Gunakan MimeTex/LaTex untuk menulis simbol dan persamaan matematika.

Welcome to Forum Sains Indonesia. Please login or sign up.

April 20, 2024, 05:07:25 PM

Login with username, password and session length

Topik Baru

Artikel Sains

Anggota
Stats
  • Total Tulisan: 139,653
  • Total Topik: 10,405
  • Online today: 231
  • Online ever: 1,582
  • (Desember 22, 2022, 06:39:12 AM)
Pengguna Online
Users: 1
Guests: 190
Total: 191

Aku Cinta ForSa

ForSa on FB ForSa on Twitter

Berbisnis lewat riset

Dimulai oleh adjie, Mei 24, 2007, 08:27:38 PM

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

adjie

Berbisnis lewat Riset

Banyak Disunat, Sisa Dana Penelitian 40-50 Persen
PANTAS laju dunia penelitian di Indonesia masih sebatas banjir hibah. Berbicara soal kualitas, nanti dulu. Itu bisa dihitung dengan jari.

Dana-dana penelitian tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal lantaran ada potongan di sana-sini. Belum lagi jika ada ulah peneliti-peneliti yang "berotak bisnis". Sisihkan dulu, baru sisanya untuk penelitian. Mungkin hanya 40-50 persen di antara total dana yang digunakan penelitian.

Yang pertama, dana penelitian dikenai beban pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen. "Itu khusus peneliti dari perguruan tinggi swasta (PTS). Peneliti dari perguruan tinggi negeri (PTN) bebas, asalkan bisa mengurus surat pajak," ungkap Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof Ir I Nyoman Sutantra MSc PhD.

Selain PPN, peneliti harus membayarkan pajak penghasilan badan sebesar enam persen kepada negara. Total sudah minus 16 persen. Bagi yang dinyatakan menerima honor, dana penelitian dipotong lagi 30 persen sebagai uang keringat para peneliti. Itu saja total potongan sudah mencapai 46 persen.

Cukup? Belum. Beberapa kampus "tega" memangkas sekian persen. Jumlahnya bervariasi. Mulai dua persen, sepuluh persen, hingga 20 persen. Katanya sih untuk biaya administrasi.

"Sebenarnya institusi tidak boleh memotong. Namun, kenyataannya masih banyak yang memotong untuk urusan administrasi," ujar Sutantra.

Di LPPM ITS, dia mengaku ada potongan. Namun, jumlahnya relatif kecil, sekitar 2,5 persen. "Kami maklum karena untuk mengurus semua aktivitas membutuhkan dana."

Ada beberapa dosen yang memanfaatkan dana penelitian sebagai sumber rezeki tambahan. "Tidak bisa dimungkiri, salah satu tujuan dosen melakukan penelitian ya untuk mencari untung. Anda tahu sendiri kan, berapa sih gaji dosen di Indonesia," ungkap salah seorang dosen PTN di Surabaya.

Salah satu trik yang biasa dilakukan adalah menambah anggaran 30 persen sebagai jalan mencari celah. "Ambil contoh, biaya transportasi. Apabila bisa ditempuh dengan jalan kaki, uang transpor bisa disimpan," kata dosen yang meminta namanya tidak dikorankan itu.

Celah lain yang bisa dimanfaatkan adalah ketika mengolah data. Misalnya, pendanaan dianggarkan Rp 5 juta. Peneliti tidak bakal mencari tenaga lain untuk mengolah data. Dia sendiri yang mengolah data tersebut. "Otomatis uang itu masuk ke kantong pribadi peneliti," jelas seorang sumber di lingkungan kampus lain.

Terkait dengan fenomena itu, Sutantra tidak memungkiri. "Namun, saya rasa jumlahnya kecil," tegasnya.

Hal yang sama diungkapkan Prof Paul Indiyono, peneliti senior dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). "Saya rasa, itu hanya oknum tertentu. Peneliti seharusnya berjiwa jujur," tegas guru besar Fakultas Teknik Kelautan (FTK) tersebut.

Dia tak memungkiri, honor penelitian tergolong besar. Misalnya, yang pernah dia alami. Paul pernah mengantongi Rp 18 juta sebagai honor. Karyanya berhasil merebut dana Riset Unggulan Terpadu (RUT) dari Menristek (2004-2006). "Rp 18 juta itu per tahun. Saya dapat untuk dua tahun," jelas ketua jurnal IPTEK ITS itu. Total dana penelitian yang dia peroleh kala itu Rp 250 juta.

