Selamat datang di ForSa! Forum diskusi seputar sains, teknologi dan pendidikan Indonesia.

Welcome to Forum Sains Indonesia. Please login or sign up.

Maret 28, 2024, 05:43:38 PM

Login with username, password and session length

Topik Baru

Artikel Sains

Anggota
Stats
  • Total Tulisan: 139,653
  • Total Topik: 10,405
  • Online today: 87
  • Online ever: 1,582
  • (Desember 22, 2022, 06:39:12 AM)
Pengguna Online
Users: 0
Guests: 118
Total: 118

Aku Cinta ForSa

ForSa on FB ForSa on Twitter

Frans Magnis-Suseno

Dimulai oleh peregrin, September 20, 2007, 01:11:18 AM

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

peregrin

Frans Magnis-Suseno merupakan ilmuwan Indonesia yang paling gigih membahas banyak masalah bangsa ini dari sudut etika selama empat dasawarsa terakhir. Etika bukanlah moral, melainkan ilmu atau telaah kritis dan sistematis tentang ajaran moral. Etika bukan mengajarkan moralitas secara langsung agar manusia menjadi lebih baik, melainkan ikhtiar mencapai pengertian yang mendasar tentang moral. Suatu ajaran moral, dari mana pun sumbernya dianggap atau dinyatakan berasal, bahkan yang telah mengakar dalam budaya masyarakat sehingga diterima begitu saja sebagai sesuatu yang luhur pada-dirinya, selalu terbuka untuk diungkap struktur pembentuk dan tujuan azasinya. Etika adalah upaya pencarian orientasiâ€"sesuatu yang mutlak dibutuhkan oleh manusia.

Dengan cara itu etika membekali manusia bukan hanya untuk secara mandiri menilai kebajikan yang tersimpan dalam suatu ajaran moral, tapi juga menyibak kepalsuan yang mungkin ada dalam suatu ajaran yang dari permukaan mungkin terkesan mulia. Dari sana selanjutnya individu, terutama sebagai anggota masyarakat, dapat memiliki pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan tentang apa yang baik dan buruk; mengapa ia mendukung hal yang baik dan menentang yang buruk. Bagi etika yang penting bukan apakah seseorang mendukung kebaikan dan menentang keburukan, melainkan mengapa ia perlu memilih untuk bersikap demikian.

Manfaat praktis itulah yang dikejar oleh Magnis-Suseno dengan ketekunannya menyajikan studi etika, yaitu agar warganegara sanggup mengembangkan sendiri moralitas-moralitas baru, maupun memper­barui atau memperluas moralitas lama, sebab moralitas pun niscaya bergeser mengikuti perubahan-perubahan besar-kecil di pelbagai bidang kehidupan.

Dengan demikian, yang diinginkan Magnis-Suseno bukanlah peng­han­curan atas segala ajaran moral, melainkan pengusutan sis­tematis terhadapnya, yang pada akhirnya dapat pula berarti peneguhan suatu ajaran; atau setidaknya penguatan landasan-landasannya karena para pendukung moral itu memahami orientasinya dengan tepat. Jika moral diakui sebagai hal penting dalam kehidupan individual maupun sosial, maka ia hanya dapat dijaga kehadirannya, disegarkan dan direle­van­kan, oleh orang-orang yang memahami struktur internalnya; bukan oleh mereka yang sekadar ikut atau hanya tunduk pada moralitas yang dipersuasikan atau dipaksakan oleh pihak lain, misalnya kekuasaan.

Begitulah misalnya yang terjadi pada Pancasila. Selama hampir empat dasawarsa dasar negara ini dipaksakan pemberlakuannya, diazastunggalkan, disantiajikan, di-P4-kan dalam skala massal, tanpa peluang bagi masyarakat untuk turut menyumbang tafsir mereka sendiri terhadap nilai-nilai moral yang diandaikan sebagai pengikat ideal bagi kemajemukan masyarakat Indonesia. Pancasila diringkus menjadi ideologi tertutup. Ia hanya boleh dimaknai oleh penafsir tung­gal dan dibungkus dalam konsensus-semu, yang karenanya bukanlah penafsiran dan konsensus melainkan vonis dan pemaksaan.

