Member baru? Bingung? Perlu bantuan? Silakan baca panduan singkat untuk ikut berdiskusi.

Welcome to Forum Sains Indonesia. Please login or sign up.

April 20, 2024, 02:51:16 PM

Login with username, password and session length

Topik Baru

Artikel Sains

Anggota
Stats
  • Total Tulisan: 139,653
  • Total Topik: 10,405
  • Online today: 231
  • Online ever: 1,582
  • (Desember 22, 2022, 06:39:12 AM)
Pengguna Online
Users: 0
Guests: 201
Total: 201

Aku Cinta ForSa

ForSa on FB ForSa on Twitter

Mayoritas pendidikan di Asia

Dimulai oleh Mr.Smiley, Februari 27, 2011, 01:58:34 PM

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

cleo

heran, kenapa pada salut sama M. Nuh...

ada yang pernah dengar konsep badan hukum pendidikan? badan hukum pendidikan merupakan salah satu bentuk dari swastanisasi pendidikan/industrialisasi pendidikan/komersialisasi pendidikan... tujuan dibuatnya kebijakan ini supaya ada perampingan APBN... jadi, subsidi pendidikan yang cuma 20% sebisa mungkin di -nol-in dengan kebijakan BHP ini...

implikasinya: tentu banyak... sejak konsep BHP diluncurkan, beberapa kampus yang berstatus BHMN/BLU beramai-ramai mengadakan sistem otonomi di tiap jurusan/fakultasnya... jadi, persoalan biaya pendidikan ditentukan oleh fakultas itu sendiri... istilahnya, demokrasi.

kalau mau contoh lain yang lebih sederhana, ya UJIAN MANDIRI... setiap kampus yang mengadakan ujian mandiri, pasti membobotkan kuotanya disana, padahal uang pangkalnya jauh lebih mahal daripada lewat jalur resmi seperti SNMPTN.. maka jangan heran, kenapa peringkat universitas di indonesia dalam dunia mirip yo-yo, naik-turun... itu karena mahasiswa/i yang masuk ke universitas 'bergengsi' adalah mahasiswa yang malas, tidak giat, kemampuan otak pas-pasan, dan satu kelebihan mereka cuma adu kuat-kuatan duit...

sekarang sih kuota untuk SNMPTN lebih diperbanyak, tetapi tetap saja yang namanya UJIAN MANDIRI belum ditiadakan..

M. Nuh adalah tokoh yang mengamini adanya BHP ini... bahkan ketika BHP dicabut, lalu diganti PP 66, dia dengan bangga mendeklarasikan bahwa dirinya berpihak pada undang-undang yang lalim tersebut...

zaman orba: orang miskin dilarang kritis. zaman reformasi: orang miskin dilarang sakit dan dilarang sekolah...

saya tidak sepenuhnya sepakat dengan tulisan ng aik kwang, karena itu over-generalisir... saya dan teman-teman mengajar anak jalanan, dan mereka punya semangat yang tinggi dalam belajar, 180 derajat berbeda dengan yang diutarakan ng aik kwang... tapi anak-anak jalanan inilah yang terdiskriminasi, terlempar ke belakang oleh sistem pendidikan yang dibina oleh menteri pendidikan...

sistem pendidikan ini harus diubah. sistem yang sekarang menimbulkan ketimpangan antara orang-orang kaya dan miskin.. jika mereka berada dalam satu lingkungan kampus, tetap saja ada perasaan minder bagi anak2 yang kurang mampu, karena si kaya mendapat perlakuan istimewa...

indonesia harus ganti menteri yang mindsetnya berpihak kepada kaula, bukan menteri yang money-oriented...