Dana dana tersebut merupakan honor Paul dan timnya sebesar 30 persen -sebelum dipotong pajak penghasilan 15 persen. Honor itu, kata dia, dibagi untuk tiga peneliti dan empat teknisi. "Hasilnya, ya Rp 18 juta per tahun itu."

Nominal tersebut, kata dia, tergolong besar. "Apalagi kalau melihat gaji dosen yang tidak seberapa."

Menurut Dr Achmad Arifin, dosen Teknik Elektro ITS, sistem pemberian dana penelitian di Indonesia dan di luar negeri berbeda. Ketika dirinya pernah meneliti di Jepang, seluruh dana penelitian murni digunakan untuk mengegolkan tujuan. "Untuk honor, tidak masuk di situ. Gaji kami masuk dalam jalur sendiri, termasuk mengajar. Jumlahnya memang besar," kata alumnus Tohoku University, Jepang, tersebut.

Terlepas dari kenyataan bahwa banyak dosen yang memanfaatkan penelitian sebagai ajang menambah pemasukan, Arifin menyayangkan adanya berbagai potongan. Termasuk potongan yang dilakukan institusi.

Menurut dia, penelitian yang berkualitas tidak bakal muncul dari dana yang serbaminim. "Terkadang, kita malah melecehkan penelitian karena keterbatasan dana. Itu banyak dialami teman-teman, terutama untuk penelitian yang berdana kecil," ungkapnya.

Pelecehan yang dia maksud adalah proses downgrade topik penelitian. Dia lantas memberikan salah satu contoh. Misalnya, dia mengajukan proposal untuk membikin sebuah produk berkualitas A. Ternyata, dana yang keluar hanya cukup untuk memproduksi kualitas B. "Mau tak mau harus diturunkan kan kualitasnya."

Belum lagi peraturan pemerintah yang memberikan dana termin per termin. Bagi peneliti yang membutuhkan dana secara langsung atau bulat, hal itu akan sangat menghambat kinerja.

Lantas, bagaimana dengan adanya potongan dari institusi? Aliran dana dari Dikti ke perguruan tinggi memang tidak pendek. Pertama, dana masuk ke rekening rektor. Setelah itu, dana ditarik oleh LPPM dan baru masuk ke peneliti. Pencairan dana penelitian melalui tiga termin. Jamaknya, termin pertama berkisar 20 persen dari total dana. Lalu, 50 persen pada termin kedua serta 30 persen untuk termin terakhir.

"Setiap pergantian termin selalu ada evaluasi. Apakah si peneliti benar-benar melaksanakan tugas secara baik atau tidak," kata Sutantra.

Mendatangkan reviewer dan kegiatan semacam seminar tentu butuh dana. Karena itu, LPPM ITS, lembaga yang dipimpin Sutantra, memberlakukan potongan dari dana penelitian.

Kerumitan administrasi itulah yang menurut Sutantra membuat potongan seolah-olah menjadi halal. "Kecuali ada anggaran khusus. Nah, saat ini ITS sudah punya itu, sehingga tak perlu memotong lagi," ujarnya. Tapi, di beberapa kampus lain, potongan dari institusi masih muncul.

Urusan potong-memotong tersebut, kata dia, merupakan masalah sensitif. Gara-gara adanya berbagai potongan itu, dana yang diterima peneliti semakin pas-pasan. Terutama peneliti dari PTS yang kena PPN 10 persen. Bisa-bisa, kata Sutantra, si dosen malah nombok.

Itulah yang juga dipertanyakan Soetam Rizky, dosen Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Teknik Komputer (Stikom). Manajemen Stikom memotong 10 persen dana penelitian untuk para dosennya. "Total potongan 26 persen sangat berat," tegasnya.

Apalagi, dana yang dia dapatkan "hanya" Rp 10 juta dari penelitian dosen muda (PDM). "Padahal, perkiraan anggaran lebih dari itu. Maunya meneliti, malah jadi susah," katanya.

Bukan hanya Soetam. Beberapa peneliti lain mengeluhkan hal yang sama. Apalagi dengan aturan baru yang swakelola. Berdasar peraturan baru yang disosialisasikan Sutantra pada 16 Mei lalu, seluruh pendanaan yang dilakukan peneliti harus dilampiri kuitansi. "Peraturan pusat itu hampir mustahil. Bagaimana peneliti bisa berkembang kalau seperti itu?" ujarnya.

Secara umum, spirit yang ditempuh Dikti memang bagus. Namun, kata dia, hal itu justru lebih mendorong para peneliti untuk berbohong. Mengapa?

