Selamat datang di ForSa! Forum diskusi seputar sains, teknologi dan pendidikan Indonesia.

Welcome to Forum Sains Indonesia. Please login or sign up.

April 19, 2024, 09:24:52 AM

Login with username, password and session length

Topik Baru

Artikel Sains

Anggota
Stats
  • Total Tulisan: 139,653
  • Total Topik: 10,405
  • Online today: 77
  • Online ever: 1,582
  • (Desember 22, 2022, 06:39:12 AM)
Pengguna Online
Users: 0
Guests: 50
Total: 50

Aku Cinta ForSa

ForSa on FB ForSa on Twitter

Bioethics - Designer Babies

Dimulai oleh artow, Juli 20, 2008, 06:26:55 AM

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

Idad

Kutip dari: Huriah M Putra pada Januari 29, 2010, 01:01:43 AM
@Idad: Bukan tidak ada istilah pntar de el el, tapi klasifikasi pintar akan naik. Mungkin sekarang IQ rata2 adalah 120 ( Iya ya?), Nah... Kalau dengan genetic engineering, mungkin IQ rata2 adalah 160. Tapi itu disebut rata2 (dimana sekarang disebut jenius). Maka penilaian kita akan berbeda.
Yup, itu kurang lebih apa yang saya maksud di post sebelumnya. Hanya, di post sebelumnya saya mencontohkan "penilaian kita berbeda" dengan perwujudan ketiadaan istilah pintar dll. Dan saya kira, secara pendekatan, hal ini (ketiadaan istilah) mungkin saja terjadi. Walaupun demikian, tetap saja nanti akan ada homogenitas, walaupun dalam jumlah yang sedikit.

Berikut apa yang kiranya saya ingin sampaikan...:


Hm.., agak sulit sich membicarakan hal ini sebetulnya, soalnya belum betul-betul kejadian.
Gni aj, kita buat kondisi dulu, kondisinya, Saat itu, dunia sudah aman, tiap negara dalam kondisi primanya. Dan, Designed babies sudah dapat dijangkau oleh semua orang di dunia dan harganya murah. Jika semua orang bisa dengan mudah dan murah mengkombinasikan gen bayi untuk mendapatkan anak yang sesuai standar, maka nanti akan muncul homogenitas. Standarisasi ini misanya pada kepintaran, raut muka dan postur tubuh, dll.

Misalnya, untuk standarisasi "tampan" dan "cantik", kita ambil contoh tampan saja. Dideskripsikan ganteng itu sebagai putih, badan tegap, dada bidang, alis tebal, wajah maskulin. Nah, memang tiap orang tak mungkin akan punya wajah sama, tapi nantinya mereka akan punya karakteristik wajah sama. Masalah yang akan timbul, misalnya, ada penjahat, lantas bagaimana kita mencirikan wajahnya sedangkan karakteristik umum wajahnya sama. Secaar psikologis, definisi ganteng dan non-ganteng (biasa) bisa-bisa pudar.

Nah, itu yagn pertama, sekarang kita tinjau lebih luas sedikit. Saat setiap orang sudah memenuhi standarnya, ada satu sisi manusia yang kita tidak boleh lupakan, manusia pada ummunya cendrung untuk mencari sesuatu atau hal ayng lebih baik dari keadaannya sekarang. Dengan demikian, paling tidak akan ada perlombaan untuk menjadi yang paling tampan. (untuk diperhatikan, yang saya gunakan disini adalah kata standar, standar itu artinya batas minimum)

Dalam perlombaan tadi, cendrung masing-masing ada pihak yang menang dan ada yang kalah. Dikahwatirkan, bisa saja nanti ada harga tertentu untuk tampan tipe tertentu.

Sekarang kita misalkan lagi, saat semua orang sudah sudahmampu berlomba dan tampan sudah berada di batas maksimumnya, maka semua orang akan jadi palng tampan. Sekarang, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa ia tampan sedangkan tidak ada faktor pembandingnya.

Walaupun demikian, ada satu garis besar yang dapat kita ambil jika semua hal ini terjadi. Bagaimamanpun juga, semampu-mampunya manusia untuk merekayasa genetika, bahkan hingga homogenitasumum tercapai, tidak ada satupun manusia yang identik dengan yang lain, baik dari segi karkteristik fisik maupun mentalnya. Jadi, saat hal itu terjadi, tetap ada heterogenitas, hanya dalam jumlah kecil dan tidak terlihat. Inilah mengapa walaupun saat itu homogenitas sudah ada, tetapi kita masih dapat membedakan yang tampan dan yang kurang tampan. Logikanya, untuk efisiennya, mengapa kita mencoba mencapai sesuatu (homogenitas) padahal hasil akhirnya sama dengan kondisi awal (heterogenitas). Jadi, dalam hal ini boleh dibilang, jika hal ini terjadi, perubahan standarisasi dari tahun ke tahun adalah nol.

