Gunakan MimeTex/LaTex untuk menulis simbol dan persamaan matematika.

Welcome to Forum Sains Indonesia. Please login or sign up.

Maret 29, 2024, 04:39:48 PM

Login with username, password and session length

Topik Baru

Artikel Sains

Anggota
Stats
  • Total Tulisan: 139,653
  • Total Topik: 10,405
  • Online today: 207
  • Online ever: 1,582
  • (Desember 22, 2022, 06:39:12 AM)
Pengguna Online
Users: 0
Guests: 213
Total: 213

Aku Cinta ForSa

ForSa on FB ForSa on Twitter

KERJA DOSEN DAN UMUR PENDEK

Dimulai oleh peregrin, Maret 01, 2007, 05:00:14 PM

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

peregrin

KERJA DOSEN DAN UMUR PENDEK

Oleh : Moch. Faried Cahyono

Apakah bekerja sebagai dosen identik dengan umur pendek? Olok-olok serius itu masih juga terjadi hingga lewat dua minggu sesudah  Riswanda Imawan, pakar politik UGM, dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa. UGM untuk kesekian kalinya, kehilangan dosen terpilih yang meninggal dalam usia relatif muda. Riswanda Imawan, meninggal dunia pada usia 51 tahun, jauh dibawah umur rata-rata orang Indonesia yang mencapai 67 tahun. Kehilangan dosen dalam usia relatif muda adalah yang kesekian kalinya bagi UGM dalam tahun-tahun terakhir. Salah seorang anggota Majelis Guru Besar UGM bahkan mencatat selama 4 tahun belakangan ini UGM telah kehilangan 60 orang dosennya. Mayoritas mereka, meninggal dibawah usia 60 tahun. Hanya 4 orang yang meninggal dengan usia diatas 60 tahun.

Kematian Riswanda, diluar Allah menghendaki, ternyata menimbulkan kesimpulan satir. Bahwa bekerja sebagai dosen di UGM di jaman kini, bisa jadi bukan pekerjaan yang sehat. Irwan Abdullah, Direktur Pasca Sarjana UGM mengatakan, kematian banyak dosen UGM dibawah usia rata-rata manusia Indonesia bisa jadi karena keharusan bekerja ekstra keras untuk kebutuhan survive secara ekonomi. Selain itu beban sosial seorang intelektual seperti dosen di Indonesia, di luar pekerjaan pokoknya mengajar, lebih berat dibanding negara maju. Mereka harus pula memenuhi tuntutan sosial masyaraakt, diantaranya, ikut andil menciptakan masyarakat yang lebih baik Sementara dari gaji, relatif lebih rendah. Persoalan menjadi penting, ketika orang mencoba menghubungkan soal gaji rendah, kerja berat, dengan angka harapan hidup yang rendah.

Begitulah kini, para dosen yang dekat dengan almarhum, mulai memikirkan cara untuk tidak terlalu serius berpikir soal memperbaiki negara. Dosen harus lebih rajin berolah raga dan menjaga kesehatan dengan mengurangi kegiatan mengajar dan proyek yang terlalu banyak. Pekerjaan sebagai dosen itu sendiri sudah dekat dengan stress tinggi.

Selain mengajar, harus menulis laporan penelitian, buat jurnal ilmiah, juga kerja-kerja administratif yang dilakukan dalam tenggat waktu dan ketergesaan. Harap maklum, di UGM, seorang dosen bisa mengajar sampai 11 mata kuliah per minggu.

Ada alasan mengapa dosen harus mengajar begitu banyak mata kuliah. Pertama menyangkut kepakaran. Jumlah kelas yang lebih banyak, juga dibukanya banyak program baru pada tahun-tahun terakhir menyebabkan dosen harus meluangkan banyak waktu. Kebijakan semester pendek dengan memadatkan kuliah yang lazimnya 3-4 bulan menjadi 1-2 bulan membuat dosen sering tidak punya hari libur. Kadang proses belajar mengajar dipadatkan dalam satu minggu terus menerus atau week end asal bisa mengejar jumlah jam. Tapi, jika jujur, seperti diakui oleh seorang Wakil Dekan di salah satu Fakultas Ilmu Sosial di UGM, dosen-dosen harus mengajar ekstra banyak, karena kalau tidak begitu, tidak akan survive secara ekonomi.

