Selamat datang di ForSa! Forum diskusi seputar sains, teknologi dan pendidikan Indonesia.

Welcome to Forum Sains Indonesia. Please login or sign up.

April 19, 2024, 09:40:35 PM

Login with username, password and session length

Topik Baru

Artikel Sains

Anggota
Stats
  • Total Tulisan: 139,653
  • Total Topik: 10,405
  • Online today: 139
  • Online ever: 1,582
  • (Desember 22, 2022, 06:39:12 AM)
Pengguna Online
Users: 0
Guests: 171
Total: 171

Aku Cinta ForSa

ForSa on FB ForSa on Twitter

Konsep God of the gap

Dimulai oleh MonDay, Mei 27, 2011, 06:38:24 PM

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

Pi-One

Kutip dari: familycode pada Mei 29, 2011, 07:43:48 AM
Jadi inget ada yang pernah berdebat bahwa semua agama adalah tuhannya sama, menurut saya, tiap agama bisa berbeda tuhannya, sindirian atheis atau agnostik untuk theis kalau dilihat dari ranah kepercayaan maka tidak bisa atheis atau agnostik melakukan sindiran semacam itu dalam lingkup ideologi multikultralisme, karena tiap agama punya tuhannya sendiri, jika misal atheis tidak percaya kepada Tuhan maka itu adalah hak dia, tapi dia tidak bisa melakukan sindiran, karena kepercayaan adalah ranah privacy, ranah pribadi, walaupun dapat diberitakan kepercayaannya ke orang lain asal tidak memaksa.
Masalahnya adalah kapan non-theis melakukan sindiran tadi. Sindiran tadi sejatinya bukan menyerang iman theis. Tapi saat ada permasalahan, dan theis mencoba menjawabnya, seringkali sudah melampaui ranah iman semata (misal dalam menjawab permasalahan sains), maka sindiran itu akan keluar.

Misal saat mencoba menjelaskan asal kehidupan, asal manusia, atau asal alam semesta, theis seringkali mengklaim: 'segala sesuatu pasti ada pencipta', dan 'kalau bukan Tuhan, siapa lagi?'

Misal kasus di forum tetangga:
T: Segala sesuatu pasti ada pencipta, dan pencipta itu adalah Tuhan
NT: Apa bukti kalau Tuhan yang menciptakan?
T: Kalau bukan Tuhan, siapa lagi?
P: GoEL

familycode

#16
Kutip dari: Pi-One pada Mei 29, 2011, 10:39:47 AM
Masalahnya adalah kapan non-theis melakukan sindiran tadi. Sindiran tadi sejatinya bukan menyerang iman theis. Tapi saat ada permasalahan, dan theis mencoba menjawabnya, seringkali sudah melampaui ranah iman semata (misal dalam menjawab permasalahan sains), maka sindiran itu akan keluar.

Misal saat mencoba menjelaskan asal kehidupan, asal manusia, atau asal alam semesta, theis seringkali mengklaim: 'segala sesuatu pasti ada pencipta', dan 'kalau bukan Tuhan, siapa lagi?'

Misal kasus di forum tetangga:
T: Segala sesuatu pasti ada pencipta, dan pencipta itu adalah Tuhan
NT: Apa bukti kalau Tuhan yang menciptakan?
T: Kalau bukan Tuhan, siapa lagi?
P: GoEL
Jika konteksnya terlepas dari disiplin ilmu tertentu, kenapa tidak dijawab dengan mengatakan bahwa setiap orang punya kepercayaan masing-masing, jika anda mengatakan tidak percaya karena belum atau tidak pernah melihat sehingga artinya anda percaya logika empirisnya semata yang melihat ada maka percaya dalam hal tersebut, kalau mereka percaya itu sebagai suatu bentuk iman maka itu bukan masalahkan. Masalah kita tidak mempercayai atau tidak itu kembali ke diri masing-masing, seperti anda percaya adanya reinkanasi, itu kepercayaan anda yang sebenarnya dapat saja disampaikan ke orang lain, terlepas orang lain mau percaya atau tidak.