Ditinjau dari segi genetis, modifikasi gen sperti ini akan menghilangkan sumber gen unik yang ada  dalam tiap mahluk hidup. Misal, kalau semua modifikasi gen berhasil, orang tidak ada yagn sakit, itu kabar baiknya. Tetapi, contoh kasus nyata orang yang mengalami defeksi gen tidak ada lagi, itu yang langka.

Nah, soal defeksi gen ini, manusia sudah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, suatu mekanisme penyeleksian ini. Jadi walaupun tidak ada modifikasi gen, secara alami gen yang defek ini akan hilang dengan sendirinya. Kaidahnya, sebuah defeksi gen yang mengakibatkan kerusakan parah pada mahluk hidup maka kemungkinan besar mahluk hidup itu akan mati. Dan sebaliknya, defeksi gen yang mengakibatkan kerusakan yang tidak parah, maka mahluk hidup tersebut kemungkinan masih dapat hidup. Mekanisme ini memberikan sebuah mekanisme alami dimana ada sebuah mekanisme penseleksian dimana gen yang dapat menyebabkan kerusakan fatal tidak akan diturunkan ke generasi berikutnya (dalam hal ini induk (male/female) meninggal).

Hendy wijaya, MD

Kok diskusinya jadi melenceng ke masalah negara.. ;D..Saya rasa masalah kurang mampu di Indonesia bukan terletak di SDA nya, melainkan di kualitas SDM nya. Hanya sepersekian dari penduduk Indonesia yang mengenyam bangku pendidikan sampai ke sarjana, dan dari yang mengenyam bangku pendidikan itu pun hanya spersekiannya lagi yang benar2 educated..Udah ah OOT..

Btw, jika yang dikatakan bung Huriah tentang IQ rata2 sekarang benar..sepertinya teknologi dan peradaban manusia yang semakin maju telah menciptakan suatu lingkungan dengan jenis seleksi alam yang berbeda di mana individu ber IQ tinggi cenderung lebih bisa survive, itu buktinya kita masih berevolusi sampai sekarang..pergeseran gene pool. Namun saya secara pribadi sebenarnya kurang setuju dengan perhitungan IQ, sebab IQ seseorang cenderung dinamis, dan sebagai variabel ia tidak memiliki angka atau hasil pengukuran yang reliable, artinya, hasil pengkuruan dengan menggunakan metode pengukuran IQ yang sama dan pada subyek yang sama, masih memberikan hasil yang fluktuatif. Apakah hasil pengukuran yang seperti itu bisa dikatakan cukup obyektif sebagai dasar penilaian kecerdasan seseorang, mengingat kecerdasan sendiri masih memiliki makna yang luas.
Tantum valet auctoritas, quantum valet argumentatio

Huriah M Putra

Yah... Memang penggunaan sistem IQ untuk menghitung kecerdasan masih diragukan. Tapi itu cuma sekedar contoh...
Btw, Idad, gak ngerti nih.... T.T
[move]OOT OOT OOT..!!![/move]

Idad

@all, Huriah, Hendy
wdwh..,hehe.., mf2.., mungkin saya lagi agak kurang nyambung kemarin..

Tpi yang pasti..., yuk kita sama2 mencoba memajukan pendidikan bersama, agar tercipta masyarakat yang baik luar-dalam..

Kutip dari: Huriah M Putra pada Januari 30, 2010, 10:32:04 AM
Yah... Memang penggunaan sistem IQ untuk menghitung kecerdasan masih diragukan. Tapi itu cuma sekedar contoh...
Yup2.,. klo ini saya setuju..,
soalnya bisa jadi antara jasa test IQ menggunakan standar penghitungan serta soal yang berbeda,






Hendy wijaya, MD

Tantum valet auctoritas, quantum valet argumentatio

Lunaris

Kutip1. Kita masih jauh dari mimpi menciptakan ras unggul.

Bukan masalah ras unggul itu jauh atau dekat tetapi ras unggul itu tidak mungkin karena evolusi itu sistemnya "give and take". Untuk mendapatkan suatu trait unggul, ada trait lainya yang harus dikorbankan.


Contohnya IQ dari gambar dibawah ini.


Coba pindah orang-orang dari yang warnayanya biru ke merah. Dan sebaliknya. Saya yakin orang-orang dari biru nga bakal bisa hidup lama di tempat merah, sedangkan orang-orang dari daerah merah akan kesulitan untuk hidup di daerah biru.

Orang orang dari daerah biru mungkin memiliki IQ yang tinggi tetapi badanya tidak fit untuk hidup di deaerah merah. Sedangkan orang daerah merah akan susah untuk mendapatkan pekerjaan di daerah biru.

