Selamat datang di ForSa! Forum diskusi seputar sains, teknologi dan pendidikan Indonesia.

Welcome to Forum Sains Indonesia. Please login or sign up.

November 07, 2024, 01:10:21 AM

Login with username, password and session length

Topik Baru

Artikel Sains

Anggota
Stats
  • Total Tulisan: 139,653
  • Total Topik: 10,405
  • Online today: 33
  • Online ever: 1,582
  • (Desember 22, 2022, 06:39:12 AM)
Pengguna Online
Users: 0
Guests: 42
Total: 42

Aku Cinta ForSa

ForSa on FB ForSa on Twitter

[ASK] Asal Mula Kehidupan

Dimulai oleh reborn, Februari 28, 2007, 01:24:35 AM

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

Farabi

Alam semesta muncul dari gas. kemudian suatu partikel bergerak dengan cepat membentur yang lainnya. Cahaya muncul dimana mana, saling bertabrakan. KArena tidak ada gravitasi, semua benda yang berkumpul saling tarik menarik membentuk bentuk bulat dimana paling dalam, paling panas, sedangkan dibagian terluar paling dingin dan paling padat. Baru itu yang saya bisa ketahui.

Planet banyak, tapi dari 9 yang terdekat, hanya bumi yang paling melimpah airnya. Berarti sangat jarang terjadi benturan yang membuat orbit elektron hanya 1 atau 2 pada sebuah atom. Rata rata banyak. Bahkan di bulan saja melihat dari materinya yang padat dan keras, bisa dipastikan itu minimal adalah atom karbon ato bahkan atom lain yang berjumlah elektron banyak.

Saya belum bisa menemukan alasan yang masuk diakal, kenapa dari benturan tersebut bisa muncul planet bumi yang mempunyai banyak unsur air.
Raffaaaaael, raffaaaaael, fiiii dunya la tadzikro. Rafaael. Fi dunya latadzikro bil hikmah, wa bil qiyad

Maa lahi bi robbi. Taaqi ilaa robbi. La taaqwa, in anfusakum minallaaahi.

Hendy wijaya, MD

#46
Sesuai atau tidaknya evolusi dengan agama itu diluar konteks pembahasan secara ilmiah. Apakah Tuhan memang merencanakan atau tidak atau bahkan ada tidaknya Tuhan itu sendiri di luar penalaran sains. Siapa bilang itu masih hipotesa?Kalaupun ingin penjelasan secara filosofis, Tuhan memang tidak pernah berbuat sesuatu tanpa tujuan, tapi siapa bisa memprediksi apa tujuan dan rencana Tuhan?Alam tidak bisa diprediksi dan rencana Tuhan yang tidak bisa diketahui, apa bedanya?toh outcomenya kedua hal itu menghasilkan kondisi alam yang tidak dapat diprediksi oleh manusia. Perdebatan semacam ini hanyalah argumen mubazir karena ada atau tidaknya rencana Tuhan, kondisi alam tetap tidak bisa diprediksi.

Sekarang saya mau tanya, apa beda antara hipotesa dan teori?hanya masalah waktu dan dapat bertahannya suatu pernyataan mengahadapi ujian berupa kapasitasnya menejelaskan hasil observasi yang sudah ada ataupun kemampuannya memprediksi hal yang belum terjadi, suatu pernyataan disebut hipotesa atau sudah berupa teori. Teori selalu terbuka untuk didebat, tidak ada satu teori pun yang mampu bertahan selama berabad2, selalu ada modifikasi. Evolusi sudah menjadi teori sebab ia mampu menjelaskan hasil observasi dan memprediksi hasil observasidi masa depan, walaupun prediksinya tidak bisa mencapai detil yang sempurna.

Jangankan hanya satu juta, ada sekitar 7-8 juta species di bumi, dan itu belum termasuk spesies baru yang terus ditemukan. Memang tidak mudah menjelaskan satu per satu diversifikasi m.h yang ada, salah satu bentuk diversifikasi yang saya contohkan di atas adalah diversifikasi allopatrik, dimana satu spesies dapat mengalami diversifikasi akibat adanya pemisah. Ada pula diversifikasi akibat perbedaan sumber daya dalam satu  lingkungan tanpa ada pemisah yang jelas, di sini disebut simpatrik. Dan memang dalam dunia biologi, occam razor TIDAK berlaku.