Jika sudah masuk disiplin ilmu tertentu maka itu dapat beda lagi kalau misal sudah masuk ranah disiplin ilmu fisika, yang theis juga rasanya tidak mungkin menjawab soal fisika dengan jawaban agamakan, karena tentu dapat disalahkan dengan guru fisika. Kalau saya lihat, ini hanya masalah bagaimana orang dapat saling memahami dan memberikan pemahaman.

imi

"Jika sudah masuk disiplin ilmu tertentu maka itu dapat beda lagi kalau misal sudah masuk ranah disiplin ilmu fisika, yang theis juga rasanya tidak mungkin menjawab soal fisika dengan jawaban agamakan, karena tentu dapat disalahkan dengan guru fisika."

Maaf, agama itu bukan untuk menjelaskan fenomena.
Allah memberikan sebagian kecil ilmu-Nya melalui ayat qauliyah dan ayat kauniyah. Ayat kauniyah ini terdapat di alam semesta, meliputi fenomena-fenomena alam (tidak hanya fisika).
Kita bisa lihat, fenomena yang dijelaskan oleh seorang ilmuwan atau filosof bisa saja salah, berubah abad akan ada perbaikan dari ilmuwan selanjutnya. Contohnya Aristoteles yang mengatakan teori geosentrisnya kemudian digantikan menjadi teori heliosentris (untuk cakupan tata surya saja). Namun, ayat-ayat Allah akan tetap tidak berubah. Ayat kauniyah ini sangat berarti bagi kaum yang berpikir, contohnya para ilmuwan yang memiliki kerendahan hati (tidak dibutakan kecerdasannya) akan mempercayai bahwa yang menciptakan alam semesta beserta isinya adalah Dzat yang Maha Kuasa dan hanya ada satu, Tuhan Yang Maha Esa.
Hanya meluruskan pemahaman seorang atheis tanpa mencoba memaksakan kepercayaan yang saya anut.

familycode

Kutip dari: imi pada Mei 29, 2011, 01:47:46 PM
Maaf, agama itu bukan untuk menjelaskan fenomena.
Coba anda lihat objek kasusnya, itu adalah misalkan dalam contoh yang saya sampaikan yang untuk menjawab misalkan dari si pi-one.
KutipMisal saat mencoba menjelaskan asal kehidupan, asal manusia, atau asal alam semesta, theis seringkali mengklaim: 'segala sesuatu pasti ada pencipta', dan 'kalau bukan Tuhan, siapa lagi?'
Dari objek kasus itu saya mencoba membagi 2 hal.
1. Jika berdasarkan terlepas dari konteks disiplin ilmu tertentu
2. Jika dalam konteks ilmu tertentu
Jadi anda bilang agama bukan untuk menjelaskan fenomena maka anda lihat kasus yang disampaikan, lihat konteksnya apa.

Kutip dari: imi pada Mei 29, 2011, 01:47:46 PM
Allah memberikan sebagian kecil ilmu-Nya melalui ayat qauliyah dan ayat kauniyah. Ayat kauniyah ini terdapat di alam semesta, meliputi fenomena-fenomena alam (tidak hanya fisika).
Tadi katanya bukan untuk menjelaskan fenomena, kok jadi paradoks yang anda katakan.

Kutip dari: imi pada Mei 29, 2011, 01:47:46 PM
Kita bisa lihat, fenomena yang dijelaskan oleh seorang ilmuwan atau filosof bisa saja salah, berubah abad akan ada perbaikan dari ilmuwan selanjutnya. Contohnya Aristoteles yang mengatakan teori geosentrisnya kemudian digantikan menjadi teori heliosentris (untuk cakupan tata surya saja). Namun, ayat-ayat Allah akan tetap tidak berubah.
Ayat kauniyah ini sangat berarti bagi kaum yang berpikir, contohnya para ilmuwan yang memiliki kerendahan hati (tidak dibutakan kecerdasannya) akan mempercayai bahwa yang menciptakan alam semesta beserta isinya adalah Dzat yang Maha Kuasa dan hanya ada satu, Tuhan Yang Maha Esa.
Ini menurut agama anda? Apakah anda yakin penganut Budha juga berpikir sama dengan anda?