Pancasila kemudian harus terlanda ironi berat. Ia tumbang, meski tak binasa, seiring robohnya kuasa politik penyangga tunggalnya, sampai pada titik yang memilukan: bahkan tiada seorang pun presiden Republik Indonesia pasca Orde Baru yang pernah mengejanya atau setidaknya menyebutnya dengan gairah kebangsaan yang semestinya. Pancasila masih disebut dalam dokumen-dokumen kenegaraan, termasuk amar putusan hakim dan naskah sumpah pegawai negeri, namun semua orang seakan sepakat bahwa ia hanyalah formalitas kering, membuat khalayak gamang dan gagap ketika bermunculan tawaran ideologi tandingan untuk mengisi vakum ideologi itu dalam realitas keseharian kebangsaan.

Magnis-Suseno sejak lama membayangkan nasib buruk yang kelak menimpa Pancasila itu. Sejarah bangsa-bangsa lain, termasuk bekas tanah airnya sendiri, Jerman, telah cukup mengajarkan bahwa pola itu mustahil langgeng. Kekuatan rakyat terlalu besar dan terlalu persisten untuk dilawan oleh rezim terkuat sekalipun. Dan hari-hari ini, ketika Pancasila lunglai dan ditantang, sekali lagi ia tampil mena­warkan etika untuk mempertahankannya sebagai satu-satunya titik-temu moral yang mungkin sebagai pengikat bangsa yang tertakdir majemuk ini.

Ia ingin semua warganegara Indonesia memahami Pancasila dengan tepat, baik kandungan makna kulturalnya maupun fungsi politiknya. Ia merasa tak cukup menyerahkan kelangsungan hidup Pancasila pada penjagaan militer, bahkan kalaupun disangga oleh doktrin NKRI (yang juga merupakan resep politik pragmatis, bukan nilai-moral yang dihayati sebagaimana diinginkan Etika Magnis-Suseno).

Dan kali ini ia tampil dengan kelantangan seorang Indonesia tulen, meski ia tak mungkin menghapus status “Kasman” (Bekas Jerman). Masa hidup hampir setengah abad di Indonesia, dengan tigapuluh tahun di antaranya sebagai warganegara resmi RI sambil melepaskan kewarga­negaraan Jermannya, cukup untuk membuatnya merasa wajib bergulat dengan aneka masalah Indonesia sebagai tanah air barunya, tetap dengan perangkat ampuh etikanya. Dengan penghayatan dan percaya-diri keindonesiaan itu, dengan “von Magnis” yang kian “Suseno”, dan dengan absennya kekuasaan otoriter yang terlalu peka pada segala yang berbau asing, ia sekarang bisa mengatakan semua yang ia ingin katakan, tak lagi seraya memberi kesan tak mengatakan apa-apa­â€"suatu strategi komunikasi yang selama berpuluh tahun ia bangun guna menghindari derita akibat kecurigaan politik.

Franz Magnis-Suseno memasuki rumah Indonesia melalui pendopo Jawa. Ia, pada 1961, memulai dengan mempelajari bahasa dan seluk-beluk budaya Jawa di sebuah kota kecil di Jogjakarta, sampai menulis disertasi berbahasa Jerman yang kemudian diindonesiakan sebagai Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Dengan itu ia bermaksud membangun tipe ideal manusia Jawa; seka­ligus mengupayakan relevansinya dengan budaya politik Indonesia yang makin terasa didominasi oleh kejawaan, atau setidaknya diklaim demikian oleh para petinggi politik.

Ia kemudian lebih memusatkan perhatian pada aspek etika umum, dan dengan demikian memperluas relevansinya dengan kemajemukan sosial-politik Indonesia mutakhir di mana begitu banyak orang, terma­suk kalangan cendekiawan, aktifis LSM, tokoh-tokoh politik di semua sayap pemerintahan, tampak hanya menari-nari di atas lapisan tipis konsep-konsep besar yang turut menentukan arah perjalanan bangsa yang ingin bergerak menjadi negara modern.

Sebagai ilmuwan-cum-rohaniwan, sudah tentu Magnis-Suseno menyentuh isu-isu agama, baik sebagai gejala sosio-kultural maupun himpunan resep keimanan dan pemikiran teologi. Dalam hal ini pun Etika-nya berperan. Etika bisa menantang suatu ajaran agama. Etika dapat menyingkap selubung kepentingan dan ideologis atas suatu ajaran agama yang seolah murni religius. Bukan tak mungkin, menurut Magnis-Suseno, suatu ajaran yang sejak lama dianggap dogma baku ternyata hanyalah pendapat satu atau sejumlah pemuka mazhab hukum atau mazhab teologi dalam agama tersebut. Pengusutan lanjutan mungkin menunjukkan bahwa bukan pemaknaan semacam itu yang dimaksud oleh kitab suci, atau bahwa kitab suci pun sesungguhnya membuka peluang penafsiran baru atas dirinya.