rafek

#16
Ikut nimbrung.
Saya rasa, point2 yg dikemukakan Prof. Ng Aik Kwang diatas dapat dengan mudah dijumpai di Indonesia. Saya sendiri adalah orang yg tidak setuju dengan sistem pendidikan di Indonesia. Contohnya soal UN. UN selalu menjadi kontroversi tiap tahunnya, dan menghasilkan banyak sekali siswa tidak lulus yg kemudian frustasi dan tidak jarang meregang nyawa ditangan sendiri. Dan anehnya, tiap tahun pemerintah selalu menaikan nilai minimum kelulusan UN, tanpa peduli. Untungnya tahun ini UN sedikit lebih "lunak" dengan mengikutsertakan hasil rapor sekolah dengan bobot 40%. UN seharusnya hanya menjadi feedback bagi pemerintah untuk mengetahui sejauh mana keefektifan pembelajaran siswa di sekolah, namun mengapa malah jadi membebani siswa. Lalu, untuk apa sekolah jika kelulusan hanya dinilai berdasarkan hasil ujian selama beberapa hari saja dengan soal acak dari sekian banyaknya materi yg dipelajari?

Belum lagi soal scanner, yg juga menjadi faktor penting dan menentukan kelulusan secara tidak langsung. Lalu soal kalkulator, untuk apa diciptakan kalkulator, jika untuk menghitung soal kita harus menghitungnya secara manual. Maksud saya, untuk siswa SMP dan SMA, tentu pasti sudah menguasai perhitungan dasar, sehingga lebih baik menggunakan kalkulator untuk menghemat waktu. Saya ibaratkan begini, jika orang pada masa lampau menggunakan batu obsidian asahan untuk menyayat daging, lalu berkembang sedemikian rupa hingga menjadi pisau yg kita kenal sekarang, apakah untuk menyayat daging di masa sekarang kita harus mulai dari penggunaan batu obsidian? Itu artinya kita membuang kemajuan peradaban selama ribuan tahun.

Masalahnya, apakah nilai hasil UN itu murni? Saya dengan berani memperkirakan bahwa sekitar 65% hasil UN tidak murni mencerminkan hasil belajar siswa. Kecurangan yg umum seperti mencontek telah menjadi budaya, terlepas dari mau atau tidak kita mengakuinya. Dan seiring kemajuan teknologi, metode mencontek pun berkembang. Sekarang, tidak aneh lagi jika kita menjumpai adanya transfer jawaban lewat sms, YM, twitter, bluetooth, dsb, yg menjadi fitur favorit di hp mereka. Salah satu kelebihan mayoritas bangsa ini adalah memakai akalnya untuk mengakali orang lain.

Bahkan, banyak sekolah membuat semacam "tim sukses" untuk mengakali UN. Tim sukses ini terbentuk dari berbagai komponen sekolah, bahkan guru sekalipun. Cara kerjanya bermacam macam, mulai dari pengalihan perhatian pengawas, pengaturan posisi duduk, hingga pembelian soal. Untuk pembelian soal, harga satu paket soal UN berkisar sekitar 6 sampai 9 juta, dan tidak sedikit sekolah yg siswanya mengadakan patungan untuk membeli paket soal UN tsb.

Mengapa guru sampai terlibat dalam proses ini? Karena demi menjaga nama baik dan pamor sekolah, terlebih sekolah favorit. Sekolah2 ini mengidamkan kelulusan 100% agar pamor sekolah tidak turun, sehingga tetap menjadi destinasi banyak calon murid baru dari kalangan menengah ke atas.

Tidak heran, sistem inibanyak menghasilkan lulusan2 yg "sukses" menipu rakyat dengan janji belaka, dan mafia2 kasus, mafia pajak, dsb, karena di bangku sekolah pun mereka diajari untuk berlaku seperti itu.

Saya tidak mengada ada, tapi inilah realita yg terjadi disekitar kita. Saya rasa, orang2 di forum ini adalah orang2 yg concern terhadap pendidikan di Indonesia. Saya pesimis negara ini mengalami kemajuan yg berarti di masa mendatang jika sistem ini masih berulang. Masalahnya, tindakan nyata apa yg akan kita perbuat menghadapi sistem yg meracuni pola pikir bangsa ini?
There is impossible to escape the reality, except weaving together all of your imagination to make an alternate reality, and expand your own horizon. But people may call you a madman.

cleo

dengan pemikiran macam bung rafek, juga sulit untuk mencapai sistem pendidikan yang ideal... karena bung rafek terlalu sibuk mengkritik kaum-kaum priayi yang punya hape, bisa beli soal, dll... tapi tidak ada perjuangannya untuk mereka yang tidak mampu sekolah... bung rafek ini mirip sekali dengan budi utomo, yang hanya memperjuangkan pendidikan eksklusif demi kaum priayi...