Kutip dari: imi pada Mei 29, 2011, 01:47:46 PM
Hanya meluruskan pemahaman seorang atheis tanpa mencoba memaksakan kepercayaan yang saya anut.
Pemahaman atheis memang bagaimana? Di atas anda menjelaskan tentang kepercayaan yang anda anutkan, kok jadi ga jelas begini?

Pi-One

Kutip dari: familycode pada Mei 29, 2011, 11:50:01 AM
Jika konteksnya terlepas dari disiplin ilmu tertentu, kenapa tidak dijawab dengan mengatakan bahwa setiap orang punya kepercayaan masing-masing, jika anda mengatakan tidak percaya karena belum atau tidak pernah melihat sehingga artinya anda percaya logika empirisnya semata yang melihat ada maka percaya dalam hal tersebut, kalau mereka percaya itu sebagai suatu bentuk iman maka itu bukan masalahkan. Masalah kita tidak mempercayai atau tidak itu kembali ke diri masing-masing, seperti anda percaya adanya reinkanasi, itu kepercayaan anda yang sebenarnya dapat saja disampaikan ke orang lain, terlepas orang lain mau percaya atau tidak.

Jika sudah masuk disiplin ilmu tertentu maka itu dapat beda lagi kalau misal sudah masuk ranah disiplin ilmu fisika, yang theis juga rasanya tidak mungkin menjawab soal fisika dengan jawaban agamakan, karena tentu dapat disalahkan dengan guru fisika. Kalau saya lihat, ini hanya masalah bagaimana orang dapat saling memahami dan memberikan pemahaman.
Sori, tapi 'melihat' bukan satu-satunya metode pembuktian. Karena jika begitu, orang buta tak akan bisa membuktikan apapun.

Bahkan untuk percaya pun kita memerlukan alasan, termasuk untuk menghapus keraguan. Entah apa dasar theis percaya, tapi jka disuruh percaya semata karena 'itu dari Tuhan' atau 'itu ada di kitab suci' atau 'itu dipercaya mayoritasorang', bagiku itu bukan alasan untuk percaya.

Sebaiknya anda tahu dulu kapan theis mencetuskan God of the gap, dan kapan non-theis menanggapinya. Biasa justru theis yang mencoba meyakinkan non-theis dengan konsep God of the gap, baru non-theis menanggapinya denan sindiran tadi.

familycode

Kutip dari: Pi-One pada Mei 29, 2011, 10:46:52 PM
Sori, tapi 'melihat' bukan satu-satunya metode pembuktian. Karena jika begitu, orang buta tak akan bisa membuktikan apapun.
Disini arti melihat yang saya maksud adalah sebagai salah satu indera untuk metode pendekatan pembuktian, ini hanya contoh, jika tidak punya mata masih ada indera lain untuk melakukan metode pendekatan pembuktian, intinya bukan berarti mata adalah satu-satunya metode pendekatan pembuktian, masih ada indera lain untuk melakukan metode pendekatan pembuktian terhadap suatu hal.

