Selamat datang di ForSa! Forum diskusi seputar sains, teknologi dan pendidikan Indonesia.

Welcome to Forum Sains Indonesia. Please login or sign up.

Maret 29, 2024, 05:55:45 AM

Login with username, password and session length

Topik Baru

Artikel Sains

Anggota
Stats
  • Total Tulisan: 139,653
  • Total Topik: 10,405
  • Online today: 134
  • Online ever: 1,582
  • (Desember 22, 2022, 06:39:12 AM)
Pengguna Online
Users: 0
Guests: 135
Total: 135

Aku Cinta ForSa

ForSa on FB ForSa on Twitter

The Magic of Reality: How We Know What's Really True

Dimulai oleh mhyworld, Mei 30, 2012, 07:12:23 PM

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

mhyworld

The Magic of Reality: How We Know What's Really True is a 2011 book by British biologist Richard Dawkins, with illustrations by Dave McKean. The book was released on 15 September 2011 in the United Kingdom, and on 4 October 2011 in the United States.[1][2][3]

It is a graphic science book aimed primarily at children and young adults.[4][5] Dawkins has stated that the book is intended for those aged around 12 years and upwards, and that when trialling the book prior to publishing, younger readers were able to understand its content with additional adult assistance.
KutipSynopsis

Most chapters begin with quick retellings of historical creation myths that emerged as attempts to explain the origin of particular observed phenomena. These myths are chosen from all across the world including Babylonian, Judeochristian, Aztec, Maori, Ancient Egyptian, Aboriginal, Nordic, Hellenic, Chinese, Japanese, and other traditions. Chapter 9 includes contemporary alien abduction mythology and Chapter 4 omits mythology altogether as Dawkins says that really small phenomena were unknown to primitive peoples prior to the invention of advanced optical magnification equipment, any texts they believed to be divinely inspired having failed to mention such useful knowledge as beyond human experience at the time. Dawkins also revisits his childhood and recalls his initial thoughts on these various phenomena or those thoughts expressed by his young contemporaries. Dawkins gives his critique of many of the myths, such as when he points out that much myth involves some god's symbolic transgressive act performed just once, with Dawkins saying that such one-time acts would be inadequate to explain the mechanism as to why the phenomena continue to happen in unbroken cycles.

In the opening chapter Dawkins explains that although mythic narratives and make-believe are fun parts of growing up, reality with its fundamental capacity for beauty is much more magical than anything impossible. The Fairy Godmother from Cinderella cannot magically turn a pumpkin into a carriage outside the bounds of fiction, the reason being that such objects as pumpkins and carriages in reality possess internal organization that is fundamentally complex. A large pumpkin randomly reassembled at the most minute level would be much more likely to result in a featureless pile of ash or sludge than a complex and intricately organized carriage.

In the subsequent chapters Dawkins addresses topics that range from his most familiar territory, evolutionary biology and speciation, to physical phenomena such as atomic theory, optics, planetary motion, gravitation, stellar evolution, spectroscopy, and plate tectonics, as well as speculation on exobiology. Dawkins admits his understanding of quantum mechanics is foggy and so declines to delve very far into that topic. Dawkins declares that there was no first person, to make the point that in evolutionary biology the term species is used to demark differences in gene composition over often thousands of generations of separation rather than any one generation to the next. To illustrate this he uses the example of family photographs. If, hypothetically, there existed a complete set of photographs of all one's direct male ancestors arranged in order of birth date (or hatch date) from youngest to oldest stretching back millions of generations, from one generation to the next one would not perceive much difference between any two pictures—looking at a picture of one's grandfather or great-grandfather one is looking at a picture of a human—but if one looked at the picture 185 million generations back one would be looking at a picture of some kind of fish. Dawkins stresses this point by saying the offspring of any sexually reproducing life form is in almost all cases the same species as its parents, with the exception of unviable hybrids such as mules.