"Misalnya, dana untuk transportasi. Saya naik bus. Apakag bus memiliki kuitansi?" ungkapnya.

Itu salah satu contoh sederhana. "Banyak hal teknis lain yang tidak mungkin dikuitansikan semua."

Hal itu juga dikritik Arifin serta Paul. Dua peneliti asal ITS tersebut menilai, manajemen seperti itu justru memusingkan peneliti. Mereka juga harus memikirkan masalah administrasi. "Nanti tebal laporan hasil penelitian hanya lima sentimeter, sedangkan LPJ-nya (laporan pertanggungjawaban, Red) bisa 15 sentimeter," kata Sutantra kelakar berkelakar. (ara/cie/may)


jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=286580


Sudah bukan rahasia lagi dah dosen PNS di PTN dengan gaji Rp. 1.025.000 menghidupi anak istri kembang kempis :D apalagi yang dah punya bayi :p.. Kemungkinan bisa mendapatkan tambahan biaya tentu dari riset, menggunakan beberapa persen dari dana riset dimasukkan menjadi honor peneliti (dosen) yang bersangkutan, sisanya digunakan untuk riset (alat, mahasiswa, penggandaan dll).. Jadi intinya riset dijadikan tambahan pendapatan.

Nah, ato sharing pendapat kalian tentang ini, termasuk kalo kalian ada gagasan baru, gmana neh supaya dosen bisa mendaptkan tambahan sekaligus tidak mengurangi kualitas riset?

Jujur aja dengan kondisi kayak gene gak mungkin dah pendidikan kita bersaing dengan LN. Kalau ada yang gak setuju, dengan senang hati saya ingin melihat salah satu contohnya.. :D

reborn

Ini ceritanya curhat nih?? pake bawa2 bayi ;)


KutipAda beberapa dosen yang memanfaatkan dana penelitian sebagai sumber rezeki tambahan. "Tidak bisa dimungkiri, salah satu tujuan dosen melakukan penelitian ya untuk mencari untung. Anda tahu sendiri kan, berapa sih gaji dosen di Indonesia," ungkap salah seorang dosen PTN di Surabaya.

Atau jangan2 salah seorang dosen itu TS sendiri yahh ;)

Diminta pendapat soal ini ya sulit. Pasrah aja ya om :'(

adjie

Sebetulnya sih inti dari postnya,

Di satu sisi hukum, biaya riset jelas 100% untuk riset, ndak boleh disisain, tp...

Di sisi lain, kita bisa buat itu legal, dengan cara dalam proposal penelitian, kita cantumkan honor tim peneliti.

Jadi sebenarnya, tidak hanya mroyek kita bisa mendapatkan tambahan pendapatan, tp sebenarnya kalo mau berjuang kita bisa juga hidup dari penelitian.

Contoh Prof Paul Indiyono yang diwawancarai diatas, beliau termasuk yang hidup dari penelitian, krn aku tahu beliau soalnya. Beliau hidup dari penelitian, karena sering neliti, banyak paper, jadinya beliau termasuk orang termuda yang mendapatkan profesornya di ITS. Jd cari tambahan pendapatan gak melulu dari mroyek.

Selanjutnya, sebenarya posting di awal hanya cari pendapat saja, bagaimana "meningkatkan" kesejahteraan PNS "dosen".

Sebenarnya pencantuman bayi diatas rujukannya bukan bayi saja, tp anak.

Sudah bukan rahasia lagi kan, kalo sudah berkeluarga tentu harus mencukupi nafkah. Kalau gaji sudah dianggap cukup ya syukur. Tp kalo dianggap berlebih ya ndak juga. Jadi disini kita harus pintar2 mencari peluang halal untuk kepentingan baik karir maupun keluarga..

MuhammadBz

Lantas di negara yang sudaah maju bagaimana?

heru.htl

Saya berbisnis lewat riset pengembangan Open-Source software, tetapi pakai dana sendiri.
Hasil riset bisa dipakai orang banyak (karena dirilis dengan lisensi GPL, PHP, dan BSDL), tetapi diri sendiri tetap bisa dapat penghasilan dari pemesanan "special Open Source software".

Sebenarnya saya juga meragukan riset-riset yang selama ini dilakukan oleh orang-orang dalam instansi negeri, pasalnya hasilnya nggak jelas dan seringkali masyarakat tidak merasakan manfaatnya, apalagi kalau cuma riset-riset diluar bidang ilmu terapan, kadang-kadang hasilnya cuma arsip-arsip yang tidak banyak berguna.
Contoh, beberapa hari yg lalu, terjadi demo mahasiswa di salah satu kampus negeri lokal kota sy :: masalah studi banding pihak jurusan ke Kalimantan dengan biaya > 100 juta. Pips... masa dana sebesar itu, ttp hasilnya dipertanyakan? Padahal yang dipakai itu khan uang negara.