Kutip dari: Pi-One pada Mei 29, 2011, 10:46:52 PM
Bahkan untuk percaya pun kita memerlukan alasan, termasuk untuk menghapus keraguan. Entah apa dasar theis percaya, tapi jka disuruh percaya semata karena 'itu dari Tuhan' atau 'itu ada di kitab suci' atau 'itu dipercaya mayoritasorang', bagiku itu bukan alasan untuk percaya.
Percaya apakah pasti dan harus memerlukan alasan yang obyektif? bukankah dasarnya manusia itu bukan mahluk rasional, manusia menggunakan berbagai pengetahuannya untuk dirinya, termasuk untuk kepuasan batin, lagi pula theis percaya pada teori penciptaan salah satunya sudah banyak disampaikan yang lain, contohnya bahwa dunia ini begitu sangat teratur, tidak mungkin tiba-tiba muncul begitu saja tanpa ada pencipta, maka sangat wajar para theis jika menggunakan alasan tersebut, dalam ideologi multikultur kalau misalkan anda tidak setuju maka anda dapat melakukan dengan mengatakan alasannya yang dimana jika ahkirnya tidak ada kesepakatan ya cukup tinggal mengatakan yang intinya ya kembali kepada kepercayaan masing-masingkan?

Kutip dari: Pi-One pada Mei 29, 2011, 10:46:52 PM
Sebaiknya anda tahu dulu kapan theis mencetuskan God of the gap, dan kapan non-theis menanggapinya. Biasa justru theis yang mencoba meyakinkan non-theis dengan konsep God of the gap, baru non-theis menanggapinya denan sindiran tadi.
Apa yang salah theis yang mencoba meyakinkan non-theis dengan konsep apa yang dia percaya, bukankah didunia ini semua orang berusaha saling mempengaruhi, asal tidak memaksa dan tidak mengancam kebersamaan ya tidak masalahkan, mengancam kebersamaan maksudnya seperti menjadi teroris (ajakan bom bunuh diri), disini jelas jika mereka percaya itu sebagai suatu bentuk iman maka itu bukan masalah. Masalah ada yang tidak mempercayai atau tidak itu kembali ke diri masing-masing, Berbeda halnya dengan  sindiran, jika dapat melukai suatu kepercayaan tertentu apakah tindakan itu sudah sesuai dengan ideologi multikultur, kan itu pertanyaannya, karena itu saya bilang ini hanya masalah bagaimana orang dapat saling memahami dan memberikan pemahaman.

Pi-One

Kutip dari: familycode pada Mei 30, 2011, 07:28:43 AM
Disini arti melihat yang saya maksud adalah sebagai salah satu indera untuk metode pendekatan pembuktian, ini hanya contoh, jika tidak punya mata masih ada indera lain untuk melakukan metode pendekatan pembuktian, intinya bukan berarti mata adalah satu-satunya metode pendekatan pembuktian, masih ada indera lain untuk melakukan metode pendekatan pembuktian terhadap suatu hal.
Bisa dibilang diperlukan 'alasan' untuk percaya, dan pembuktian untuk menepis keraguan. Bukan sekedar percaya.

Kutip dari: familycode pada Mei 30, 2011, 07:28:43 AMPercaya apakah pasti dan harus memerlukan alasan yang obyektif? bukankah dasarnya manusia itu bukan mahluk rasional, manusia menggunakan berbagai pengetahuannya untuk dirinya, termasuk untuk kepuasan batin, lagi pula theis percaya pada teori penciptaan salah satunya sudah banyak disampaikan yang lain, contohnya bahwa dunia ini begitu sangat teratur, tidak mungkin tiba-tiba muncul begitu saja tanpa ada pencipta, maka sangat wajar para theis jika menggunakan alasan tersebut, dalam ideologi multikultur kalau misalkan anda tidak setuju maka anda dapat melakukan dengan mengatakan alasannya yang dimana jika ahkirnya tidak ada kesepakatan ya cukup tinggal mengatakan yang intinya ya kembali kepada kepercayaan masing-masingkan?
Nah, ini yang disebut konsep God of the gap. Dunia begitu teratur, tidak mungkin muncul tiba-tiba, pasti ada pencipta dsb. Di sini theis mengisi ketidaktahuan mereka dengan variabel yang disebut Tuhan, tapi tidak pernah membuktikan peranan Tuhan sebagai pencipta. Mereka hanya percaya. Di sanalah variabel itu bsia diganti sesuka hati tanpa mengubah nilai kalimatnya.