Gambaran secara kasar, sekali bertelur, seekor hewan laut bisa menhasilkan ratusan telur, dan semasa hidupnya, hewan laut bisa menghasilkan ratusan atau bahkan ribuan keturunan, jika masing-masing keturunan unik/bervariasi, bisa dikatakan mereka memiliki kemampuan berbeda-beda dalam bertahan hidup, dari titik ini, seleksi dimulai. Semakin jauh perbedaan di antara mereka, kemungkinan mereka dapat digolongkan dalam spesies yang berbeda, dan mohon dicatat proses ini TIDAK terjadi dalam satu generasi. Dan ingat pula bahwa penggolongan spesies tidak saja berdasar morfologi tapi juga berdasar hal lain yang lebih kecil, yaitu gen nya, bisa saja m.h yang tampak mirip dan bisa saling mengawini (meskipun tidak secara alami), telah digolongkan ke dalam spesies yang berbeda karena jauhnya perbedaan filogenetisnya.

Dan perlu dicatat pula, gempa dalam contoh saya di atas itu hanyalah salah satu contoh, kenyataannya, m.h sering tidak memerlukan bencana alam atau pemisah alam yang jelas untuk dapat mengalami diversifikasi.

Contoh kasus lain misalnya, dalam satu pulau terdapat satu spesies burung pemakan biji2an dari tanaman A. Karena jumlah burung tersebut makin banyak, maka terdapat kompetisi di antara burung dalam spesies tersebut. Dalam spesies burung tersebut muncul burung yang memiliki perilaku memakan biji tanaman A dan B, karena ia dapat memakan biji A dan B, maka ia dapat makan lebih banyak dibanding burung lain yang hanya makan biji A. Dengan demikian, ia dapat beranak lebih banyak, memberi makan anaknya lebih banyak dan dapat berkembang jumlahnya lebih banyak. Sebab ia tidak perlu berkompetisi dengan burung pemakan biji A, ia dapat makan biiji B jika persediaan biji A tipis. Seiring berjalannya waktu, muncul varian lain yang dapat makan biji C, biji D, makan buah E, mengambil sari madu tanaman F atau bahkan dapat makan serangga 1, serangga 2, dst. Dari sini muncul banyak varian yang jika berkembang semakin jauh, dapat digolongkan ke dalam spesies yang berbeda. Belum lagi jika dikombinasi dengan adanya predator2 yang memangsa burung tersebut, kemampuan menghidar dari predator2 pun perlu ikut diperhitungkan, bisa saja satu spesies yg memakan makanan yang sama memiliki survival rate berbeda sebab adanya perbedaan kemampuan menghindar dari predator, belum lagi ditambah perbedaan kemampuan memperebutkan pasangan kawin, menguasai area, kemampuan dalam "memperdayai" individu lain, dst. Semua hal ini dapat dijelaskan dalam evolusi. Ini salah satu contoh kasus diversifikasi TANPA harus ada pemisah alam, yang ada hanya kompetisi merebutkan sumber daya dalam satu lingkungan.
Tantum valet auctoritas, quantum valet argumentatio

semut-ireng

Kutip dari: Hendy wijaya, MD pada Agustus 16, 2011, 12:11:24 AM
Sesuai atau tidaknya evolusi dengan agama itu diluar konteks pembahasan secara ilmiah. Apakah Tuhan memang merencanakan atau tidak atau bahkan ada tidaknya Tuhan itu sendiri di luar penalaran sains. Siapa bilang itu masih hipotesa?Kalaupun ingin penjelasan secara filosofis, Tuhan memang tidak pernah berbuat sesuatu tanpa tujuan, tapi siapa bisa memprediksi apa tujuan dan rencana Tuhan?Alam tidak bisa diprediksi dan rencana Tuhan yang tidak bisa diketahui, apa bedanya?toh outcomenya kedua hal itu menghasilkan kondisi alam yang tidak dapat diprediksi oleh manusia. Perdebatan semacam ini hanyalah argumen mubazir karena ada atau tidaknya rencana Tuhan, kondisi alam tetap tidak bisa diprediksi.


Saya sependapat,  bahwa kondisi alam tetap tidak bisa diprediksi.  Lalu, ' kasus2 bekerjanya seleksi alam dan faktor2 kompleks lain yang mempengaruhinya ',  apa bukan upaya menjelaskan suatu prediksi ??  Padahal outcomenya sudah jelas :  kondisi alam ( proses yang terjadi di alam )  tidak bisa diprediksi ??