yang miskin kalo nggak mau jadi TKI, kita genosida aja yuk.. gak usah sekolah. bung rafek pasti sepakat.

rafek

Kutip dari: cleo pada Mei 08, 2011, 01:24:20 AM
dengan pemikiran macam bung rafek, juga sulit untuk mencapai sistem pendidikan yang ideal... karena bung rafek terlalu sibuk mengkritik kaum-kaum priayi yang punya hape, bisa beli soal, dll... tapi tidak ada perjuangannya untuk mereka yang tidak mampu sekolah... bung rafek ini mirip sekali dengan budi utomo, yang hanya memperjuangkan pendidikan eksklusif demi kaum priayi...

yang miskin kalo nggak mau jadi TKI, kita genosida aja yuk.. gak usah sekolah. bung rafek pasti sepakat.
Kok gitu? Saya sama sekali tidak berpihak pada kaum priyayi. Memang kalimat mana yg terkesan seperti itu? Mungkin anda salah memahami tulisan saya. Saya hanya menyampaikan kritik terhadap sistem pendidikan yg saya anggap salah berdasarkan realita yg saya jumpai. Masalahnya, selama kita masih terjebak dlm sistem, maka sulit untuk merubahnya dari dalam. Saya analogikan begini, sebesar apapun seekor ikan yg melawan arus, pasti kalah melawan ikan2 kecil yg mengikuti arus. Saya ulangi tulisan saya sebelumnya. Saya rasa orang2 di forum ini adalah orang2 yg concern terhadap pendidikan di Indonesia, maka tindakan nyata apa yg bisa kita perbuat menghadapi sistem ini?
There is impossible to escape the reality, except weaving together all of your imagination to make an alternate reality, and expand your own horizon. But people may call you a madman.

semut-ireng

Kutip dari: rafek pada Mei 08, 2011, 06:18:16 AM
Masalahnya, selama kita masih terjebak dlm sistem, maka sulit untuk merubahnya dari dalam. Saya analogikan begini, sebesar apapun seekor ikan yg melawan arus, pasti kalah melawan ikan2 kecil yg mengikuti arus. Saya ulangi tulisan saya sebelumnya. Saya rasa orang2 di forum ini adalah orang2 yg concern terhadap pendidikan di Indonesia, maka tindakan nyata apa yg bisa kita perbuat menghadapi sistem ini?

Setuju.  Salah satu solusinya,  harus dioprak-oprak oleh mereka yang berada di luar sistem.  Mereka yang berada di dalam sistem mana berani ?  Lha wong ikan-ikan yang mengikuti arus itu gede-gede.......... :D

rafek

Sekali lagi, tindakan nyata apa yg bisa kita perbuat untuk menghadapi sistem ini? Jika hanya mencoba mengemukakan aspirasi saja, walaupun kita berteriak-teriak setengah mati pun gak bakal didengar oleh pemeritah. Solusi efektif apa yg bisa menyelesaikan masalah ini?

Dampak langsung dan jangka panjang dari sistem pendidikan macam ini begitu terasa di tiap aspek kehidupan masyarakat. Di dunia kerja, misalnya, dapat mudah dijumpai praktek kolusi dan nepotisme, apalagi korupsi, sudah mengakar pada pola pikir mayoritas orang. Dan masalahnya, orang2 ini seakan akan memiliki link tak terbatas yg melindungi praktek ini. Orang jujur, atau setidaknya memiliki "sense of honour" tidak bisa bertahan di lingkungan macam ini. Bahkan, di bangku SMA saya terkejut ketika seorang guru yg saya kira alim, religius, dan terkesan baik, malah menyusun sistem "tim sukses" dibalik UN. Apakah sudah begitu burukkah moral & etika bangsa ini?