Kutip dari: familycode pada Mei 30, 2011, 07:28:43 AMApa yang salah theis yang mencoba meyakinkan non-theis dengan konsep apa yang dia percaya, bukankah didunia ini semua orang berusaha saling mempengaruhi, asal tidak memaksa dan tidak mengancam kebersamaan ya tidak masalahkan, mengancam kebersamaan maksudnya seperti menjadi teroris (ajakan bom bunuh diri), disini jelas jika mereka percaya itu sebagai suatu bentuk iman maka itu bukan masalah. Masalah ada yang tidak mempercayai atau tidak itu kembali ke diri masing-masing, Berbeda halnya dengan  sindiran, jika dapat melukai suatu kepercayaan tertentu apakah tindakan itu sudah sesuai dengan ideologi multikultur, kan itu pertanyaannya, karena itu saya bilang ini hanya masalah bagaimana orang dapat saling memahami dan memberikan pemahaman.
Tidak ada yang salah, sebagaimana tidak ada salahnya non-theis menolak dogma yang ditawarkan theis tersebut. Theis merasa mengajak non-theis melakukan hal yang baik, di sisi lain mereka sadar atau tidak sadar menempatkan diri mereka lebih tinggi, lebih baik, dan memandang non-theis sebagai makhluk tersesat yang harus diarahkan ke 'jalan yang benar' versi mereka. Justru karena itu, theis tidak merasa slah atau tidak sadar sudah merendahkan non-theis, langsung atau tidak langsung. Jika dalam kondisi itu sekedar dibalas sindiran atas konsep God of the gap yang theis tawarkan, begitu burukkah?

familycode

#22
Kutip dari: Pi-One pada Mei 30, 2011, 08:12:53 AM
Bisa dibilang diperlukan 'alasan' untuk percaya, dan pembuktian untuk menepis keraguan. Bukan sekedar percaya.
Seseorang mempercayai itu bisa banyak faktor, contoh seorang beragama percaya kepada kitabnya, tentu pertama kali diperkenalkan agama oleh orang yang dekat dengan kita waktu kecil dan secara umum adalah keluarga, dari situ kita mengenal Tuhan, kita dapat berpikir bahwa tidak mungkin begitu sempurna tanpa ada penciptanya, dalam Alkitab, dunia ini diciptakan oleh Tuhan, dalam agama kristen ada ajaran kasih dan sebagainya, disini akumuasi yang ada tentu tidak hanya satu faktor tapi akumulasi faktor-faktor yang membuat kita semakin percaya, jadi alasan banyaknya faktor itu sudah lebih dari cukup untuk percaya dan ini ranah pribadi, percaya dan memberitahukan ke yang lain adalah dapat sebagai ungkapan iman.

Kutip dari: Pi-One pada Mei 30, 2011, 08:12:53 AM
Bisa dibilang diperlukan 'alasan' untuk percaya, dan pembuktian untuk menepis keraguan. Bukan sekedar percaya.
Nah, ini yang disebut konsep God of the gap. Dunia begitu teratur, tidak mungkin muncul tiba-tiba, pasti ada pencipta dsb. Di sini theis mengisi ketidaktahuan mereka dengan variabel yang disebut Tuhan, tapi tidak pernah membuktikan peranan Tuhan sebagai pencipta. Mereka hanya percaya. Di sanalah variabel itu bsia diganti sesuka hati tanpa mengubah nilai kalimatnya.
Bukannya manusia itu mempunyai kepercayaannya sendiri-sendiri dan bebas menentukan apa yang dipercaya, jika anda merasa terhegemoni oleh yang namanya agama theis, maka bukan berarti dapat melakukan sindiran yang dapat melukaikan kepercayaan orang lainkan dalam konteks berada dalam lingkup ideologi multikultur, contoh anda tidak setuju dengan hegemoni suatu hal bukankah lebih baik mencari cara bagaimana agar saling memahami kedua kepercayaan berbeda, sehingga ahkirnya disimpulkan lebih baik dikembalikan kepada kepercayaan masing-masing.