Hendy wijaya, MD

Kan sudah saya bilang kondisi alamnya yang senantiasa dinamis memang tidak bisa diprediksi. Teori evolusi pun tidak dapat dengan sempurna,atau hanya sebagian, mampu memprediksi ke arah mana evolusi terjadi dalam jangka pendek, karena pengaruh faktor alam sendiri yang susah diprediksi. Tapi kemampuannya dalam menjelaskan hasil observasi pada fenomena diversifikasi yang sudah ada sangatlah logis dan sesuai dengan fakta yang ada seperti misalnya contoh diversifikasi burung tadi itu memang benar-benar ada dan terjadi. Sampai saat ini tidak ada teori lain yang mampu menjelaskan fenomena ini.

Ingat dalam dunia sains, kurang sempurnanya teori dalam menjelaskan semua fenomena yang ada tidak sekonyong-konyong membuat teori itu runtuh, bisa saja semata-mata kesalahan bukanterletak di teorinya, tapi karena adanya faktor yang tidak dapat diprediksi atau tidak terpikirkan, yang dalam kasus ini kondisi alam. Untuk meruntuhkan teori yang berlaku, diperlukan hipotesis tandingan yang terbukti LEBIH mampu menjelaskan hasil observasi dan memprediksi fenomena di masa datang dengan sempurna.

Memang judul thread ini adalah ASK, Asal Mula Kehidupan, berbeda dengan Asal Mula Spesiasi, tetapi implikasi dari dapat dijelaskannya ASM adalah dapat dijelaskan nya pula ASK dengan mode yang lebih kurang sama.
Tantum valet auctoritas, quantum valet argumentatio

Pi-One

Kutip dari: Farabi pada Agustus 15, 2011, 11:59:30 PM
Alam semesta muncul dari gas. kemudian suatu partikel bergerak dengan cepat membentur yang lainnya. Cahaya muncul dimana mana, saling bertabrakan. KArena tidak ada gravitasi, semua benda yang berkumpul saling tarik menarik membentuk bentuk bulat dimana paling dalam, paling panas, sedangkan dibagian terluar paling dingin dan paling padat. Baru itu yang saya bisa ketahui.
Anda bicara soal pembentukan alam semesta atau pembentukan planet?

Kutip dari: Farabi pada Agustus 15, 2011, 11:59:30 PMPlanet banyak, tapi dari 9 yang terdekat, hanya bumi yang paling melimpah airnya. Berarti sangat jarang terjadi benturan yang membuat orbit elektron hanya 1 atau 2 pada sebuah atom. Rata rata banyak. Bahkan di bulan saja melihat dari materinya yang padat dan keras, bisa dipastikan itu minimal adalah atom karbon ato bahkan atom lain yang berjumlah elektron banyak.

Saya belum bisa menemukan alasan yang masuk diakal, kenapa dari benturan tersebut bisa muncul planet bumi yang mempunyai banyak unsur air.
Koreksi, planet sekarang tinggal 8. Itu belum termasuk exoplanet, planet-planet di luar tata surya.

Dan hipotesis asal air di planet bumi beragam. Termasuk bahwa air dibawa oleh meteor/komet yang membawa es beku. Dan lihat juga kondisinya. Di Merkurius, air akan emnguap dan kemudian terkikis angin matahari. Di Venus, tekanan dan suhu terlalu tinggi. Di mars, meski suhunya tak terlalu tinggi, tapi atmosfernya juga terkikis angin matahari, gak memungkinkan siklus air. Jupiter hingga neptunus adalah planet gas. Di beberapa satelit, air mungkin ada, dalam bentuk es beku.

semut-ireng

#50
Kutip dari: Hendy wijaya, MD pada Agustus 16, 2011, 09:47:54 AM

Ingat dalam dunia sains, kurang sempurnanya teori dalam menjelaskan semua fenomena yang ada tidak sekonyong-konyong membuat teori itu runtuh, bisa saja semata-mata kesalahan bukanterletak di teorinya, tapi karena adanya faktor yang tidak dapat diprediksi atau tidak terpikirkan, yang dalam kasus ini kondisi alam. Untuk meruntuhkan teori yang berlaku, diperlukan hipotesis tandingan yang terbukti LEBIH mampu menjelaskan hasil observasi dan memprediksi fenomena di masa datang dengan sempurna.