Kutip
Btw, jika yang dikatakan bung Huriah tentang IQ rata2 sekarang benar..sepertinya teknologi dan peradaban manusia yang semakin maju telah menciptakan suatu lingkungan dengan jenis seleksi alam yang berbeda di mana individu ber IQ tinggi cenderung lebih bisa survive, itu buktinya kita masih berevolusi sampai sekarang..pergeseran gene pool. Namun saya secara pribadi sebenarnya kurang setuju dengan perhitungan IQ, sebab IQ seseorang cenderung dinamis, dan sebagai variabel ia tidak memiliki angka atau hasil pengukuran yang reliable, artinya, hasil pengkuruan dengan menggunakan metode pengukuran IQ yang sama dan pada subyek yang sama, masih memberikan hasil yang fluktuatif. Apakah hasil pengukuran yang seperti itu bisa dikatakan cukup obyektif sebagai dasar penilaian kecerdasan seseorang, mengingat kecerdasan sendiri masih memiliki makna yang luas.

IQ itu tentang potensi otak seseorang. Apakah orang tersebut mau memakainya atau tidak itu cerita lain.

Evolusi berhubungan dengan natural selection. Berbeda tergantung habitatnya. Dan tidak selalu favor mereka yang ber IQ tinggi. Ada kalanya untuk hidup di lingkunganya sangat memerlukan fisik yang bagus dari pada IQ yang bagus. Karena itu ada kecenderungan warna merah di peta tersebut akan tetap merah untuk waktu yang lama. Ada juga habitat dimana mereka menyeleksi sendiri utuk memilih orang ber IQ menengah kebawah, dimana yang ber IQ tinggi memilih kabur dari tempat itu dari pada kena imbas seleksi alam.

Hendy wijaya, MD

Ras unggul di sini maksudnya bukan unggul secara evolusi tapi berdasarkan penilaian manusia.
Tantum valet auctoritas, quantum valet argumentatio

Lunaris

Penilaian macam apa?

Ada beberapa tempat dimana natural selectionya cencerung memilih pintar dan baik hati. Nice guy finished first.

Ada tempat dimana natural selectionya cenderung memilih yang penurut dan mudah dikendalikan. Yang kritis disingkirkan dan biasanya memilih kabur dari tempat itu.

Ada  tempat dimana natural selectionya cenderung memilih kemampuan fisik tertentu. Kalau tidak bisa kena wabah lokal terus mati. Atau minimal 1 hari jalan 2km atau tidak makan.


Kalau bayi di desain biar pintar dan tampan berotot tetap saja bukan ras sempurna.
Bagai mana bisa pintar kalau kehidupan sehari-harinya tidak menuntut kepintaranya dipakai secara maksimal?
Bagai mana bisa berotot kalau keseharianya tidak memerlukan kerja fisik yang banyak?
Ada yang bilang olah raga setiap hari. Tetapi olah raga buat apa? Dia akan kehilangan waktu banyak hanya untuk mempertahankan keberototanya meskipun sebenarnya lingkunganya lebih menuntut utuk memakai otak. Atau sebaliknya.

Di akhir cerita tetap aja ada yang trait yang harus dikorbankan untuk mendapatkan/mempertahankan trait tertentu. Karena itu manusia sempurna tetaplah menjadi ilusi.

Idad

Kutip dari: Hendy wijaya, MD pada Februari 03, 2010, 02:14:31 AM
Ras unggul di sini maksudnya bukan unggul secara evolusi tapi berdasarkan penilaian manusia.
Kutip dari: Lunaris pada Februari 03, 2010, 02:47:17 AM
Penilaian macam apa?
Mungkin yang dimaksud mas Hendy itu seperti ada standarnya, itu yang saya tangkap dari thread ini.
Seperti, tinggi sekian, berat sekian, dsb..,

Kutip dari: Lunaris pada Februari 03, 2010, 02:47:17 AM
Kalau bayi di desain biar pintar dan tampan berotot tetap saja bukan ras sempurna.
Kutip dari: Lunaris pada Februari 03, 2010, 02:47:17 AM
Karena itu manusia sempurna tetaplah menjadi ilusi.
Yup, Setuju. kria2 ini apa yang saya ingin tulis di post sebelumnya.
Soalnya, ditinjau dari sisi genetis juga tidak mungkin, arah kesana kkita masih jauh, seperti apa yang mas Hendy tulis.
Dan, ditinjau dari kemungkinan akhirnya, hasilnya sama saja, akan tetap ada manusia yang lebih unggul satu dengan lainnya. Tidak mungkin diciptakan standar yang sama antara satu dengan yang lainnya. Toh, salah satu sifat manusia adalah mengusahakan yang lebih baik, dan usaha tiap orang berbeda, jadi heterogenitas akan tetap ada.



Hendy wijaya, MD

Hmm..masuk akal kalau trait yang anda maksudkan menunjukkan sifat pleiotropi atau menunjukkan adanya linked dengan trait lain yang menentukan fitness.
Yang saya maksudkan dengan penilaian manusia ya jelas tergantung dari penilaian manusia di mana ia berada, misalkan di tempay di mana kepintaran menjadi penentu kesintasannya, ras unggul bagi mereka adalah orang dengan IQ yang tinggi, tapi terlepas dari kemampuannya sintas dari generasi ke generasi, sebab seleksi alam sifatnya dinamis.
Tantum valet auctoritas, quantum valet argumentatio