Soal tidak cukupnya gaji untuk hidup sebulan, adalah soal umum di Indonesia. Baik PNS, TNI maupun polisi kini tak cukup lagi mengandalkan hidup dari gaji. Persoalan gaji yang belum juga mampu dipecahkan oleh pemerintahan Presiden Yudoyono. Kebijakan pencabutan subsidi BBM, rendahnya dana untuk pendidikan dan kesehatan, menjadikan gaji yang tadinya sudah pas-pasan, menjadi benar-benar tidak cukup.

Lebih lanjut, Wakil Dekan ini bercerita, gaji seorang dosen seperti dirinya yang sudah mengajar lebih dari 10 tahun, hanya cukup untuk hidup 1 minggu. Bagi pensiunan dosen, situasi bisa lebih berat. Salah satu Dekan Fakultas Eksakta UGM bercerita, bagaimana dia sesungguhnya selain merasa senang melibat para profesor emeritus tetap mengajar di alamamaternya meskipun sudah pensiun. Tapi, pak Dekan ini prihatin melihat para profesor sepuh itu kini tidak lagi mengajar sebagai  hoby, aktualisasi diri, atau pengembangan ilmu. Tapi memang mereka harus tetap mengajar karena uang pensiun sebagai profesor hanya Rp 1 juta-an saja. Gaji dan pensiun itu biasanya sudah habis untuk bayar listrik, telepon, dan bensin. Sisanya, harus dipenuhi dengan kerja yang lain.

Beratnya tekanan ekonomi itu, bisa ditelusuri karena dua sebab. Pertama karena gaji yang rendah sebagai trend umum pegawai negeri. Kedua, soal pola hidup. Berbeda dengan situasi 10-20 tahun lalu,  jaman ini adalah jaman yang lebih konsumtif. Jaman ini juga ditandai dengan negara yang lebih pelit dalam mengeluarkan uang bagi rakyatnya.  Selain itu, kebersahajaan mungkin barang lama. Ada pula fakta, bahwa universitas tidaklah �sekaya� dulu. Fasilitas rumah dinas  misalnya, kini tak diberikan pada dosen-dosen muda. Jika ingin membangun rumah, maka harus pandai-pandai mencari tambahan.

Tetapi, apakah perilaku kerja para dosen UGM yang rawan stress, itu adalah sesuatu yang unik dan datang ujug-ujug tanpa sebab musabab? Jawabannya tentu saja tidak. Kecenderungan itu ada di mana-mana. Ada banyak jawaban soal ini, namun secara umum keharusan bekerja lebih berat itu muncul dan semakin nyata, ketika paradigma pendidikan berubah menjadi komoditi dagang. Ide Negara Kesejahteraan memang  sudah raib berganti dengan orientasi yang benar-benar pro pasar,  sebagaimana kebijakan yang disarankan IMF. Resep umum IMF untuk memperketat anggaran negara dan mencabut subsidi, benar-benar menghantam dunia pendidikan dan manusia yang tinggal dan berhubungan dengannya.

Ide negara yang harus lebih pro pasar itu mengharuskan pencabutan subsidi pendidikan. Pendidikan bukanlah bentuk pelayanan publik, tetapi sebuah komoditi yang diperdagangkan. Jadi, negara tidak boleh memberi subsidi. Dulu, ide ini pun mendapat perlawanaan dari banyak warga kampus, bahkan kampus-kampus Amerika, Jepang, dan negara-negara Asia lain. Tapi, perlawanan tak berhasil. Sebagaimana sama dengan di Indonesia, warga Thailand misalnya, kini juga harus menerima pendidikan yang lebih mahal.  Berkurangnya anggaran tidak hanya dialami UGM, tapi juga universitas- -universitas negeri lainnya. Mereka dipaksa mencari biaya sendiri, dan harus kreatif melobi sumber dana. Tantangan berkurangnya dana itu dijawab UGM yang kini menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), diantara yang pokok dengan membuka lebih banyak kelas. Bahkan beberapa program studi yang harusnya diisi oleh lebih sedikit mahasiswa, juga membuka kelas besar.