Memang tidak sekonyong-konyong runtuh,  karena semua yang dinamakan teori itu memiliki / berasal dari konsep,  yaitu ide atau gagasan tentang whatness.   Konsep evolusi akan tetap ada dan tidak akan runtuh.

Dan konsep teori yang mengandalkan kepada sesuatu yang tidak dapat diprediksi,  tidak akan pernah menjadi teori ilmiah.  Contohnya konsep evolusi itu yang mengandalkan terjadinya spesiasi tergantung seleksi alam,  dengan kata lain tergantung kepada kondisi alam yang tidak mungkin diprediksi.   Memprediksi kondisi alam dalam jangka pendek mungkin masih bisa tepat dan akurat ( misalnya ramalan cuaca dll ) dan cukup akurat,  serta dapat diamati langsung / diverifikasi.  Kondisi alam dalam jangka amat panjang ??  jangankan jutaan tahun atau milyar tahun,  1 - 2 tahun saja sulit dilakukan prediksinya.

Dan jelas kesalahan pencetus teori,   bila dia mengandalkan teorinya kepada sesuatu yang tidak dapat diprediksi dan diverifikasi.

Pi-One

Abaikan celoteh asbuenr yang bahkan gak paham apa itu 'teori evolusi'.
Wong referensinya cuma tulisan tukang obat yang bilagn ular laut itu belut ::)

Farabi

Para peneliti mengatakan bahwa kehidupan itu berawal dari air. Jadi rahim kehidupan berasal dari dasar laut, dimana makhluk makhluk bergerak keatas sampai mencapai daratan. Sebenarnya, ada apa sih di bawah air tersebut?
Raffaaaaael, raffaaaaael, fiiii dunya la tadzikro. Rafaael. Fi dunya latadzikro bil hikmah, wa bil qiyad

Maa lahi bi robbi. Taaqi ilaa robbi. La taaqwa, in anfusakum minallaaahi.

semut-ireng

Louis Agassiz: Anti-Darwinist Harvard Paleontology Professor

by Jerry Bergman, Ph.D. *

Introduction

Jean Louis Agassiz (1807-1873) is regarded as one of the greatest scientists of the 19th century. A founding father of the modern American scientific establishment, Agassiz was also a lifelong opponent of Charles Darwin's theory of evolution. Agassiz "ruled in professorial majesty at Harvard's Museum of Comparative Zoology."

        [He] was a brilliant....man, an essentialist who detested evolutionism—Darwin's brand in particular—and clung to a vision of well-ordered nature assembled by special creations. The zoology of Agassiz was consonant with the natural theology of William Paley.1

Education

Agassiz was born in the village of Montier in the French-speaking part of Switzerland. Like many naturalists of the time, Agassiz was educated as a physician. He studied with several prominent German biologists, including zoologist Lorenz Oken and embryologist Ignatius Döllinger. After receiving his medical degree from the University of Erlangen in 1830, he traveled to Paris to study comparative anatomy under the most renowned comparative anatomist in all Europe, Baron Georges Cuvier.4

Cuvier, the founder of the field of paleontology, was so impressed with Agassiz's work on fossil fish that he turned his own notes and drawings, gathered in the course of years of study, over to Agassiz to complete his opus on fossil fish. This research documented that no evidence existed for the evolution of fish from non-fish worm-like creatures as hypothesized by Darwin. When published, Agassiz's work was "hailed for its accuracy and originality in describing...fishes in the ancient fossiliferous bed of red sandstone."5

Agassiz concluded from his lifelong study of nature that purpose and design were manifested everywhere in nature.6 He noted that if it required an intelligent mind just to study the facts of biology, "it must have required an intelligent mind to establish them."7 Following his famous teacher Cuvier, he asserted that the major groups of animals do not represent ancestral branches of a hypothetical evolutionary tree but, instead, document a great plan that was used by the Creator to design the many different species in existence today.

Already an eminent scientist while still a young man, Agassiz came to the United States in 1848 to accept a professorship at Harvard. In 1860, Agassiz founded the Museum of Comparative Zoology at Harvard, later to be headed by Stephen Jay Gould. His studies of "fishes, both living and fossil, were definitive, and have never been equaled."8 Agassiz and his colleagues also founded The National Academy of Sciences in 1863.