Kutip dari: Pi-One pada Mei 30, 2011, 08:12:53 AM
Tidak ada yang salah, sebagaimana tidak ada salahnya non-theis menolak dogma yang ditawarkan theis tersebut. Theis merasa mengajak non-theis melakukan hal yang baik, di sisi lain mereka sadar atau tidak sadar menempatkan diri mereka lebih tinggi, lebih baik, dan memandang non-theis sebagai makhluk tersesat yang harus diarahkan ke 'jalan yang benar' versi mereka. Justru karena itu, theis tidak merasa slah atau tidak sadar sudah merendahkan non-theis, langsung atau tidak langsung. Jika dalam kondisi itu sekedar dibalas sindiran atas konsep God of the gap yang theis tawarkan, begitu burukkah?
Jangankan theis dengan non theis, satu pemeluk agama X dengan pemeluk agama Y, mungkin ada yang merasa terhegemoni, contoh agama X adalah mayoritas, agama Y adalah minoritas, tentu hal seperti itu ada pemeluk agama Y merasa terhegemoni walaupun kadang ada yang tidak ingin mengakui yang dapat dengan berbagai alasan, disini juga sama, non theis yang merasa terhegemoni oleh theis mungkin dapat mencoba menempatkan diri seperti agama Y yang minoritas yang sama terhegemoninya walaupun ini bukan keharusan seperti itu, contoh ada tempat ibadah agama Y didirusak dan dibakar, tapi tetap berusaha untuk tidak membalas. Mungkin itu yang dapat dijadikan refleksi

semut-ireng

Kutip dari: Pi-One pada Mei 30, 2011, 08:12:53 AM
Bisa dibilang diperlukan 'alasan' untuk percaya, dan pembuktian untuk menepis keraguan. Bukan sekedar percaya.

Mereka yang beriman kepada Tuhan,  dan kemudian mendaki anak tangga keimanan,  mereka sudah menemukan bukti2 yang mana semakin memperkuat kadar keimanannya.   Dan mereka tidak punya kewajiban menjelaskan bukti2 tersebut kepada mereka yang tidak beriman.

Sama juga dengan Pi One mengaku sudah bertemu dengan UFO,  lalu yakin bahwa UFO itu ada,  dan lalu bilang misalnya,  persetan dengan mereka yang gak percaya adanya UFO !

Pi-One

Kutip dari: familycode pada Mei 30, 2011, 11:17:35 AM
Seseorang mempercayai itu bisa banyak faktor, contoh seorang beragama percaya kepada kitabnya, tentu pertama kali diperkenalkan agama oleh orang yang dekat dengan kita waktu kecil dan secara umum adalah keluarga, dari situ kita mengenal Tuhan, kita dapat berpikir bahwa tidak mungkin begitu sempurna tanpa ada penciptanya, dalam Alkitab, dunia ini diciptakan oleh Tuhan, dalam agama kristen ada ajaran kasih dan sebagainya, disini akumuasi yang ada tentu tidak hanya satu faktor tapi akumulasi faktor-faktor yang membuat kita semakin percaya, jadi alasan banyaknya faktor itu sudah lebih dari cukup untuk percaya dan ini ranah pribadi, percaya dan memberitahukan ke yang lain adalah dapat sebagai ungkapan iman.
Bagi theis mungkin berlaku demikian. Bagi non theis, tidak cukup hanya karna itu ada di kitab suci lalu iman yang berperan. Anda bicara akumulasi untuk percaya, tapi jika bicara tentang non-theis, maka kita bicara akumulasi untuk tak percaya.

