Suatu sore teman saya bertanya, “Buku apa yang paling bagus?”. Pertanyaan yang amat membingungkan, tentunya. Bagus dalam hal apa dulu, bagus untuk apa? Melihatku kebingungan, ia memperjelas, “Buku apa yang akan kamu pilih bila dalam setahun kamu hanya boleh membaca buku itu?”. Wah, ini akan menjadi keputusan yang sulit sekali jika memang dalam setahun ke depan kita harus memilih sebuah buku yang boleh dibaca (terlepas dari keberadaan e-book, internet, dan media bacaan lain, tentunya). Meskipun tidak ada yang memaksa saya untuk hanya menikmati satu buku dalam setahun, pertanyaan in cukup membekas di hati saya. “Buku apa, ya?”, berulang kali kupikirkan.
Banyak buku yang sudah saya nikmati, mulai yang ecek-ecek seperti komik anak-anak, berbagai novel, sejarah dan kebudayaan, sampai jurnal sains yang berbobot, dan banyak diantaranya yang amat menarik bagi saya. Salah satunya adalah buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Saya bisa dikatakan “terlambat” dalam menikmati buku ini karena saya memang baru mulai membukanya ketika buku ini sudah terkenal di masyarakat, bahkan sudah mulai ramai terdengar bahwa buku ini akan diangkat ke layar lebar. Terus terang saja, awal mulanya, saya cenderung menganggap remeh buku ini. Pikir saya, apa sih yang bisa dilakukan seorang penulis baru jadi yang membuatku harus meluangkan waktu membacanya? Bukannya mendiskreditkan bangsa sendiri, namun lihatlah, nyatanya banyak karya picisan (yang bahkan dikatakan sebagai sastra pun tidak pantas), justru mendapatkan tempat di hati pembacanya dan dianggap bagus.
Namun, akhirnya saya berhasil memperoleh buku bercover merah ini di perpustakaan. Setelah membolak-balik halaman demi halaman Laskar Pelangi selama dua atau tiga hari, ternyata saya merasakan sesuatu yang beda. Ya! Ini bukan buku ngawur yang asal ketik dan asal cetak, melainkan suatu karya hebat dari seorang yang hebat pula. Gaya bahasanya sangat baik dan menarik, dan ditambah dengan luasnya cakrawala pengetahuan sang penulis, memberikan suatu bumbu tersendiri bagi karya ini.
Ceritanya berawal dari SD Muhamadiyah, sebuah sekolah kampung nun jauh di Belitong sana. Jangankan mengusahakan pendidikan yang layak, untuk “menyambung hidup” saja, sekolah ini sudah setengah mati. Untunglah mereka memiliki Bu Muslimah dan Pak Harfan yang meskipun hanya digaji beras 15 kg sebulan, tidak pernah mengeluh dalam berbagi ilmu dengan anak didiknya. Ironis, memang. Pada tahun sang penulis masuk SD, kepastian nasib SD Muhamadiyah bahkan baru didapat di detik-detik terakhir, dengan bergabungnya Harun, seorang anak cacat mental yang seharusnya disekolahkan di SLB namun terpaksa bersekolah di sekolah reguler karena keterbatasan biaya. Kondisi yang menyedihkan ini seolah semakin diperparah dengan adanya sekolah PN Timah, yakni sekolah top para pegawai pertambangan timah yang amat kontras dengan sekolah kampung itu.
Intan tetap intan walau dalam mulut anjing. Demikian kata pepatah. Artinya kira-kira, sesuatu yang bermutu tidak akan kehilangan cemerlangnya dalam kondisi apapun. Begitu juga kondisi para anggota Laskar Pelangi. Dalam situasi yang buruk seperti itu, semangat belajar tetap ada pada para anggota Laskar Pelangi. Mereka tidak mau menyerah meskipun keadaan jelas tak pernah berpihak pada mereka. Tengoklah Lintang, sang jenius yang tiap harinya dengan senang hati mengayuh sepeda butut sejauh 80 km untuk memuaskan dahaganya akan ilmu atau sekadar menyanyikan lagu Padamu Negeri di akhir jam sekolah. Anak kuli kopra ini bahkan mampu membuktikan kecerdasannya dengan mengalahkan anak-anak sekolah PN Timah di perlombaan, membuktikan bahwa ternyata sekolah kampung mereka mampu berbuat lebih. Ada lagi Mahar, seorang pesuruh tukang parut kelapa yang memiliki bakat seni yang hebat. Meskipun dianggap aneh dan tidak logis, dia akhirnya berhasil mengangkat derajat sekolah kampung mereka dalam lomba 17 Agustus.
Para anggota Laskar Pelangi benar-benar memiliki daya tarik yang luar biasa, sehingga hampir mustahil untuk percaya bahwa mereka benar-benar tokoh nyata yang ada di bumi nusantara ini. Kemampuan Andrea Hirata dalam mengeksplorasi tokoh-tokohnya juga terlihat dari para figuran yang memang seolah diarahkannya untuk membangun suatu setting yang amat berbeda dalam cerita ini. A Miauw, seorang pedagang dari etnis Tionghoa totok yang digambarkan sebagai lelaki tua, tidak bersahabat, berbau tidak nyaman adalah ayah dari A Ling, gadis yang menjadi idaman si penulis. Meskipun seringkali setengah hati dalam menjual kapur tulis pada sekolah kampung mereka (barangkali dianggap merepotkan), A Miauw dalam narasi Andrea Hirata digambarkan sebagai seorang Kong Hu Chu yang taat dan amat jujur dalam berniaga – suatu pelajaran bahwa selalu ada yang bisa dipetik dari seseorang, betapa buruknya orang itu.
Pesan yang tak kalah penting juga didapat dari tokoh Flo, seorang gadis tomboy anak pegawai PN Timah yang “membelot” dari kandangnya dan malah bergabung dengan Laskar Pelangi yang notabene miskin dan kampungan. Bersama Mahar, ia mendirikan Societeit de Limpai, perhimpunan para penggemar hal ghaib yang keanggotaannya meluas (beberapa pegawai negeri dan orang yang mapan secara ekonomi dan intelektual pun ikut bergabung). Bersama Societeit de Limpai kesayangannya itu pula, Flo yang bermasalah dengan nilai rapornya nekat mengunjungi Pulau Lanun, tempat berdiamnya seorang petapa tua, Tuk Bayan Tula yang diharapkan memberikan solusi untuk menyulap nilainya menjadi sembilan dan sepuluh. Jawaban dari Tuk Bayan Tula ternyata sungguh tidak bisa ditebak. Alih-alih memberikan nilai baik sehingga namanya semakin tersohor sebagai dukung yang sakti mendraguna, ia malah menyuruh mereka “buka buku dan belajar”!
Kekuatan dari buku Laskar Pelangi ini adalah pada pengajaran yang diberikannya, bahwa kita harus berjuang dalam keadaan apapun. Terlebih dalam pendidikan (di Indonesia) yang masih amat jauh dari kata berhasil ini, seharusnya kita terus bertekun, terus mencari ilmu tanpa lelah. Tidak ada yang tidak mungkin selama kita mau berjuang.