Potret Pendidikan Fisika
Fisika. Satu kata itu tampaknya sangat memuakkan bagi sebagian besar siswa di Indonesia, terutama di tingkat sekolah menengah atas (SMA) yang berjurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) − hal ini tidak berbeda dengan di tingkat SMP dan bahkan untuk mahasiswa Fisika itu sendiri. Memang, ada juga yang menyukainya, tetapi hanya segelintir siswa yang mengaku suka dengan Fisika – terlalu sedikit jika dibandingkan dengan yang tidak suka. Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal, untuk pelajaran lainnya, dalam bidang sains – Matematika, Biologi dan Kimia – banyak siswa yang mengaku senang mempelajarinya. Sungguh ironis memang. Fisika dianggap pelajaran yang sangat memeras otak. Apakah hal tersebut memang benar? Tampaknya, perlu ditinjau lebih dalam lagi dan juga harus ditinjau dari berbagai sudut pandang dalam mencari penyebab masalah ini.
Passing grade untuk masuk program studi Fisika pada perguruan tinggi, khususnya universitas negeri jauh lebih kecil dibanding kedokteran umum dan teknik. Soal-soal yang diujikan adalah sama. Adilkah ini? Apakah mata kuliah untuk kedokteran dan teknik adalah sama dengan mata kuliah untuk program studi Fisika? Kedokteran umum sedikit sekali mempelajari Fisika, tetapi soal-soal ujian masuknya sama dengan soal-soal ujian masuk untuk Fisika. Fisika sangat jarang peminatnya, sehingga nilai yang dibutuhkan untuk masuk Fisika tergolong kecil. Fisika menjadi pilihan kedua atau ketiga dalam ujian masuk perguruan tinggi, artinya Fisika hanyalah program studi “cadangan” jika program studi yang lain tidak memenuhi nilainya untuk masuk. Sedikit sekali calon mahasiswa yang memilih Fisika sebagai pilihan pertama dalam ujian masuk perguruan tinggi.
Dalam kehidupan sehari-hari, semua kerja yang dilakukan sebenarnya berhubungan dengan Fisika – walaupun pada dasarnya kita tidak harus mengerti Fisika untuk bisa melakukan kerja. Benda-benda yang diciptakan manusia pun tidak lepas dari hukum-hukum Fisika. Fiber glass sebagai contohnya, tidak lepas dari hukum Fisika (Fisika material), konstruksi bangunan juga menggunakan hukum Fisika (Statika). Mesin-mesin dalam bidang kedokteran, industri makanan, elektronika (komputer, handphone, radio, TV, dan lain-lain), assembling, transpotasi, alat-alat berat dan masih banyak lagi juga menggunakan teori Fisika. Teknologi berasal dari Fisika. Hal ini seharusnya membuat para pelajar gemar mempelajari Fisika. Fisika seharusnya sangat menarik untuk dipelajari karena Fisika terdapat di semua aspek kehidupan. Tetapi, pada kenyataannya sangat kontradiktif. Fisika tetaplah pelajaran yang paling dibenci di tanah air kita ini.
Fisika harusnya menjadi dasar kemajuan teknologi bagi suatu negara, karena teknologi “lahir dan dibesarkan” oleh Fisika. Sebagai contoh, di negara-negara yang memiliki teknologi yang maju − seperti Jepang, AS dan Jerman – pendidikan sains, khususnya Fisika lebih dihargai dan dipelajari lebih “serius”. Pemerintah negara –negara maju memberikan dana riset yang besar bagi penelitian Fisika, tidak seperti negara kita. Apakah ini yang menyebabkan Fisika dibenci oleh sebagian besar pelajar di Indonesia? Apakah anggaran yang terlalu kecil, para pelajar menjadi malas dan membenci Fisika? Benarkah Fisika tidak memiliki prospek yang cerah? Apakah para pelajar Indonesia sekarang materialistis? Semua diukur dengan uang? Padahal sewaktu zaman perjuangan, anggaran sangat jauh lebih kecil dari sekarang. Sebagai contoh, almarhum Prof. Herman Yohanes yang merupakan alumni Universitas Gadjah Mada dan pernah menjabat sebagai rektor di Universitas besar tersebut adalah salah tokoh Fisika yang berjuang untuk menjaga keutuhan Republik Indonesia. Beliau membuat persenjataan dan alutsista (alat utama sistem pertahanan) melalui Fisika menggunakan anggaran yang teramat kecil. Beliau akan menangis jika mendengar para pelajar Indonesia membenci Fisika.
Fisika terkesan “susah” untuk dipelajari. Itu mungkin alasan yang sering dilontarkan siswa, bahkan hal itu juga ada yang dilontarkan mahasiswa Fisika sendiri. Fisika menggunakan Matematika yang rumit dan juga dibutuhkan abstraksi yang mendalam untuk mempelajarinya. Pernyataan ini benar, tetapi rasanya kurang relevan jika para pelajar mengatakan untuk mempelajari Fisika, harus menghafal rumus yang sangat banyak. Hal inilah yang merupakan kesalahpahaman dalam mempelajari Fisika. Dengan menghafal rumus, Dapatkah mengerjakan soal-soal Fisika? Kita tidak akan bisa mengerjakan soal-soal Fisika dengan menghafal rumus. Yang benar dalam hal ini adalah harus mengerti konsep agar bisa memecahkan persoalan Fisika. Pemahaman konsep ini didapat dari banyak berlatih. Seharusnya, kita introspeksi diri dulu, apakah Fisika itu memang benar-benar susah untuk dimengerti, ataukah kita yang terlalu banyak main-main dalam belajar, sehingga jarang dan malas untuk berlatih.
Ada baiknya jika masalah ini dilihat dari para pengajar juga, yaitu para guru/dosen, khususnya pengajar mata pelajaran/kuliah Fisika ini. Apakah para pengajar sudah mengajar Fisika dengan baik? Rasanya tidak. Banyak guru/dosen yang dianggap killer (galak) adalah para guru/dosen Fisika – tetapi untuk dosen Fisika citranya sudah jauh lebih baik. Para guru Fisika kebanyakan mengajar dengan tangan besi – walaupun tidak semua guru/dosen seperti itu. Inilah juga yang tampaknya menyebabkan para pelajar membenci Fisika.
Seandainya saja semua hal di atas bisa diubah, mungkin Indonesia menjadi negara yang memiliki teknologi terhebat di dunia. Tetapi tampaknya sulit jika tidak ada kemauan dari semua pihak untuk menjadi lebih dewasa dan tidak saling menyalahkan. Inilah carut-marut pendidikan Fisika di Indonesia yang sulit untuk diselesaikan.
Ini cuma pendapat saya lho....... mohon kritiknya yaa...