha meraup untung sebesar 3750 ribu - (500 ribu + 1000 ribu) = 2250 ribu

hanya dengan memutar cash-flow

harusnya,
0.75 x 100 monyet x 35 ribu / monyet = 2625 ribu
Maka sang pengusaha meraup untung sebesar 2625 ribu - (500 ribu + 1000 ribu) = 1125 ribu
(tetep untung kan... :P )
not all the problems could be solved by the sword, but sword holder take control of problems.
ForSa versi mobile: http://www.forumsains.com/forum?wap2

ahmad fauzan

problem akibat krisis dunia tak hanya sebatas dunia ekonomi ternyata...
heheheh....
percintaan pun juga ada??

ooii satria ada lagi gak akibat "krismon" dunia dari segi kehidupan lain???
jadi tertarik nih....
hahahaah....
[move]semua itu bisa asalkan kita terbiasa
[/move]