Dalam hal ini Etika bahkan melampaui hermeunetika, metode tafsir yang mempertimbangkan konteks waktu dan tempat tentang suatu ajaran kitab suci, yang sangat penting untuk ketepatan pemahaman, bukan penerapan. Lebih daripada hermeunetika, etika dapat mencegah lompatan menuju penerapan yang sembrono. Etika mengajak penganut agama untuk berhenti sejenak di pantai pemahaman sebelum melaju menuju samudera penerapan. Perhentian itu kemudian mungkin mengubah arah penerapan ke tujuan yang sama sekali berbeda daripada yang semula disangka sebagai tujuan yang pasti.

Demikianlah, dari 33 buku yang ditulis Magnis-Suseno, termasuk sejumlah kumpulan karangan, di luar ratusan artikel surat kabar, hampir separuhnya khusus membahas etika, bahkan dengan judul-judul yang langsung mewartakan subjeknya. Dengan karya-karya itu, sebagai guru ia mengisi kekosongan kronis buku-buku ajar yang disa­jikan secara baik dan gamblang dalam bahasa Indonesia.

Tetapi ia dengan sadar memperluas jangkauan pembaca, dengan menyajikan subjeknya sesederhana mungkin agar dapat diakses oleh awam, meski terkadang ia harus memohon maaf kepada mereka untuk kerumitan penjelasannya berhubung ide filsafat yang sedang dipaparnya memang rumit pada-dirinya, menuntut keketatan berpikir, dan upaya penyederhanaannya hanya akan mengorbankan ketepatan ide yang hendak disajikannya, selain mengkhianati pemilik asli ide itu.

Namun secara umum Magnis-Suseno memegang teguh kearifan kesarjanaan yang benar: ia menyajikan kegamblangan berkat pengua­saan ilmiah yang kokoh, dengan selalu menyertakan contoh-contoh sederhana yang dekat dengan kehidupan keseharian. Bukan justeru merumitkan masalah-masalah yang sesungguhnya sederhana, dengan mengobral jargon ganjil dan membingungkanâ€"suatu gaya yang makin lazim di kalangan penulis kita, yang mungkin dimaksudkan sebagai pendongkrak wibawa akademis, tapi patut dicurigai sebagai kelemahan penguasaan subjek yang sedang mereka bahas. Magnis-Suseno sejak awal karir keilmuannya terbebas dari pretensi palsu itu. Ia memilih untuk lugas menegakkan martabat akademis ketimbang terengah-engah mengesankan wibawa akademis secara sia-sia.

Dengan energi ilmiah yang tak pernah pudar, ia tanpa letih berupaya menyajikan pendasaran etis atas isu-isu penting yang merentang dari demokrasi, hak-hak azasi manusia dan negara hukum hingga ling­kungan hidup, krisis energi, kerukunan beragama bahkan kemacetan lalu lintas. Dan terbukti perangkat etikanya sering ampuh. Dalam kontroversi dan kesimpangsiuran pendapat di seputar isu Rancangan Undang-undang Anti-Pornografi, misalnya, Magnis-Suseno tampil menyajikan inti masalah yang luput kewaspadaan semua peserta debat nasional berbulan-bulan yang memunculkan sejumlah demonstrasi pendukung dan penentang RUU itu di berbagai kota.

Masalah utama dalam RUU tersebut, menurut dia, adalah pencam­pur­adukan tiga konsep: pornografi, erotika, dan kesopanan (public decency). Ketiganya memiliki sejarah, rumusan konseptual, landasan filsafat berikut konsekuensi masing-masing. Membaurkan ketiganya, seperti tampak jelas dalam RUU tersebutâ€"yang menstipulasikan ketiganya sebagai satu konsep saja yaitu pornografiâ€"niscaya akan melahirkan komplikasi-komplikasi serius bagi kehidupan kemasya­rakatan yang wajar.