The last two chapters cover a discussion on chaos and the human psychology behind so-called miracle claims such as the Our Lady of Fátima and Cottingley Fairies examples. Dawkins presents philosopher David Hume's argument that miracle claims should only be seriously accepted if it would be a bigger miracle that the claimant was either lying or mistaken. Dawkins continues, saying miracle claims written down in texts subsequently deemed sacred are not exempt from this standard.

Baru baca sedikit, download gratisan di internet. Kalau boleh saya simpulkan, isinya mengajak pembaca untuk berpikir rasional, dan menunjukkan pemikiran-pemikiran irasional yang terlanjur berkembang di masyarakat.
once we have eternity, everything else can wait

lustforscience

mungkin saya tidak benar-benar tahu mana yang "benar", tapi saya tahu apa yang saya percayakan dan saya yakin. Itu sudah cukup untuk saya  ;D

mhyworld

#2
Kutip dari: lustforscience pada Mei 30, 2012, 08:38:07 PM
mungkin saya tidak benar-benar tahu mana yang "benar", tapi saya tahu apa yang saya percayakan dan saya yakin. Itu sudah cukup untuk saya  ;D

Tidakkah anda berpikir bahwa kalimat di atas kontradiktif? Bagaimana anda bisa yakin jika tidak benar-benar tahu?
Dengan mengakui adanya kemungkinan bahwa apa yang anda percayai ternyata salah, itu berarti bahwa anda belum benar-benar yakin.
once we have eternity, everything else can wait

nʇǝʌ∀

dalam hidup manusia tidak boleh terlalu logis tetapi tidak boleh terlalu intuitif
ini sama halnya ketika anda berusaha meraih cita-cita...

darimana anda tahu kalau cita-cita anda berhasil ?
tentu saja karena anda percaya diri. yakinlah bahwa anda akan berhasil!
tapi bukti otentik nya mana kalau anda akan berhasil meraih cita2 anda?

tapi di sisi lain, anda harus mampu membaca kapasitas anda sendiri ketika menentukan cita2 anda...
masak iya ketika seseorang penyakitan dan cacat tau2 dia mau bercita-cita jadi tentara infantri atau ingin lari dan renang keliling dunia ?

so dalam hidup, antara logika dan intuisi harus harmonis, itu yg membuat manusia berkembang

                |'''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''|
       __/""|"|--------nʇǝʌ∀ inc.------|
> (|__|_|!!|__________________|
      (o)!""""""(o)(o)!"""""""""""(o)(o)!

__________

bnr tu, antara logic and intuition hrs harmonis
terlalu logis itu terlalu perhitungan tapi jadi kurang tulus
terlalu intuitif itu terlalu tulus tapi jadinya kurang realistis

tentu saja kita tetap tidak boleh bersikap logis atau intuitif yg bisa membawa manusia pada kehancuran atau kemunduran.

bagaimana mungkin anda meyakini bahwa calon suami/isteri anda itu bener akan mendampingi anda seumur hidupnya? bukti otentik nya apa? itu kan karena masalah kepercayaan, jadi sifatnya tidak logis.

tapi tentu saja tidak benar kalau kita masih ngotot bilang bensin itu tidak bisa membuat api tambah menjalar atas nama kepercayaan, udah jelas2 salah....

sehingga kita harus rela mengatakan kita salah manakala keyakinan kita memang terbukti salah.

ytridyrevsielixetuls

so true... keyakinan itu bukan cuma masalah logika saja atau intuisi saja tapi harus berimbang.
sah sah saja kita berkeyakinan bahwa suatu saat cita-cita kita akan tercapai tapi harus disesuaikan dengan kapasitas kita dan harus ada usahanya.
sah sah saja kita cinta pasangan hidup kita apa adanya tapi tentu saja itu bukan berarti dia bisa berbuat semaunya pada kita.
sah sah saya kita mau menjalin pernikahan dengan pertimbangan berbagai hal seperti fisik, kemapanan, ilmu, kemandirian, kedewasaan berpikir, ada sentuhan emosional, dll tapi tentu saja bukan berarti masing2 pasangan boleh mencampakkan satu sama lain cuma karena masalah kekayaan bangkrut atau tidak cantik lagi...
setia pada pasangan meski dia tak berdaya dan tak bisa memberikan apa2 lagi pada kita itu sifatnya tidak logis karena tidak ada imbalan dari perbuatan kita tapi itu harus ikhlas dilakukan.

