-
Tutorial Memberikan Support Sesama Konten Kreator Facebook...
oleh olhdtsmg2
[September 14, 2023, 07:33:31 PM] -
Account Turnitin Student No Repository (Actived) Activation...
oleh olhdtsmg2
[Agustus 31, 2023, 10:05:47 PM] -
Hallo Salam Kenal
oleh kimmylie
[Agustus 18, 2023, 06:11:29 AM] -
Training Online Panel Data Regression Free With Stata,...
oleh olhdtsmg2
[Agustus 17, 2023, 11:42:56 AM] -
Workshop Panel Data Regression Free With Stata, Eviews,...
oleh olhdtsmg2
[Agustus 12, 2023, 09:48:10 AM]
Anggota
- Total Anggota: 27,890
- Latest: Alexloappyjab
Stats
- Total Tulisan: 139,653
- Total Topik: 10,405
- Online today: 44
- Online ever: 1,582
- (Desember 22, 2022, 06:39:12 AM)
Pengguna Online
Users: 0
Guests: 37
Total: 37
Guests: 37
Total: 37
Agustus 02, 2008, 08:09:00 PM
Views: 7295
<div style="text-align: justify;">Di era globalisasi ini, tawuran antar mahasiswa sering terjadi. Padahal, akar masalah hanyalah sepele. Namun akibat yang ditimbulkannya luar biasa parah. Korban pun berjatuhan, baik dari pihak mahasiswa sendiri maupun pihak lain yang akan melerai. Banyak yang menuduh ini ulah provokator. Tawuran menjadi <span style="font-style: italic;">tip of iceberg</span> dari krisis yang dihadapi mahasiswa dan bahkan perguruan tinggi--disebut PT—pada umumnya. Krisis-krisis yang dihadapi perguruan tinggi—mahasiswa salah satunya—jelas bukan menyangkut kinerja PT dalam hal kualitas akademik lulusannya, tetapi juga dalam hal mentalitas, moral, dan karakter. Dalam krisis mentalitas dam moral mahasiswa, terdapat beberapa masalah pokok yang turut menjadi akar krisis mentalitas dan moral di lingkungan PT (cf Djohar, 1999; Navis, 1999).<br />
<br />
<ul>
<li>Pertama, arah pendidikan telah kehilangan obyektivitasnya. PT tidak lagi merupakan tempat peserta didik melatih diri untuk berbuat sesuatu berdasarkan nilai-nilai moral dan akhlak, di mana mereka mendapat koreksi tentang tinadakan-tindakannya; salah atau benar; baik atau buruk.</li>
</ul>
<ul>
<li>Kedua, proses pendewasaan diri tidak berlangsung baik di lingkungan PT. Lembaga pendidikan ini cenderung lupa pada fungsinya untuk turut mendewasakan mahasiswa; mempersiapkan mereka untuk meningkatkan kemampuan meresponi dan memecahkan masalah-masalah dirinya sendiri maupun orang lain.</li>
</ul>
<ul>
<li>Ketiga, proses di PT sangat membelenggu mahasiswa dan bahkan dosen. Hal ini karena formalisme PT dan beban kurikulum yang sangat berat (overloaded). Akibatnya, hampir tidak tersisa lagi ruang bagi mahasiswa untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas intelektualnya. Lebih parah lagi, interaksi akademis yang berlangsung hampir kehilangan human dan personal touch-nya.</li>
</ul>
<ul>
<li>Keempat, kalaupun ada materi yang menumbuhkan rasa afeksi—seperti matakulia agama—itu umumnya disampaikan dalam bentuk verbalisme yang juga disertai dengan rote-memorizing. Matakuliah agama cenderung hanya untuk sekadar diketahui dan dihafalkan agar lulus ujian, tetapi tidak untuk diinternalisasikan dan dipraktikkan. Krisis mentalitas dan moral mahasiswa, bagaimanapun juga merupakan cermin dari krisis mentaliats dan moral dalam masyarakat lebih luas. Oleh karena itu, upaya mengatasi krisis tidak memadai jika dilakukan hanya di lingkungan PT, tetapi juga dalam keluarga dan lingkungan lainnya.</li>
</ul>
<br />
Dalam deklarasi “World Conference on Higher Education “ (UNESCO, Paris, 5-9 Oktober 1998) menyangkut misi dan fungsi utuk membantu melindungi dan memperkuat nilai-nilai yang membentuk dasar kewarganegaraan demokratis, dan dengan memberikan perspektif kritis dan membantu dalam pembahasan tentang pilihan-pilihan strategis serta pengamatan perspektif humanistik. Menurut deklarasi, lembaga-lembaga pendidikan tinggi, personal PT dan para mahasiswa, haruslah menjaga dan mengembangkan fungsi-fungsi krusial mereka dengan pelaksanaan etika; budaya, dan sosial secara independen sepenuhnya dan sadar betul tentang tanggung jawab mereka.<br />
<br />
Pendidikan setidaknya mampu mengembangkan lima bentuk kecerdasan, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan praktikal, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual dan moral. Kelima bentuk kecerdasan ini harus dikembangkan secara simultan. Jika berhasil dilakukakn dengan baik, akan menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas dalam hal lain. Di sinilah terletak penekanan utama proses pendidikan, seperti yang dikemukakan Deklarasi UNESCO dan paradigma baru pendidikan nasional, bahwa pendidikan harus berpusat pada peserta didik.<br />
<br />
Penulis :<br />
Yurna Sekti Hendrasari<br />
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia<br />
Fakultas Bahasa dan Seni<br />
UNY</div>
Comments: 5
You don't have permission to comment, or comments have been turned off for this article.
Jam pelajaran dan metode pengajaran tidak fun..... Mau ngembangkan sendiri kebentur namanye Ujian Nasional....
Anak-anak di negeri Eropa, Jepang dan AS sangat happy dech kalo sekolah...... anak-anak kita sangat happy kalo libur.... Mahasiswa happy kalo dosennya tidak masuk..... Akibatnya kalo ada gesekan langsung dech panasan.... Panase srengenge akeh sing nyonggo, panase ati sopo sing kuat (panas matahari semua menanggung, panas hati siapa yang kuat)...................... Tuh menteri diknasnya kapan2 suruh ngerjain soal unas, paling2 mati ko dech.... suruh ngajar di SD, SMP en SMA....
JANGAN AMPE DONG
KITA MAHASISWA HARUS BERGERAK N MAJU
KITA masyarakat yang intelek tual dan kita harus bisa memecahkan masalah ini dengan cara intelektual.
Hidup mahasiswa
real komersialisasi pendidikan, masyarakat miskin tidak lagi alkan mampu mengeyam pendidikan tinggi. jadi hanya ada satu sikap : TOLAK BHP
budaya maen otot ketimbang maen otak terlalu mengakar, dikit-dikit emosi...walaupun itu dikalangan intelek macam mahasiswa (walau tidak semua begitu). apa perlu kurikulum agama (pendidikan sosial, mental, akhlaq etc) ditingkatkan lagi? saya kira sudah cukup. tinggal bagaimana meramu "penyampaiannya" agar lebih mengena ke sasaran, agar tidak membosankan seperti kata mas fsadewo.
Hidup Pendidikan Indonesia