Seorang gadis yang berbusana minim mungkin tidak sopan, tapi ia bukan sedang mengumbar pornografi. Seorang pengarang yang menuliskan adegan-adegan yang berkonotasi seksual boleh disebut mengungkap erotika, tapi bukan sedang memamerkan pornografi. Gadis dan pengarang itu mungkin layak ditegur, tapi tidak pantas dihukum, apalagi dengan pidana-pidana berat yang sangat menakutkan sebagaimana tercantum dalam RUU tersebut, yang mematok asumsi yang teramat rendah terhadap manusia Indonesia.

Franz Magnis-Suseno belum membangun sebuah sistem filsafat atau mazhab pemikiran yang dapat diidentifikasi sebagai khas miliknya. Ia adalah siswa filsafat yang rajin, tekun dan bersungguh-sungguh meng­hadapi aneka masalah yang menantangnya. Kegelisahan keilmuannya mengilhami publik yang jauh lebih luas daripada sebatas murid-muridnya di sekolah filsafat yang turut ia dirikan maupun di uni­­­ver­sitas-universitas lain, selain di ratusan forum seminar di berbagai kota.

Selama lima dasawarsa ia berperan secara amat mengesankan sebagai penghubung yang fasih, gigih, optimistis dan sabar antara para filosof besar Barat beserta gagasan-gagasan mereka selama 2500 tahun, terutama dalam 300 tahun terakhir, dengan masyarakat Indonesia, yang ia duga secara tepat sangat membutuhkan gagasan-gagasan itu dalam ikhtiar panjang untuk menentukan arah menuju negara modern.

Kerut kening konstannya mengisyaratkan ia mafhum bahwa jalan ke arah itu bukan dihampari karpet merah, tapi ia selalu percaya bahwa pada akhirnya Indonesia akan berhasil. Ia selalu mengingatkan bahwa bangsa-bangsa lain yang di masa lalu menghadapi rintangan lebih berat bisa selamat. Jika ternyata mereka berhasil, tak ada alasan bagi Indo­nesia untuk gagal. Nada dasar seluruh karya Magnis-Suseno pun memuat optimisme yang merangsang pembacanya untuk berbagi optimisme itu.

Buku-buku karyanya, berkisar pada isu-isu filsafat yang ia tetapkan sebagai “ilmu kritis” (judul salah satu bukunya: Filsafat sebagai Ilmu Kritis), yang terus dicetak-ulang hingga belasan atau puluhan kali sejak puluhan tahun silam, membuktikan bahwa sumbangan terbaiknya kepada peradaban Indonesia itu diterima dengan syukur oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, meski tanpa berarti selalu mereka setujui.

Magnis-Suseno bahkan makin sering berperan sebagai semacam juru bicara kultural bangsanya kepada publik akademis dan umum di luar negeri melalui undangan ke seminar-seminar mereka. Dan hingga saat ini ia masih mengerjakan beberapa jilid karya terbarunya â€" agaknya masih di seputar perangkat ampuhnya, yaitu telaah kritis dan sistematis atas ajaran-ajaran moral.

Terhadap segenap sumbangan dan pengabdian ilmiahnya yang luar biasa itu, Dewan Juri merasa patut memberikan Penghargaan Achmad Bakrie 2007 kepada Franz Magnis-Suseno untuk Pemikiran Sosial. •


#Penghargaan Achmad Bakrie tsb ditolak oleh Romo Magnis-Suseno

-------------------------
Biography:

Franz Magnis-Suseno terlahir sebagai Franz Graf von Magnis, pada 26 Mei 1936 di Eckersdorf, Silesia, Kabupaten Glatz, sebuah daerah Jerman paling timur yang menjorok sampai ke wilayah yang kini bernama Polandia. Kedua orangtuanya, Dr. Ferdinand Graf von Magnis dan Maria Anna Grafin, berasal dari keluarga bangsawan dan dikenal sebagai keluarga Katolik yang taat. Ia adalah sulung dari enam bersaudara.

Ia menetap di Indonesia sejak 29 Januari 1961 sebagai bagian dari tugas kegerejaannya sebagai anggota ordo Serikat Yesuit, meski baru pada 1967 ia ditahbiskan menjadi pastor di Yogyakarta. Sepuluh tahun kemudian (1977) ia resmi menjadi warga negara Indonesia, setelah tujuh tahun menunggu proses pengurusannya. Ia melepaskan kewarga­negaraan asalnya dengan menyerahkan paspornya ke Kedutaan Besar Jerman di Jakarta.

Sebelum berangkat ke Indonesia, ia menyelesaikan studi filsafat di Philosophissche Hochschule, Pullach, dekat kota Munchen, selama 1957-1960.