His many students influenced science for decades after his death. Stanford professor-scientist David Starr Jordan noted that "of the older teachers in America—the men who were born between 1830 and 1850—nearly all who have reached eminence have been at one time or another pupils of Agassiz."9

Henry Morris wrote that Agassiz was "also a great teacher, in both Europe and America, where his Harvard classes in natural history were said to have produced all the notable teachers of that subject in America during the last half of the 19th century."10 Noted author-naturalist Donald Peattie asserted that "no American scientist ever had as much influence on scientific education as Agassiz."11 A man of erudition, Agassiz's close friends included not only famous scientists such as Darwin, but also Henry Wadsworth Longfellow, Ralph Waldo Emerson, and other literary notables.12

Henry Morris called Agassiz not only "a great Christian paleontologist" but "the father of glacial geology and the science of glaciology." Morris added:

        He profoundly believed in God and His special creation of every kind of organism. Probably no man was more intimately acquainted with a greater variety of kinds of animals, living and extinct, and it is significant that he was an inveterate opponent of evolutionism to the very end of his life.14

Furthermore, Agassiz believed that science can lead to "recognition of the existence of God...from the study of His works" and "the importance of the study of the animal kingdom with reference to its manifestation of the power, wisdom, and goodness of God, is very great."15

Macroevolution Falsified by Science

Long before the mutational theory of evolution was popularized, Agassiz foresaw the overwhelmingly harmful nature of mutations and the inability of "selection" to produce new life forms.16 He recognized that the problem with Darwinism was not the survival of the fittest, but rather the arrival of the fittest. Agassiz knew, as did most all animal and plant breeders both then and today, that clear limits exist to variation and no known way exists to go beyond these limits in spite of 4,000 years of trying. Creationists today refer to this fact as variation in life limited to that existing within the Genesis kinds. The fact is, all mutations known to us cannot even begin to produce the variety required for molecules to mankind evolution, but rather they create

        monstrosities, and the occurrence of these, under disturbing influences, are...only additional evidence of the fixity of species. The extreme deviations obtained in domesticity are secured...at the expense of the typical characters and end usually in the production of sterile individuals. All such facts seem to show that the so-called varieties or breeds, far from indicating the beginning of new types, or the initiating of incipient species, only point out the range of flexibility in types which in their essence are invariable.17

Darwin sent Agassiz a copy of his now-famous Origin of Species published in 1859. Although very "familiar with the factual evidence advanced by Darwin," Agassiz carefully examined his ideas and the evidence on which they were based. As Agassiz studied the Origin, "mounting annoyance" resulted as he continued to read because he recognized that the "ideas it contained were plainly no different from the notions...he had long since rejected."18

Two years after Origin was published, Agassiz wrote that Darwin's theory was scientifically wrong and was "propounded by some very learned but...rather fanciful scientific men" who taught that the forms of life presently inhabiting our earth "had grown out of a comparative simple and small beginning."19 Agassiz concluded that a great variety of evidence discovered in times past has refuted evolutionary theory. He considered this fact based on his paleontological research "a most powerful blow at that theory which would make us believe that all the animals have been derived from a few original beings, which have become diversified and varied in [the] course of time."20

The man whom Professor Vander Weyde called an "eminent savant"21 excelled in several science fields. Agassiz also correctly recognized that in his writings on evolution "Darwin had departed from the methods of scientific inquiry so well exemplified in his earlier studies." Furthermore, his famous 1859 Origin of Species book "had contributed nothing new to the understanding of nature."22 Bolton Davidheiser added:

        Louis Agassiz not only did not accept Charles Darwin's theory of evolution, he actively opposed it. He attacked it at a vital point, namely, its inability to show evidence of the transformation of one kind of living or fossil animal or plant into another. This is still a basic problem.23

A main reason he rejected evolution was based on paleontology, the area of Agassiz's expertise. Agassiz knew that the fossil record did not support Darwin's theory and strongly argued against it. He also concluded, in contrast to Darwinism, that "the crowning act of the Creator, man, was placed on the earth at the head of creation."24

Agassiz was also active in debating and defending his anti-Darwin views. Among those he debated included Harvard professor Asa Gray, considered the leading American botanist of the 19th century, and Professor William Barton Rogers, President of MIT.25 Unfortunately, in one area Agassiz made a major mistake—he accepted the racist conclusion in that certain groups of men were inferior to others in contradiction to the clear teaching of both biblical and historic Christianity that all humans descended from one couple, Adam and Eve. Instead, Agassiz accepted the then-popular unbiblical preAdamite theory that taught only Caucasians were descended from Adam and that other, supposedly inferior, races of men, such as Negroes, were created before Adam.26 Unfortunately, this idea still has many adherents today as part of a futile attempt to harmonize biblical teachings with Darwinism.

