Selamat datang di ForSa! Forum diskusi seputar sains, teknologi dan pendidikan Indonesia.

Welcome to Forum Sains Indonesia. Please login or sign up.

Maret 29, 2024, 02:27:27 AM

Login with username, password and session length

Topik Baru

Artikel Sains

Anggota
Stats
  • Total Tulisan: 139,653
  • Total Topik: 10,405
  • Online today: 102
  • Online ever: 1,582
  • (Desember 22, 2022, 06:39:12 AM)
Pengguna Online
Users: 0
Guests: 126
Total: 126

Aku Cinta ForSa

ForSa on FB ForSa on Twitter

Bahaya Resistensi Antibiotika

Dimulai oleh raisuien, April 04, 2010, 09:35:57 AM

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

raisuien

Antibiotik

Antibiotika atau dikenal juga sebagai obat anti bakteri adalah obat yang digunakan untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Alexander Fleming pada tahun 1927 menemukan antibiotika yang pertama yaitu penisilin. Setelah mulai digunakan secara umum pada tahun 1940, maka antibiotika bisa dibilang merubah dunia pengobatan serta mengurangi angka kesakitan & kematian yang disebabkan oleh penyakit infeksi secara dramatis.

Arti antibiotika sendiri pada awalnya merujuk pada senyawa yang dihasilkan oleh jamur atau mikroorganisme yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit pada hewan & manusia. Saat ini beberapa jenis antibiotika merupakan senyawa sintetis (tidak dihasilkan dari mikororganisme) tetapi juga dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Secara teknis, zat yang dapat membunuh bakteri baik berupa senyawa sintetis atau alami disebut dengan zat antimikroba, akan tetapi banyak orang yang menyebutnya dengan antibiotika. Meskipun antibiotika mempunyai manfaat yang sangat banyak, penggunaan antibiotika secara berlebihan juga dapat memicu terjadinya resistensi antibiotika.


Cara kerja antibiotik

Untuk memahami cara kerja antibiotika, perlu diketahui dahulu 2 jenis kuman yang banyak menimbulkan penyakit, yaitu bakteri & virus. Meskipun ada beberapa bakteri & virus tertentu yang dapat menyebabkan penyakit dengan gejala yang mirip, tetapi baik bakteri & virus mempunyai cara reproduksi serta penyebaran penyakit yang berbeda.

* Bakteri merupakan organisme hidup bersel satu. Bakteri dapat ditemukan di mana saja & sebagian besar tidak menimbulkan bahaya atau malah menguntungkan seperti misalnya Lactobacillus, yaitu bakteri yang hidup di usus halus & membantu untuk mencerna makanan. Tetapi ada juga bakteri yang berbahaya & menimbulkan penyakit karena menyerang tubuh, berkembang biak & mengganggu fungsi normal tubuh. Antibiotika efektif untuk melawan bakteri karena dapat membunuh organisme tersebut serta menghambat pertumbuhan ataupun reproduksi bakteri.

* Virus, bukan merupakan mahluk hidup & tidak dapat berdiri sendiri. Virus merupakan partikel yang berisi materi genetik yang dibungkus oleh lapisan protein. Virus hanya dapat hidup, tumbuh & bereproduksi hanya setelah mereka masuk kedalam sel hidup. Sebagian virus dapat dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh sebelum mereka menimbulkan penyakit, akan tetapi ada juga jenis virus lain (seperti virus flu) yang menimbulkan penyakit tetapi dapat hilang dengan sendirinya. Virus tidak bereaksi terhadap antibiotika sama sekali.

Bahaya resistensi antibiotika

Antibiotika sejak pertama digunakan pada tahun 1940 merupakan salah satu kemajuan besar dalam dunia pengobatan. Akan tetapi peresepan yang berlebihan terhadap antibiotika mempunyai dampak terhadap perkembangan bakteri yang menjadi tidak responsif terhadap pemberian antibiotika, yang sebelumnya pernah berhasil (resisten). Selain itu anak-anak yang mengkonsumsi antibiotika yang seharusnya tidak diperlukan mempunyai resiko untuk mengalami efek samping lain, seperti gangguan perut & diare.

Resistensi antibiotika sendiri adalah kemampuan dari bakteri atau mikroorganisme lain untuk menahan efek antibiotika. Resistensi antibiotika terjadi ketika bakteri dapat merubah diri sedemikian rupa hingga dapat mengurangi efektifitas dari suatu obat, bahan kimia ataupun zat lain yang sebelumnya dimaksudkan untuk menyembuhkan atau mencegah penyakit infeksi. Akibatnya bakeri tersebut tetap dapat bertahan hidup & bereproduksi sehingga makin membahayakan.