Walau begitu, saya tidak sepenuhnya menyalahkan mereka. Toh mereka pun bisa dipandang sebagai korban sistem, atau yg saya ibaratkan dengan arus sungai di tulisan saya sebelumnya.
There is impossible to escape the reality, except weaving together all of your imagination to make an alternate reality, and expand your own horizon. But people may call you a madman.

hery_hunterz

@rafek
agan nag SMA juga ya...??
kelas brapa....???
ato baru tamat...??
Ora Et Labora

rafek

Ya, saya baru tamat SMA
Apa anda mengalami atau menyadari "kecacatan" sistem pendidikan Indonesia yg sekarang? Sekali lagi, solusi dalam bentuk nyata apa yg bisa kita lakukan?
There is impossible to escape the reality, except weaving together all of your imagination to make an alternate reality, and expand your own horizon. But people may call you a madman.

rafek

Saya rasa, orang2 Indonesia sendiri cukup pintar untuk bersaing di dunia internasional. Hanya saja, sekali lagi sistem berbelit ini menghadang kemajuan pendidikan Indonesia. Saya yakin, departemen pendidikan pasti menyadari bahwa UN dipenuhi kecurangan, tapi kecurangan ini tidak kunjung hilang, malah semakin berkembang. Dan anehnya lagi, hasil UN ini masih dianggap valid. Saya sedikit lega dengan kebijakan disertakanya nilai sekolah dalam perhitungan kelulusan siswa, namun apakah kebijakan ini masih berlaku tahun depan? Mengingat kurikulum dan regulasi yg seringkali berubah dari tahun ke tahun.

Entah mengapa, pemerintah masih mengandalkan UN sebagai penentu kelulusan, walau dijumpai banyak sekali kekurangan. Apakah ada oknum yg "bermain" disini? Apakah UN menjadi lahan proyek yg sayang untuk dihilangkan? Saya tidak akan berspekulasi lebih jauh, tapi wajar kan bila kecurigaan macam itu timbul?

Saya memprediksi, ilmuan sekelas Einstein, tidak akan menjadi Einstein yg kita kenal jika saja ia tumbuh besar dan mengenyam pendidikan di Indonesia. Alasanya, pertama, Einstein mengidap autism, selain itu, ia juga seorang introvert, dan eksentrik. Nilai rapornya semasa sekolah pun tidak begitu tinggi. Setahu saya, Einstein pernah mengalami depresi karena  bertentangan paham dengan gurunya semasa sekolah, yg menyebabkan ia menjauhi dunia keilmuan selama periode tertentu. Saya rasa, di Indonesia, rasa keingintahuan siswa seringkali tidak tersalurkan, karena kurikulum yg linear. Dalam hal ini, saya sependapat dengan Prof. Ng Aik  Kwang diatas.

Tulisan ini dibuat perdasarkan pandangan pribadi saya, jadi mungkin anda tidak sependapat atau mengganggap tulisan saya terlalu pesimistik.
There is impossible to escape the reality, except weaving together all of your imagination to make an alternate reality, and expand your own horizon. But people may call you a madman.

hepimental

bagus banget artikel Mr. Smiley.. saya sendiri sering melihat anak-anak SD jaman sekarang dijejali berbagai kursus pelajaran eksak, musik, bahasa inggris/mandarin, komputer dll karena ortunya pengen anaknya bisa semua hal. Kadang kasian liat anaknya, coba kalo ortunya yang dijejali seperti itu mau ngga :D

rafek

Baru2 ini berita di televisi menayangkan perihal seorang anak dan ibunya yg mengadukan kecurangan yg terjadi di sekolahnya selama pelaksanaan UN. Sang anak bernama Alifah Ahmad Maulana dan ibunya Siami bahkan diusir dari rumahnya sendiri akibat melaporkan praktek kecurangan ini. Saat ini, banyak simpati mengalir bagi mereka, sebagai simbol kejujuran yg amat langka dijumpai saat ini.

Di lain hal, tereksposnya peristiwa ini menyadarkan berbagai pihak mengenai nilai2 yg sudah berbalik. Ini ada kaitannya dengan sistem yg saya sebut sebelumnya. Banyak orang mengatakan keprihatinnanya terhadap bobroknya mental bangsa, dan telah teracuninya pola pikir masyarakat bahkan di usia dini. Mendengar hal ini, saya prbadi tidak bisa menahan diri untuk mengatakan "memang, baru sadar? hal ini sudah terjadi sejak dulu, bahkan telah membudaya, kemana saja anda selama ini?" Kata2 saya bernada sinisme, tapi walau demikian, memang itulah yg terjadi.