Conclusions

Harvard professor Louis Agassiz, one of the 19th century's leading paleontologists, was able to effectively articulate the many major scientific objections to Darwinism that remain unanswered. After a lifetime of scientific work and numerous science awards and honors, Agassiz never could accept Darwinism—he concluded, from his study of paleontology, that the scientific evidence was strongly against it—and never swerved from his creationist worldview.27

Agassiz also concluded, in contrast to Darwinism, that "there is order in nature; that the animal kingdom especially has been constructed upon a plan which presupposes the existence of an intelligent being as its Author."28 Most of his arguments against Darwin have not been refuted even today but, instead, the research, especially in cell biology, has eloquently supported the many lethal problems with macroevolution that Agassiz recognized over a century ago.29

Pi-One

Kutip dari: Farabi pada Agustus 17, 2011, 09:20:34 PM
Para peneliti mengatakan bahwa kehidupan itu berawal dari air. Jadi rahim kehidupan berasal dari dasar laut, dimana makhluk makhluk bergerak keatas sampai mencapai daratan. Sebenarnya, ada apa sih di bawah air tersebut?
Ada apa di bawah air? Yang pertama tentu saja air, substansi dasar kehidupan. Lalu, ada gunung berapi bawah air, yang bisa menjadi pemicu dalam proses abiogenesis (eksperimen Miller yang tidak dipublikasikan)

Pi-One

KutipAgassiz was a staunch creationist; he taught that after every global extinction of life God created every species anew. This differed from the view of Cuvier, who recognized extensive and sometimes apparently quite abrupt changes in fossil faunas and their environments. Cuvier did not think that God re-created life; he thought that new species migrated in from elsewhere as climates and environments changed.

Agassiz's works on living and fossil fishes and on glaciers have remained classics. His work on glaciers revolutionized geology, and drove another nail in the coffin of the Biblical Flood as a serious scientific hypothesis. He trained and influenced a generation of American zoologists and paleontologists, including Alpheus Hyatt, William Healey Dall, David Starr Jordan, Nathaniel Shaler, and Edward S. Morse. He left a mark on the development and the practice of American science, and brought science to "the man in the street" as no one else had before. People from all over the world read his books, sent him specimens, and asked his advice. By the time of his death, on December 14, 1873, he was the most famous scientist in America, and although he actually published few major scientific works after he emigrated, his popular books and public lectures made him extremely well-known and respected by the public. Scientifically, however, he was being left behind by his absolute rejection of evolution and his insistence on glaciers as a major force that shaped geology worldwide.

Agassiz was also being left behind by his racist attitudes, which were extreme even for his day. In the early and mid-1800s there was considerable scientific debate about the origins of humans and of human races, and about just how different human groups were. This debate concerned all groups of plants and animals — how do you tell how much difference constitutes a species? — and was an important avenue of inquiry. Unlike Darwin and others, who thought that humans all belonged to one species and that their populations had differentiated through time as they spread geographically and adapted to new environments, Agassiz could not accept that all groups of humans belonged to the same species, and he argued vehemently for the inferiority of non-white human groups. He was not alone in this; several prominent scientists saw populational differences as major and discontinuous, and used various statistical and other arguments to support this. But Agassiz was also physically revulsed by the idea that all humans were equal. In this feeling he was not alone, but increasingly he was seen as the product of a bygone age himself.
[pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]
Seorang ilmuwan besar bukan berarti semua karya dan pandangannya benar.

semut-ireng

Tidak diperlukan ilmuwan besar untuk mengetahui evolusi itu bukan teori ilmiah.   Mereka yang beriman dan memiliki akal sehat,  itu lebih dari cukup.

Pi-One

#57
Sains tidak dibuktikan dengan 'iman'. Karena sains bukan satu bentuk kepercayaan.  ::)

semut-ireng

Ada kok ilmuwan yang buat sains menjadi suatu bentuk kepercayaan,  namanya Francis Collins,  dia bilang percaya saja tentang adanya common ancestor walaupun itu dalam evolusi tidak bisa dibuktikan adanya.   Percaya saja,  karena di fisika orang2 juga percaya adanya elektron tanpa pernah menanyakan asal-usulnya ........ :D

Pi-One

Hoaem...ada yang mau bantal untuk teman omong kosong si asbuner?

ZZZzzz.......