Kutip dari: familycode pada Mei 30, 2011, 11:17:35 AMBukannya manusia itu mempunyai kepercayaannya sendiri-sendiri dan bebas menentukan apa yang dipercaya, jika anda merasa terhegemoni oleh yang namanya agama theis, maka bukan berarti dapat melakukan sindiran yang dapat melukaikan kepercayaan orang lainkan dalam konteks berada dalam lingkup ideologi multikultur, contoh anda tidak setuju dengan hegemoni suatu hal bukankah lebih baik mencari cara bagaimana agar saling memahami kedua kepercayaan berbeda, sehingga ahkirnya disimpulkan lebih baik dikembalikan kepada kepercayaan masing-masing.
Non-theis tidak mempermasalahkan theis mau percaya apa. Sindiran terhadap God of the gap adalah jawaban non-theis saat theis mencoba menggunakan konsep God of the gap untuk meyakinkan non-theis. Jika theis tidak bisa menanggapinya, mereka takkan bisa meyakinkan non-theis.

Kutip dari: familycode pada Mei 30, 2011, 11:17:35 AMJangankan theis dengan non theis, satu pemeluk agama X dengan pemeluk agama Y, mungkin ada yang merasa terhegemoni, contoh agama X adalah mayoritas, agama Y adalah minoritas, tentu hal seperti itu ada pemeluk agama Y merasa terhegemoni walaupun kadang ada yang tidak ingin mengakui yang dapat dengan berbagai alasan, disini juga sama, non theis yang merasa terhegemoni oleh theis mungkin dapat mencoba menempatkan diri seperti agama Y yang minoritas yang sama terhegemoninya walaupun ini bukan keharusan seperti itu, contoh ada tempat ibadah agama Y didirusak dan dibakar, tapi tetap berusaha untuk tidak membalas. Mungkin itu yang dapat dijadikan refleksi
Dan sekali lagi, konsep-konsep seperti FSM dsb adalah sekedar tanggapan non-theis saat theis mencoba menggunakan konsep God of the gap untuk meyakinkan mereka. Jika theis tidak mengusik mereka, non theis umumnya takkan berbuat apa-apa. Toh non-theis tidak mendapat keuntungan apa-apa meski theis kehilangan keyakinan.

MonDay

#25
Beberapa alasan mengapa mereka pada akhirnya memilih menjadi atheis

Kutip
1. Agama mengklaim mempunyai pengetahuan absolut yang tidak mungkin salah. Klaim seperti itu jelas berbahaya. Hal ini akan membawa pada pengambilan keputusan yang ngawur tanpa didasari fakta dan menafikan setiap pemahaman baru. Apa yang dibilang kitab suci meski dikarang ribuan tahun lalu saat manusia masih menaiki kuda dianggap absolut benar hingga titik-komanya.



2. Agama menghambat perkembangan akal yang akhirnya akan menghambat perkembangan peradaban. Jika kitab suci bilang A, tidak boleh ada perdebatan. Akal dan inovasi mesti dikalahkan.



3. Agama menghalangi perkembangan sains. Jika tidak karena agama mungkin pesawat jet sudah ditemukan 1000 tahun lalu. Tapi lihatlah kenyataannya. Galileo yang berpendapat bumi mengelilingi matahari mesti mendapat ancaman hukuman mati karena berbeda pendapat dengan otoritas agama.



4. Agama tidak sesuai dengan realitas, dengan menunjukkan hal salah sebagai sesuatu yang tepat. Matahari mengelilingi bumi, manusia merupakan keturunan Adam, banjir Nuh, merupakan beberapa contoh dari mitos-mitos agama yang tidak sesuai fakta.



5. "Konflik terhadap realitas" hanya akan berujung pada rasa frustrasi. Orang beragama mengalami stress sebab bukti riil banyak yang bertentangan dengan kepercayaan mereka.

Salah satu contoh: orang beragama percaya ada kehidupan yang lebih baik setelah mati. Namun kenyataannya, tak ada seorang pun yang bersedia cepat-cepat mati. Mereka masih tetap takut akan kematian. Ini menunjukkan, kepercayaan agama sebenarnya tidak mampu menenangkan jiwa mereka.