Masa setahun pertama hidupnya di Indonesia ia lewati dengan mempelajari bahasa Jawa. Empat bulan terakhirnya dia habiskan di Desa Boro, Kulon Progo, sebelah barat Yogyakarta, sebuah desa yang bersusana sangat Jawa di kaki Gunung Menoreh. Di sana ia bersosiali­sasi serajin-rajinnya, mengunjungi dan berbicara dengan sebanyak mungkin orang, agar mampu mempraktekkan bahasa yang sedang ia pelajari.

Tetapi tugas pertamanya di Indonesia dimulai di Jakarta selama 1962-1964 sebagai guru agama di Kolese SMA Kanisius merangkap Kepala Asrama Siswa. Beberapa tahun kemudian (1969), Magnis-Suseno bersama sejumlah rekannya ditugasi mendirikan perguruan tinggi yang kelak dikenal sebagai Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Dua kali (1969-1971 dan 1973-1985), ia menjabat Sekretaris Aka­demis STF Driyarkara. Masa sela antara tahun 1971 hingga 1973 ia manfaatkan untuk mendalami studi filsafat, teologi moral, dan teori politik di Ludwig-Maximilians, Universitas Munchen, Jerman, hingga mencapai gelar doktor filsafat pada 1973. Ia meraih predikat summa cum laude dengan disertasi tentang pemikiran Karl Marx muda, berju­dul “Die Funktion normbativer Voraussetzungen im Denken des Jungen Marx (1843-1848)”.

Hidup Magnis-Suseno diisi dengan mengajar di banyak universitas. Selama 1979-1984 ia menjadi dosen luar biasa di Fakultas Psikologi UI. Tahun 1979 ia dosen tamu di Geschwister-Scholl-Institut, bagian dari Ludwig-Maximilians Universitat, dan di Hochschule fur Philo­sophie, keduanya di Munchen, Jerman. Tahun 1985-1993 dia menjadi dosen luar biasa di Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, Bandung. Tahun 1983-1987 dia kembali menjadi dosen tamu pada Hoch­schule for Philosophie, Munchen, dan Fakultas Teologi Universitas Innsbruck, Austria.

Di STF Driyarkara ia pernah menjabat Ketua Jurusan Filsafat Indonesia pada 1987-1990, pejabat Ketua STF Driyarkara tahun 1988-1990, Ketua STF Driyarkara tahun 1990-1998, dan sejak tahun 1995 hingga sekarang menjabat sebagai Direktur Program Pasca Sarjana STF Driyarkara. Ia diangkat menjadi guru besar di sekolah itu pada 1996.

Selain itu, ia dosen luar biasa pada Program Magister Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia sejak 1990 sampai sekarang. Pada tahun 2000 ia menjadi dosen tamu di Hochschuke fur Philosophie, Munchen. Dan pada 2002 ia menerima gelar Doktor Teologi Honoris Causa dari Fakultas Teologi Universitas Luzern, Swiss.

Magnis-Suseno juga menerima bintang jasa Satyalancana Dundyia Sistha dari Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia pada 1986 dan Das grobe Verdienstkreuz des Verdienstordens dari Republik Federasi Jerman.

Selain terus menulis beratus-ratus artikel di jurnal di suratkabar sejak empat dasawarsa lalu, Franz Magnis-Suseno telah menulis 33 buku berbahasa Indonesia dan dua judul berbahasa Inggris. Salah satu karyanya, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, pernah menimbulkan kontroversi ketika pertama kali terbit (1999). Sekelompok orang merazianya di sejumlah toko buku, selain berdemonstrasi dengan cara membakarnya di muka publik. Dengan menulis buku itu ia dianggap menyebarkan ide-ide Marx yang dinyatakan terlarang. Tapi kontroversi akibat kesalahpahaman itu berhenti, dan buku tersebut kemudian dicetak-ulang beberapa kali.

Buku-bukunya yang lain termasuk: Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Etika Dasar:Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Kuasa dan Moral, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19; 12 Tokoh Etika Abad ke-20, 13 Model Pendekatan Etika, Mencari Makna Kebangsaan, Filsafat Kebudayaan Politik, Dalam Bayangan Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka.