Bakteri tersebut dapat membentuk ketahanan khusus terhadap suatu jenis antibiotika tertentu, sehingga membahayakan orang yang terkena penyakit tersebut. Kesalahpahaman yang sering terjadi di masyarakat adanya anggapan bahwa yang resisten terhadap obat tertentu adalah tubuh orang, padahal sebenarnya bakteri yang ada di dalam tubuh tersebutlah yang menjadi resisten terhadap pengobatan, bukan tubuhnya.

Bahaya resistensi antibiotika merupakan salah satu masalah yang dapat mengancam kesehatan masyarakat. Hampir semua jenis bakteri saat ini menjadi lebih kuat & kurang responsif terhadap pengobatan antibiotika. Bakteri yang telah mengalami resistensi terhadap antibiotika ini dapat menyebar ke anggota keluarga, teman ataupun tetangga lain sehingga mengancam masyarakat akan hadirnya jenis penyakit infeksi baru yang lebih sulit untuk diobati & lebih mahal juga biaya pengobatannya.

Cara bakteri menjadi resisten terhadap antibiotika

Meminum antibiotika untuk mengobati pilek atau penyakit yang disebabkan oleh virus, tidak hanya tidak bermanfaat tetapi juga dapat menimbulkan bahaya. Dalam jangka panjang hal ini dapat membuat bakteri menjadi lebih sulit untuk dimusnahkan. Penggunaan antibiotika yang sering & tidak sesuai keperluan dapat menghasilkan jenis bakteri baru yang dapat bertahan terhadap pengobatan yang diberikan atau yang disebut dengan resistensi bakteri. Jenis bakteri baru ini memerlukan dosis yang lebih tinggi atau antibiotika yang lebih kuat untuk dapat dimusnahkan.

Penggunaan antibiotika mendorong perkembangan bakteri yang resisten. Setiap seseorang menggunakan antibiotika, maka bakteri yang sensitif akan terbunuh tetapi bakteri yang resisten akan tetap ada, tumbuh & bereproduksi. Penyebab utama meningkatnya bakteri yang resisten adalah penggunaan antibiotika secara berulang & tidak sesuai range terapi. Kunci untuk mengontrol penyebaran bakteri yang resisten ini adalah penggunaan antibiotika secara tepat & sesuai range terapi (takaran, frekwensi dan lama penggunaan obat).

Cara mencegah terjadinya resistensi terhadap antibiotik

Kita dapat berperan secara aktif untuk menghambat terjadinya resistensi bakteri, caranya adalah dengan menggunakan obat antibiotika secara tepat & sesuai range terapi. Meskipun antibiotika merupakan obat yang sangat kuat, akan tetapi antibiotika hanya efektif untuk digunakan terhadap penyakit yang disebabkan oleh bakteri & bukan oleh mikroba lain seperti misalnya demam, batuk atau flu. Berikut beberapa tips yang bermanfaat apabila kita berobat ke dokter :

* Tanyakan apakah antibiotika yang diberikan bermanfaat terhadap penyakit yang tengah diderita saat ini.
* Jangan gunakan obat antibiotika untuk penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus seperti flu.
* Apabila mendapatkan antibiotika, harus digunakan sampai habis. Jangan sisakan antibiotika tersebut untuk pengobatan di lain waktu.
* Gunakan antibiotika yang diberikan sesuai saran dari dokter. Gunakan secara rutin sampai habis meskipun sudah merasa sehat. Jika pengobatan antibiotika dihentikan terlalu cepat, maka beberapa bakteri dapat bertahan hidup & menimbulkan infeksi kembali.
* Jangan gunakan antibiotika yang di resepkan untuk orang lain. Terkadang karena merasa gejala penyakit yang dirasakan sama, maka kita menyamakan pengobatan dengan orang tersebut, padahal bisa jadi kebutuhan tiap orang berbeda.
* Jika dokter menyimpulkan bahwa penyakit kita tidak memerlukan pengobatan antibiotika, tanyakan pengobatan lain yang dapat membantu meredakan gejala yang kita rasakan. Jangan paksa dokter untuk memberikan antibiotika kepada kita.

sisca, chemistry

mungkin gak kekebalan t'hadap antibiotik menurun ibu ke bayi.?
[move]
~ You are what you eat ~
[/move]

riandono

kan yg resisten bakterinya, jd bukan diturunkan tp ditularkan.

sisca, chemistry

[move]
~ You are what you eat ~
[/move]

syx

Pemerintah Buat Pedoman Penggunaan Antibiotik

Jakarta, Kompas - Kementerian Kesehatan merevitalisasi pedoman penggunaan antibiotik. Penggunaan antibiotik sembarangan dapat menimbulkan resistensi obat yang mengancam kesehatan masyarakat.