6. Agama menjadikan manusia terkotak-kotak. Pengkotakan yang umumnya diiringi kebencian kepada yang berbeda. Pengkotakan ini selalu diwariskan dari generasi ke generasi, seperti virus komputer yang semakin menyebar. Manusia mesti dihargai dan dinilai karena kualitas kemanusiaan mereka, bukan karena agamanya. Agama justru menyalahi fitrah manusia.



7. Agama menjadi penghambat kehidupan demokrasi, kebebasan berpendapat, dan perkembangan masyarakat. Agama tak boleh dikritisi jika tak ingin membuat pemeluknya marah. Mereka marah karena sesungguhnya sadar, kepercayaan mereka tak lebih baik dari dongeng peri dan dewa-dewi. Perilaku agresif merupakan manifestasi dari rasa tidak percaya diri itu sendiri.

sumber: [pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]

atheis sering dicap sombong karena meniadakan kuasa Tuhan
dimana seorang theis seharusnya juga berkaca, theis sering menyombongkan Tuhannya (agamanya), sesuatu yang bahkan theis belum tentu mengenali dan memahaminya

kaum atheis justru kebanyakan lebih mengetahui dan mendalami agama dibanding theis *hasil survey di AS

semut-ireng

dan oleh karena itu mereka memilih  Goddess of Eternal Loli sebagai tuhannya.

imaginary_number

Kutip dari: familycode pada Mei 29, 2011, 07:43:48 AM
Jadi inget ada yang pernah berdebat bahwa semua agama adalah tuhannya sama, menurut saya, tiap agama bisa berbeda tuhannya, sindirian atheis atau agnostik untuk theis kalau dilihat dari ranah kepercayaan maka tidak bisa atheis atau agnostik melakukan sindiran semacam itu dalam lingkup ideologi multikultralisme, karena tiap agama punya tuhannya sendiri, jika misal atheis tidak percaya kepada Tuhan maka itu adalah hak dia, tapi dia tidak bisa melakukan sindiran, karena kepercayaan adalah ranah privacy, ranah pribadi, walaupun dapat diberitakan kepercayaannya ke orang lain asal tidak memaksa.
ya tiap agama bs berbeda Tuhannya.
tetapi bila sang pencipta itu ada, maka pencipta itu hanyalah satu. Tuhan yang menciptakan hanyalah dan saya hanyalah satu. (Kecuali bila anda bisa membuktikan bila dalam proses penciptaan Tuhan berkolaborasi :lol). Tapi seperti apakah Tuhan ? Bagaimana sifat2nya? itu yang menjadi pertanyaan, saya tidak memiliki cukup pengetahuan akan hal itu

familycode

#28
Kutip dari: imaginary_number pada Mei 31, 2011, 10:07:55 AM
ya tiap agama bs berbeda Tuhannya.
tetapi bila sang pencipta itu ada, maka pencipta itu hanyalah satu. Tuhan yang menciptakan hanyalah dan saya hanyalah satu. (Kecuali bila anda bisa membuktikan bila dalam proses penciptaan Tuhan berkolaborasi :lol). Tapi seperti apakah Tuhan ? Bagaimana sifat2nya? itu yang menjadi pertanyaan, saya tidak memiliki cukup pengetahuan akan hal itu
Dalam konteks sudah banyak agama untuk agar tidak saling menyerang makanya dibuat istilah bahwa tiap agama bisa berbeda tuhannya, disini terasa lebih pas kalau memisahkan pada kriteria seperti apa tuhannya itu dikatakan berbeda dan pada kriteria apa dapat dikatakan sama yang dimana terlepas dari hal itu secara realitas Tuhan pecipta alam semesta hanya satu.

Pi-One

......

Hm, sebagai pencetus, juga satu-satunya GoELis, apa sekalian aku ajukan copyright dan trademark atas 'Goddess of Eternal Loli' ya? Kalau gak, bakal dipakai seenak udel dalam tafsiran idiot si asbuner...