MuhammadBz

Memang seharusnya, orang disuruh riset yang murah, ntar kalo berhasil yng lebih mahal

begitukah?

heru.htl

Sebenarnya riset itu arahnya discovery (penemuan baru atau pengembangan berbasis sesuatu sehingga lahir aplikasi terbaru).
Riset seharusnya "bukan penelitian tanpa hasil".

Yang kita temukan saat ini, banyak orang-orang minta dana untuk riset kepada suatu perusahaan atau bahkan badan negara, tetapi tidak jelas apa prospek discovery-nya.
Nah ini yang jadi masalah. Duit terbuang sia-sia, "nothing to return" alias "void".

Kalau memang punya prospek discovery tetapi ternyata baru tahap eksperimen, ya sebaiknya pakai duit sendiri, kalau riset gagal kan nggak malu dan nggak merugikan orang lain.

MuhammadBz

buykanya kalo mau riset bikin proposal dulu, nata kan kelihatan persiapannya sampai mana?

cassle

Kalau menurut saya ini adalah akibat kurangnya alokasi dana untuk kesejahteraan para peneliti itu sendiri. Kalau gaji para peneliti lebih besar atau setidaknya cukup untuk menyejahterakan mereka, maka tidak akan ada lagi kata "tergiur" dengan dana penelitian tersebut.

wuriant

kata sapa gaji dosen rp. 1jt-an? temen2 gw banyak yang jadi dosen dan pada makmur tuch.
salah satu cara untuk memakmurkan dosen tuch yach pake sistem kelas D3 di universitas negeri, yang biayanya lumayan mahal.

cassle

wah cerita-cerita dong wuriant, biar kita semua bisa mendapat gambaran lain dari dunia riil tentang topik ini.. :)

wuriant

saya ambil contoh di fakultas ekonomi di salah satu PTN.
untuk S-1 di saring dari SNMPTN. sedangkan untuk calon mahasiswa D-3
jur akuntansi,perpajakan,manajemen,adm, dll di saring oleh universitas sendiri, biasanya sich berdasarkan uang pembangunan yang paling besar.
nach disini lah sumber dana universitas, ada subsidi silang dari calon mahasiswa d-3 ke S1.
belum lagi nanti dari uang kuliah per-sks, dan biaya untuk semester pendek.
makanya kalo masuk D3 di PTN negeri itu pasti mahal.

jadi nanti gajinya dosen seakan2 dari 2 sumber.

bahkan saya dapet info, kalo dekan ekonomi bisa mempunyai dana abadi di salah satu bank terbesar di indonesia untuk membiayai operasional fakultasnya sendiri.

wuriant

maksudnya dana abadi, deposito yang bunganya bisa buat membiayai operasional kegiatan fakultas. bahkan untuk pembangunan gedung.
ditambah lagi dengan progam master (S2) bisa tambah makmur tuch dosen2.
itulah kelebihannya fakultas ekonomi.

heru.htl

#13
gua riset tapi gak lewat lembaga indonesia, cuma sayangnya penemuan gua jadi milik public domain dan GNU.
mulai lisensi dan hak cipta semua diurus sama badan luar negeri, dana riset gua juga disokong perusahaan asing.
gua pernah ngajuin proposal ke pemerintah RI dibidang penelitian elektronika dan software, waduh... ruwet dan orang dalam pemerintah juga ada yang minta jatah dana penelitian segala... baahhh... gua batalin itu proposal... gua nggak suka kalau pun gua jadi sedikit kaya tetapi gua sudah korup dan grogotin uang negara lewat riset-risetan model gitu...

pantas, banyak ilmuan kita kabur keluar negeri, mungkin daripada jadi mafia mending jual tuh kepintaran ke orang luar negeri... sayangkan kalau ilmuan jadi mafia, belajar susah-susah siang malam sampai kena penyakit liver, tipus, dan mag... hasilnya cuma di-mafia-in...

Ivan Waruwu

lw dosen ngk bs berbisnis,mw gmn lagi.... mwny pemerinth tu lbh perhatian sma pendidikan..lw pendidikan d indonesia sdh bgus, kualitas manusiany pun akn lbh bagus.... :)