Hal itu dikemukakan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih seusai pembukaan seminar bertajuk "Health Care for The Future; A Knowledge Sharing Seminar Between Indonesia dan Sweden", Rabu (6/4) di Jakarta.

Pembuatan pedoman itu dalam rangka meminimalkan resistensi antibiotik. Pedoman akan diluncurkan hari Kamis (7/4), bertepatan dengan Hari Kesehatan Dunia yang tahun ini mengambil tema "Use Antibiotics Rationally".

Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Sri Indrawaty mengatakan, dampak dari resistensi kuman obat luar biasa. "Bayangkan kalau infeksi tidak bisa disembuhkan," katanya.

Pedoman antibiotik yang akan diluncurkan bersifat umum untuk tenaga kesehatan, apotek, hingga fasilitas kesehatan. Intinya, harus menggunakan antibiotik dengan bijak. Selanjutnya akan dibuat panduan rinci.

Penggunaan antibiotik yang serampangan, antara lain tak lepas dari keinginan masyarakat yang ingin segera sembuh. "Ada anggapan begitu minum antibiotik penyakit langsung hilang. Ini menjadi kebiasaan dan dokter juga mudah memberikan antibiotik. Pengobatan menjadi tidak rasional," kata Sri Indrawaty.

Terlalu mudah didapat

Berdasarkan pengamatan, antibiotik sangat mudah didapat tanpa resep. Di apotek di dalam sebuah mal di Jakarta Selatan, misalnya, cukup dengan menyebutkan nama obat, 10 butir amoksisilin 250 mg produksi perusahaan farmasi dalam negeri dapat dibeli tanpa resep dokter dengan membayar Rp 21.000.

Petugas di apotek tersebut sama sekali tidak menanyakan resep dokter. Ia hanya bertanya tentang bentuk sediaan yang hendak dibeli, tablet atau kaplet, dan dosis yang diinginkan. Tidak diberikan penjelasan cara minum atau pesan lain. Padahal, di tepi kemasan antibiotik jelas tertulis dengan huruf kapital hitam HARUS DENGAN RESEP DOKTER.

Di warung dekat sebuah lokasi yang ramai dengan pekerja seks komersial di kawasan Jakarta Utara, obat antibiotik amoksisilin dan ampisilin dipajang bersama dengan kondom, tisu antiseptik, dan obat kuat. Di warung itu amoksisilin dijual Rp 3.000 per butir dan merupakan produk yang jauh lebih laris ketimbang kondom.

Kemudahan mendapatkan antibiotik mulai dari apotek hingga warung di pinggir jalan bukan merupakan hal baru. Penjual obat di Jakarta Utara, yang tidak mau disebutkan namanya, telah berjualan obat-obatan, termasuk antibiotik, lebih dari 10 tahun.

Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Slamet Budiarto mengatakan, terlalu mudahnya mendapatkan obat keras, termasuk antibiotik, tanpa resep dokter sangat membahayakan masyarakat.

Terlebih lagi, Indonesia sangat rawan penyakit infeksi. Penggunaan antibiotik serampangan ini, menurut dia, tidak lepas dari informasi yang kurang tentang obat di tengah masyarakat.

Slamet berpandangan, masalah pengobatan tidak rasional dapat diminimalkan melalui asuransi kesehatan sosial dari sistem jaminan sosial nasional. Lewat sistem itu, pengobatan yang lebih rasional bisa diwujudkan karena ada audit dan kontrol terhadap resep dokter yang lebih ketat.  (INE)

... terkesan telat. mustinya farmasis yang telah dididik mengerti hal ini dengan tidak menjual antibiotika sembarangan. tetapi bisnis, yang ditunjang dengan ketidaktahuan pasien, menjadi alasan penjualan bebas antibiotika seolah seperti permen yang bisa dikonsumsi kapan saja dan di mana saja.

syx

info terbaru dari CDC: kuman GO semakin kebal terhadap sefalosporin.