nah yang salah itu kalau kita masih berkeyakinan yg sudah jelas-jelas terbukti salah..
hari gini masih aja meyakini bumi itu datar... tahu2 malah minta dihormati keyakinannya.
[move]
     -/"|           -/"|           -/"|
<(O)}D     <(O)}D     <(O)}D
     -\_|          -\_|           -\_|

mhyworld

Apa yang bisa dijadikan indikator bahwa logika dan intuisi sudah seimbang?
Bagaimana kita bisa tahu bahwa kita terlalu banyak menggunakan logika atau justru terlalu banyak menggunakan intuisi?
once we have eternity, everything else can wait

mhyworld

Kutip dari: __________ pada Mei 31, 2012, 05:34:49 PM
bnr tu, antara logic and intuition hrs harmonis
terlalu logis itu terlalu perhitungan tapi jadi kurang tulus
terlalu intuitif itu terlalu tulus tapi jadinya kurang realistis

tentu saja kita tetap tidak boleh bersikap logis atau intuitif yg bisa membawa manusia pada kehancuran atau kemunduran.

Saya kutip dari wikipedia, [pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]
KutipIn philosophy, rationality is the exercise of reason.[citation needed] It is the manner in which people derive conclusions when considering things deliberately. It refers to the conformity of one's beliefs with one's reasons to believe, or with one's actions with one's reasons for action. However, the term "rationality" tends to be used differently in different disciplines, including specialized discussions of economics, sociology, psychology and political science. A rational decision is one that is not just reasoned, but is also optimal for achieving a goal or solving a problem.

Determining optimality for rational behavior requires a quantifiable formulation of the problem, and the making of several key assumptions. When the goal or problem involves making a decision, rationality factors in how much information is available (e.g. complete or incomplete knowledge). Collectively, the formulation and background assumptions are the model within which rationality applies. Illustrating the relativity of rationality: if one accepts a model in which benefiting oneself is optimal, then rationality is equated with behavior that is self-interested to the point of being selfish; whereas if one accepts a model in which benefiting the group is optimal, then purely selfish behavior is deemed irrational. It is thus meaningless to assert rationality without also specifying the background model assumptions describing how the problem is framed and formulated.

BTW, apakah yang anda maksud dengan tulus? apakah itu berarti melakukan sesuatu tanpa mempedulikan akibatnya?
once we have eternity, everything else can wait

nʇǝʌ∀

kalau dijelaskan tanpa contoh mah susah...
logika dan intuisi itu setara. bagi saya tidak ada yg lebih superior atau inferior.
kalau kita terlalu mengedepankan logika, artinya kita terlalu perhitungan.
kalau kita terlalu mengedepankan intuisi, artinya kita terlalu apa adanya.

kelebihan logika adalah menjadikan kita mampu berkuasa. dan kelebihan intuisi adalah menjadikan kita lebih tulus. itu artinya orang yg cenderung logis lebih susah dibohongi tetapi lebih berbakat mempengaruhi. sedangkan orang yg cenderung intuitif lebih mudah dibohongi dan tidak lebih berbakat mempengaruhi.

anda bilang saja bahwa anda utusan dari kerajaan Dewa di balik langit. anda ingin menyebarkan keyakinan ciptaan anda yg anda klaim adalah firman Dewa.
siapapun yg percaya pada anda pastilah tidak logis.
tapi toh mereka tulus mempercayai anda meski tanpa anda kasih bukti.

manusia banyak yg salah kaprah. mereka bilang kalau kita mencintai apa adanya atau menolong tanpa berharap imbalan apa2, maka itu dibilang logis. padahal itu intuitif.
karena tindakan logis adalah tindakan yang memperhitungkan akibatnya atau imbalan di masa depan. tindakan yang menaksir kemampuan dan situasi.