Tidak henti hentinya saya mengajak untuk turut kritis dan membenahi sistem ini. Apakah orang2 jujur hanya bisa diam?
There is impossible to escape the reality, except weaving together all of your imagination to make an alternate reality, and expand your own horizon. But people may call you a madman.

Mr.Smiley

Kutip dari: rafek pada Mei 09, 2011, 12:25:18 PM
Sekali lagi, tindakan nyata apa yg bisa kita perbuat untuk menghadapi sistem ini?

orang-orang yang masih berada di dalam sistem (murid, mahasiswa, guru, dosen,dll) harus bisa jujur pada diri sendiri, dimulai dari tidak mencontek saat ujian, bangga dengan hasil kerjanya sendiri, tidak titip absen, dll.
untuk orang yang di luar sistem (orangtua murid, orang-orang yang tidak lagi mengenyam pendidikan formal) diharapkan bisa terus memotivasi orang-orang di dalam sistem untuk komitmen dengan kejujurannya.

jika 70% saja dari tiap generasi menjalankan ini, di dunia kerja nanti mereka sudah akan terbiasa dengan kejujuran.

Kutip dari: rafek pada Juni 15, 2011, 02:44:54 PM
Apakah orang2 jujur hanya bisa diam?

Monox D. I-Fly

Kutip dari: hepimental pada Mei 26, 2011, 09:24:49 AM
bagus banget artikel Mr. Smiley.. saya sendiri sering melihat anak-anak SD jaman sekarang dijejali berbagai kursus pelajaran eksak, musik, bahasa inggris/mandarin, komputer dll karena ortunya pengen anaknya bisa semua hal. Kadang kasian liat anaknya, coba kalo ortunya yang dijejali seperti itu mau ngga :D

Yup... Padahal nggak ada seorang pun di dunia ini yg bisa semua hal...
Gambar di avatar saya adalah salah satu contoh dari kartu Mathematicards, Trading Card Game buatan saya waktu skripsi.

topazo

Kutip dari: rafek pada Mei 09, 2011, 12:25:18 PM
Sekali lagi, tindakan nyata apa yg bisa kita perbuat untuk menghadapi sistem ini? Jika hanya mencoba mengemukakan aspirasi saja, walaupun kita berteriak-teriak setengah mati pun gak bakal didengar oleh pemeritah. Solusi efektif apa yg bisa menyelesaikan masalah ini?
Saya kemarin mendengar acara radio, kebetulan temanya tentang pendidikan dan pengajaran... Narasumbernya Ayah Edy, yang punya program "[pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]"... Dia merupakan salah seorang pendidik dan membuat program home schooling dan mengajar bagaimana mendidik ana ala ilmuwan zaman dahulu... Dia cerita, bahwa Pendidikan kita saat ini sudah melenceng dari pembentukan kekreatifitasan dan pengembangan pelajar, dan salah satu bagaimana memperbaiki sistem yang salah ini adalah dimulai dari diri sendiri dan keluarga... Saya kutip dari websitenya:
Kutip dari: [pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]Indonesia pada hakikatnya merupakan kumpulan dari keluarga-keluarga yang tersebar dilebih dari 12.000 pulau yang ada di Nusantara. Apabila keluarga-keluarga ini kuat, maka Indonesia akan menjadi Bangsa dan Negara yang Kuat dgn sendirinya tanpa perlu konsep yg berbelit-belit dan biaya yang membebani negara. Pastikan keluarga kita dan keluarga sanak famili kita di seluruh tanah air telah menjadi bagian dari GERAKAN MEMBANGUN INDONESIA YANG KUAT DARI KELUARGA !
Setelah saya baca2 websitenya, menurut saya inilah salah satu jawaban atas pertanyaan boss rafek...
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Mr.Smiley

website yang menginspirasi, mas topazo  :)

seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya, keluarga diharapkan bisa terus memotivasi orang-orang di dalam sistem untuk komitmen dengan kejujurannya.