Magnis-Suseno di masa-masa belakangan makin sering berkunjung ke bekas tanah airnya, terutama untuk menghadiri undangan seminar, dan dengan cara itu ia merangkap sebagai duta independent Indonesia. Tapi ia tetap tinggal dan bekerja di Jakarta. Orang akan sering melihat­nya berkemeja batik, dengan kancing mengunci sampai ke pangkal leher, meliuk.


Sumber: [pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]
Free software [knowledge] is a matter of liberty, not price. To understand the concept, you should think of 'free' as in 'free speech', not as in 'free beer'. (fsf)

lovianettesherry_gonz

mirip Prof. David Gross deh^^

hmm,di sekolah,guru PKn-ku pernah cerita kalo salah satu frater moderator sekolahku itu muridnya Franz Magnis Suseno, suatu hari si profesor ini naik meja buat ngebetulin apa gitu,murid-muridnya pada tereak.."romo,romo, kami masih membutuhkan romo!"

gituuu...sekolahku tuh Kolese Kanisius unit selatan, sekarang namanya Kolese Gonzaga....jadi Kanisius ma Gonz sama gilanya tapi jelas lebih pinteran anak Kanisius, sereman anak Gonz(karena banyak yang gondrong dan kribo)

biobio

sebagai peminat filsafat, sy telah membaca beberapa buku romo magnis, SJ, dan 2 diantaranya amat baik menurut penilaianku:MENALAR TUHAN, dan BERFILSAFAT DARI KONTEKS.
"The pen is mightier than the sword"

soviet regarda

KutipSelain terus menulis beratus-ratus artikel di jurnal di suratkabar sejak empat dasawarsa lalu, Franz Magnis-Suseno telah menulis 33 buku berbahasa Indonesia dan dua judul berbahasa Inggris. Salah satu karyanya, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, pernah menimbulkan kontroversi ketika pertama kali terbit (1999). Sekelompok orang merazianya di sejumlah toko buku, selain berdemonstrasi dengan cara membakarnya di muka publik. Dengan menulis buku itu ia dianggap menyebarkan ide-ide Marx yang dinyatakan terlarang. Tapi kontroversi akibat kesalahpahaman itu berhenti, dan buku tersebut kemudian dicetak-ulang beberapa kali.

prof.frans magnis suseno memang sip..
doi telah menulis banyak buku..
hanya saja bukunya yang menyinggung persoalan komunis..
pasti ujung2nya memojokan komunis..
dan bisa membuat orang awam jadi anti komunis..he
tak heran jika kemudian buku soal komunis karya romo kemudian dicetak berulang-ulang..
tapi lepas dari semua itu saya tetep salut dan hormat sama profesor ini..

ghostdoors

benar,saya melihat karya2 F.M.Suseno ada kecenderungan sentimentil dlm menilai komunisme. entah memangdr pemikiranya sndiri atau tekanan2 yg diberikan dr pihak2 lain....?????
"TIDAK ADA SEJARAH YANG TIDAK MENETESKAN DARAH DAN SETIAP PERJUANGAN MEMBUTUHKAN PENGORBANAN"

gelal

#5
Saya juga sudah baca salah satu buku Franz Magnis -Suseno Pemikiran Karl Marx.
Menurut saya banyak orang yang keliru menafsirkan komunisme. Kalau kita telaah sebetulnya tidak ada yang salah dengan komunisme, justru paham ideologi komunisme itu sangat banyak mengandung nilai-nilai kemanusiaan dibandingkan paham ideologi kapitalisme.


biobio

Kutip dari: gelal pada Januari 16, 2010, 07:48:43 AM
Saya juga sudah baca salah satu buku Franz Magnis -Suseno Pemikiran Karl Marx.
Menurut saya banyak orang yang keliru menafsirkan komunisme. Kalau kita telaah sebetulnya tidak ada yang salah dengan komunisme, justru paham ideologi komunisme itu sangat banyak mengandung nilai-nilai kemanusiaan dibandingkan paham ideologi kapitalisme.


ini cuma masalah siapa yang menang dan siapa yang kalah di perang dingin.
"The pen is mightier than the sword"

Monox D. I-Fly

Kutip dari: biobio pada April 08, 2011, 01:22:03 PM
ini cuma masalah siapa yang menang dan siapa yang kalah di perang dingin.

Maksudnya? Apakah karena komunisme kalah di perang dingin, makanya selalu dipojokkan?
Gambar di avatar saya adalah salah satu contoh dari kartu Mathematicards, Trading Card Game buatan saya waktu skripsi.