maka dari itu, sebagai contoh, pernikahan jangan hanya tulus di hati saja tapi juga harus ada perwujudan dari perbuatan. makanya saya bilang logika dan intuisi harus harmonis meski saya tidak benar2 tahu apa indikatornya.

                |'''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''|
       __/""|"|--------nʇǝʌ∀ inc.------|
> (|__|_|!!|__________________|
      (o)!""""""(o)(o)!"""""""""""(o)(o)!

ytridyrevsielixetuls

tentu saja orang yang ikhlas itu adalah orang yang intuitif.. dan benar orang yg intuitif cenderung mudah dipengaruhi.
percaya ya percaya aja, nurut ya nurut aja gitu... intuitif kan?
kekurangannya, orang intuitif cenderung lebih jarang mengungkapkan kebenaran.
karena pemikirannya biasanya kurang kritis. orang logis cenderung lebih kritis.

sebagai manusia kita harus bisa bersikap logis dan intuitif namun yang membawa kebaikan.
contohnya macam pernikahan seperti yg disebutkan oleh nʇǝʌ∀

kalau kita mencintai pasangan kita apa adanya tentu kita dibilang intuitif
tapi menjadi intuitif tidak diimbangi dengan bersikap logis juga tidak baik
karena dalam pernikahan juga ada banyak sekali perhitungan yg kita lakukan
seperti usia, ilmu, kemandirian, kemampuan fisik, seks, anak, harta, prospek, dsb.

dengan mengimbangi sikap intuitif kita dengan sikap logis, maka kita bisa menjadi realistis seperti apa yg dikatakan oleh __________

kalau anda hanya logis pun itu tidak baik juga tanpa diimbangi dengan sikap intuitif
karena kalau pasangan ada tidak bisa memberikan lagi apa yg anda inginkan, misal karena sakit parah, dan hanya merepotkan anda, maka anda akan meninggalkannya karena anda tahu dia nga akan memberikan imbalan apa2 lagi pada anda kalau kalian tetap bersama.
padahal kan anda harus setia pada pasangan anda apa adanya kalau memang cinta begitu?

nah kalau kita mengimbangi sikap logis kita dengan sikap intuitif, maka kita bisa menjadi tulus seperti apa yg dikatakan oleh __________

itu adalah contoh bersikap logis dan intuitif yang baik
dan tentu saja juga setuju kata nʇǝʌ∀
logika dan intuisi itu setara
[move]
     -/"|           -/"|           -/"|
<(O)}D     <(O)}D     <(O)}D
     -\_|          -\_|           -\_|

mhyworld

Sebagaimana disebutkan dalam kutipan wiki di atas, penafsiran orang terhadap tindakan yang rasional bisa berbeda-beda, karena perbedaan dalam menentukan standar hasil yang optimal. Kalau yang dijadikan patokan adalah keuntungan terbesar bagi individu, tentunya diperlukan pertimbangan lain di luar logika (yang di forum ini sering disebut intuisi) untuk menjadi manusia yang dianggap normal menurut norma/standar moral yang berlaku umum saat ini.

Alternatifnya, kita bisa menggeser standar hasil yang optimal agar mengikutsertakan juga keuntungan maksimal bagi orang lain di sekitarnya, dengan jangkauan yang lebih luas. Dengan demikian perbuatan yang rasional akan diartikan sebagai perbuatan yang bertujuan untuk mencapai hasil yang optimal bagi kelompok/masyarakat yang dijadikan standar, bisa mulai dari keluarga, desa, etnis, ras, bangsa, ideologi, species, dsb. Perbuatan yang tidak ditujukan untuk mencapai hasil yang optimal bisa dianggap sebagai perbuatan yang irasional.
once we have eternity, everything else can wait

mhyworld

Perbuatan yang tulus juga ada batasnya, yaitu perbuatan yang bermanfaat secara optimal bagi masyarakat pada umumnya.
Jangan sampai perbuatan kita yang tulus justru berdampak negatif bagi masyarakat. Contoh ekstrimnya, membagi-bagikan rokok gratis pada anak-anak sekolah yang nonton konser atau pertandingan olah raga.
once we have eternity, everything else can wait