Cephalosporin Susceptibility Among Neisseria gonorrhoeae Isolates --- United States, 2000--2010
Weekly
July 8, 2011 / 60(26);873-877

Neisseria gonorrhoeae is a major cause of pelvic inflammatory disease, ectopic pregnancy, and infertility, and it can facilitate human immunodeficiency virus (HIV) transmission (1). Emergence of gonococcal resistance to penicillin and tetracycline occurred during the 1970s and became widespread during the early 1980s. More recently, resistance to fluoroquinolones developed. Resistance was documented first in Asia, then emerged in the United States in Hawaii followed by other western states. It then became prevalent in all other regions of the United States. In Hawaii, fluoroquinolone resistance was first noted among heterosexuals; however, resistance in the United States initially became prevalent among men who have sex with men (MSM) before generalizing to heterosexuals. This emergence of resistance led CDC, in 2007, to discontinue recommending any fluoroquinolone regimens for the treatment of gonorrhea (2--3). CDC now recommends dual therapy for gonorrhea with a cephalosporin (ceftriaxone 250 mg) plus either azithromycin or doxycycline (4). This report summarizes trends in cephalosporin susceptibility among N. gonorrhoeae isolates in the United States during 2000--2010 using data from the Gonococcal Isolate Surveillance Project (GISP). During that period, the percentage of isolates with elevated minimum inhibitory concentrations (MICs) to cephalosporins (≥0.25 µg/mL for cefixime and ≥0.125 µg/mL for ceftriaxone) increased from 0.2% in 2000 to 1.4% in 2010 for cefixime and from 0.1% in 2000 to 0.3% in 2010 for ceftriaxone. Although cephalosporins remain an effective treatment for gonococcal infections, health-care providers should be vigilant for treatment failure and are requested to report its occurrence to state and local health departments. State and local public health departments should promote maintenance of laboratory capability to culture N. gonorrhoeae to allow testing of isolates for cephalosporin resistance. They also should develop enhanced surveillance and response protocols for gonorrhea treatment failures and report gonococcal treatment failures to CDC.

GISP is a CDC-sponsored, sentinel surveillance system that monitors antimicrobial susceptibilities in N. gonorrhoeae through ongoing testing of approximately 5,900 male urethral gonococcal isolates obtained annually from consecutive symptomatic men at 25--30 sexually transmitted disease (STD) clinics in the United States; approximately 4% of all reported gonorrhea cases among men are included annually (5). Antibiotic susceptibility is measured by MIC, the lowest concentration of an antibiotic that inhibits visible growth of the bacteria. MICs to cephalosporins (cefixime and ceftriaxone) among gonococcal isolates collected during 2000--2010 were analyzed. Cefixime susceptibilities were not determined during 2007--2008 because cefixime was unavailable in the United States during that period. Decreased antibiotic susceptibility for cefixime or ceftriaxone is defined by the Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) as MICs ≥0.5 µg/mL; criteria for cefixime and ceftriaxone resistance in N. gonorrhoeae have not been defined (6). Because few isolates exhibited decreased susceptibility and increases in MICs can precede the emergence of resistance, the percentage of isolates with elevated MICs (≥0.25 µg/mL for cefixime and ≥0.125 µg/mL for ceftriaxone) was assessed to determine if MICs to cephalosporins were increasing with time. These breakpoints were used in GISP for surveillance purposes. The analyses were stratified by U.S. census region and sex of sex partner. The South and Northeast regions were combined because fewer samples are collected in the eastern half of the country compared with the western half (Figure 1). Sex of sex partner was categorized as MSM or men who have sex exclusively with women (MSW). Resistance to penicillin (MIC ≥2.0 µg/mL), tetracycline (MIC ≥2.0 µg/mL), and ciprofloxacin (MIC ≥1.0 µg/mL), a fluoroquinolone, were assessed. Cochran-Armitage trend tests were performed to assess statistical significance (p<0.05).

An average of 5,865 isolates (range: 5,367--6,552) were tested annually during 2000--2010. Overall, the percentage of isolates with cefixime MICs ≥0.25 µg/mL increased from 0.2% to 1.4% during 2000--2010 (p<0.001). The percentage of isolates with ceftriaxone MICs ≥0.125 µg/mL increased from 0.1% to 0.3% during 2000--2010 (p = 0.047). From 2000 to 2010, in the western region, the percentage of isolates with cefixime MICs ≥0.25 µg/mL increased from 0% to 3.3% (p<0.001), and the percentage of isolates with ceftriaxone MICs ≥0.125 µg/mL increased from 0% to 0.5% (p<0.001) (Table). In the western region, the most prominent increases in cefixime MICs were observed in Honolulu, Hawaii (0% in 2000 and 7.7% in 2010 [p<0.001]), and in California (0% in 2000 and 4.5% in 2010 [p<0.001]). An increase in ceftriaxone MICs also was observed in California (0% in 2000 and 0.6% in 2010 [p = 0.001]).

