Sayangnya jawaban untuk pertanyaan anda nampaknya tak cuma satu. Tindakan yang dilakukan bisa berbeda tergantung kondisi. yang jelas, opsi balas memaki, atau opsi menggunakan kekerasan adalah opsi yang bisa diabaikan.
Jika karena agama kita dihina kita balas menghina, maka sama saja kita merendahkan agama kita, tindakan kita dua kali lebih buruk. Karena bukan saja menghina pihak lain, kita juga secara tak langsung membenarkan penghinaan atas agama kita.
Setuju sekali pak Pi One
Dalam sebuah peperangan, Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah. diludahi orang kafir yang pedangnya terlepas akibat hantaman pedang Ali. Muka Ali penuh dengan ludah. Karena emosi, beliau segera mengayunkan pedangnya. Belum sampai Ali menebas orang kafir itu, beliau menahan laju Zulfikar, pedang kesayangannya. “Kenapa kau tak jadi menebasku, wahai Ali?”. Ali menjawab, “Aku berperang karena Allah, bukan karena kemarahanku. Aku tak bisa menebasmu hanya gara-gara kemarahanku kepadamu yang meludahiku..”
Subhanallah, Sayyidina Ali menahan amarahnya atas hinaan orang itu pada dirinya..
Lalu bagaimana dengan Rasulullah?
Saat Rasulullah dicaci maki dan dilempari batu, Rasul tidak membalas.
Bahkan saat Jibril mengatakan, “Ya Rasulullah jika Engkau meminta niscaya akan Allah jungkirbalikkan bumi ini agar mereka tahu bahwa mereka salah dan tak pantas memperlakukanmu seperti itu..”.
Rasul menjawab, “Tidak, Jibril. Biarkan saja mereka melakukan itu karena mereka tidak tahu bahwa mereka keliru..”
Saat Rasulullah diludahi, beliau tidak membalas dengan meludahi. Malah beliau tengok dan santuni saat si peludah sedang sakit. Orang itu terharu dan hatinya tergetar oleh akhlaq Rasulullah, dan ia pun mengucapkan syahadat di hadapan beliau .
Seorang pengemis Yahudi buta nan renta tak bergigi sering dibantu Rasulullah melembutkan makanan. Beliau juga menyuapinya. Saat disuapi, pengemis buta itu sering mencaci dan menggunjing Rasulullah. Ia membenci Rasul. Kakek itu tidak tahu bahwa orang yang ada di hadapannya dan membantunya makan adalah orang yang selalu dicacinya. Apakah Rasul marah dan mengatakan bahwa ia adalah orang yang dicaci pengemis itu? Tidak. Bahkan hingga wafatnya manusia yang mulia ini.
Setelah sekian lama tak ada yang membantu melembutkan makanan dan menyuapi, barulah kakek itu merasa kehilangan sang penolong. Ia bertanya-tanya kemana gerangan si penolong. Saat Abu Bakar membantu menyuapi pengemis tua itu, barulah Abu Bakar bercerita, “Kakek, tahukah engkau siapa orang yang selalu membantu melembutkan roti dan menyuapimu selama ini? Dia adalah orang yang sering Engkau caci. Dia adalah Muhammad Rasulullah”. Seketika sang pengemis pingsan. Saat siuman ia ucapkan syahadat dan meninggal dunia.
Saat sekelompok orang Yahudi menghina dan mengumpat Rasulullah, Aisyah membalas hinaan dan caci maki itu dengan cara yang sama. lalu Rasulullah menegur Aisyah, “Aisyah, apa yang kau lakukan. Janganlah kau balas cacian dengan cara yang sama. Sesungguhnya manusia akan kembali dalam bentuk cacian dan umpatannya”. Kembali, Rasulullah menunjukkan kemuliaan akhlaknya.
RASULULLAH TAK PERNAH MENGAJARKAN UMATNYA UNTUK MENGHALALKAN SEGALA EKSPRESI… TAK PERNAH RASUL MENGAJARKAN UMATNYA MENGHINA, MENGUMPAT, MENCACI, MEMAKI…BELIAU LAH PENYEMPURNA AKHLAK.