Among MSM, the percentage of isolates with cefixime MICs ≥0.25 µg/mL increased from 0% in 2000 to 4.0% during 2010 (p<0.001), and the percentage of isolates with ceftriaxone MICs ≥0.125 µg/mL increased from 0% to 0.9% (p<0.001). Overall, no statistically significant increases occurred in cefixime or ceftriaxone MICs among MSW (Figure 2). Regionally, increases in the percentage of isolates with cefixime MICs ≥0.25 µg/mL among MSM were observed in all regions during 2000--2010 (West: 0% in 2000 and 5.0% in 2010 [p<0.001]; Midwest: 0% in 2000 and 3.4% in 2010 [p = 0.001]; Northeast and South: 0% in 2000 and 0.9% in 2010 [p = 0.035]). A significant increase among MSW was identified in the West (0% in 2000 and 1.3% in 2010 [p<0.001]); however, no change occurred in the Midwest (0.3% in 2000 and 0.1% in 2010), and a significant decrease occurred in the Northeast and South (0.4% in 2000 and 0% in 2010 [p<0.001]). For isolates with ceftriaxone MICs ≥0.125 µg/mL, significant regional increases were observed among MSM in the West (0% in 2000 and 0.8% in 2010 [p<0.001]) and Midwest (0% in 2000 and 2.0% in 2010 [p = 0.046]) and among MSW in the West (0% in 2000 and 0.2% in 2010 [p = 0.008]); no significant increases were observed among MSM or MSW in other regions.

During 2009--2010, 13 (0.11%) of 11,323 isolates had decreased susceptibility to cefixime (MICs = 0.5 µg/mL), compared with seven (0.02%) of 41,462 isolates during 2000--2006 (p<0.001) (isolates were not tested for cefixime susceptibility during 2007--2008). All 2009--2010 isolates with decreased susceptibility to cefixime were resistant to tetracycline and ciprofloxacin, all but one were resistant to penicillin, and none exhibited decreased susceptibility to azithromycin (≥2 µg/mL). Twelve of the men from whom the isolates were obtained were MSM; 10 men resided in the West, and three in the Midwest. No isolates had decreased susceptibility to ceftriaxone during 2000--2010.

[pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]

Astrawinata G

glek......dunia tanpa antibiotika yang efektif, kelak.....
Best Regards,


Astrawinata G

syx

#22
kan sekarang uda dikembangkan pake enzim (enzibiotik) dan menggunakan virus pemakan bakteri (bakteriofag).

asik tuh

maaf buat para om,prof ato kaka,,
antibiotik kaga bakal kebal kalo kaga ada kesadaran buat penggunaan yang benar,,
dari pada itu hampir setiap apotik misal ada pasien mengeluh tentang penyakit pasti tidak lain rata2 AA ato APA memberikan antibiotik(terutama gol penesilin) dgn alasan biar kuman pada ilang,,
dan bukan sepenuh nya juga sala AA ato APA tapi kurangnya penyuluhan bahaya pemakaian antibiotik secara sembarang,,

maaf om prof ato kaka kalo posting saya salah maklum anak baru kemaren

syx

Kutip dari: asik tuh pada Agustus 25, 2011, 08:07:27 PM
antibiotik kaga bakal kebal kalo kaga ada kesadaran buat penggunaan yang benar,,
mungkin maksudnya 'kuman kaga bakal kebal antibiotik kalo ...'?

kemungkinan kesalahan ada pada dua pihak"
- penyelenggara apotek ga mo kehilangan pasien, praktisi medis penjual obat tidak memberi penyuluhan, atau...
- pasien yang kadang sok tau. ini pernah saya alami sendiri waktu kerja praktek di apotek. ada pasien beli amox 3 biji. saya bilang bahwa itu kurang karena bla bla bla... dan si pasien dng sinis bilang 3 tablet aja udah langsung sembuh, ngapain musti beli banyak.

asik tuh

mantaps,,,
betul abis tuh,,

daripada tu sering kali AA ato APA membrikan antibiotik dgn dosis tnggi,,
bukan sala nya spenuhnya sih,,

tp akan lbih baek penggunaan antibiotik lbih dprhatikan,,
dari pada membuat antubiotik yang baru tapi g ada kesadaran bahayanya klo penyalah gunaannya salah..

pemerintah mohon bantuan buat penyuluhannya,,
^_^