Biaya kuliah pun jadi mahal. Tentu ada kelas ekonomi yang tidak memasalahkan soal biaya kuliah yang mahal. Misalnya mereka yang tak memasalahkan masuk Fakultas Kedokteran UGM yang jadi mahal. Di UGM biaya masuk bagi mahasiswa FK dengan tes murni mencapai Rp 20 jutaan. Orangtua yang bisa memberi sumbangan sebesar Rp 150 juta, hampir  pasti dijamin bisa menyekolahkan anaknya di FK-UGM, karena anak tersebut berjasa mensubsidi kawan-kawannya yang lebih miskin. Ketika negara tidak menyediakan anggaran, maka tak akan pernah lagi anak PNS rendahan, apalagi anak tukang becak, bisa jadi dokter.

Dengan gerak agresif perguruan tinggi negeri seperti UGM, maka Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Yogya juga tidak tinggal diam. Mereka serius bertahan. Selama bertahun-tahun, mereka sudah  melengkapi diri dengan membangun fasilitas gedung-gedung megah, serta menyekolahkan para dosennya hingga bergelar doktor. Kini beberapa PTS besar di Yogya bahkan membuka program S-2 dan S-3 sendiri. Bagaimana PTS kecil yang hanya punya program S-1, dan biasanya menerima mahasiswa yang sebelumnya, tidak lolos seleksi UGM atau PTS besar? Mereka dibiarkan mati tanpa pertolongan.

Saat ini kekurangan mahasiswa hingga 50 persen adalah kecenderungan umum yang dialami sebagian besar PTS di Yogya. Sudah banyak program studi PTS tutup. Salah seorang pengelola PTS mengatakan, turunnya mahasiswa adalah kecenderungan umum. Para orangtua dari luar Yogya, juga dari luar Jawa, kini tidak lagi menjadikan Yogya tujuan kuliah utama. Selain biaya mahal, juga karena sudah ada Perguruan Tinggi di kampung sendiri. Tetapi, UGM yang membuka kelas baru dalam jumlah terlalu banyak, memang merupakan ancaman nyata bagi kematian PTS.

Yogyakarta adalah sebuah pripinsi yang dibangun dengan basis industri pendidikan. Ciri ekonomi propinsi ini, khas. Ada perguruan tinggi, datang mahasiswa, muncul rumah kos, usaha makanan, hingga belanja mahasiswa dan keluarganya. Dan begitulah ekonomi bergulir. Pola Yogyakarta ini relatif aman dari konflik, karena industri pendidikan yang dibangun menyertakan semua pihak mendapatkan bagian ekonominya masing-masing. Tapi, globalisasi, dengan menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan murni, akan menyebabkan pola itu akan hancur.  Dominasi Universitas Negeri yang berlebih, dalam hal ini UGM bersama Universitas Negeri Yogyakarta (Eks IKIP Yogya) dan Universitas Islam Negeri (Eks IAIN) Sunankalijaga yang membuka kelas besar tidak hanya akan mematikan PTS-PTS. Tetapi juga menyebabkan persebaran ruang ekonomi lebih terbatas, dan potensi konflik di masyarakat, akibat hilangnya pekerjaan, akan meningkat.

Presiden Yudoyono beberapa kali meminta bangsa Indonesia menerima globalisasi sebagai fakta. Rakyat Indonesia diminata siap menerima dampak buruk selain pengaruh baiknya. Persoalan tidak sesederhana itu. Di UGM yang kaya intelektual saja, persoalan kesiapan dalam  menghadapi globalisasi di dunia pendidikan diantisipasi dengan keliru, apalagi ketika persoalan gaji pegawai yang tidak cukup untuk hidup layak, tetap merupakan soal yang tidak dijawab negara. Tentu ada kelompok dosen atau Fakultas yang gemuk oleh sumber dana, misalnya Fakultas Teknik dan Ekonomi. Secara personal, ada dosen yang bisa jadi  menteri, staf menteri, konsultan, maupun nyambi jadi pengusaha yang hidup sejahtera. Tapi, mereka adalah kelompok minoritas di kampus. Selebihnya adalah pekerja intelektual atau pegawai administrasi yang mengabdikan diri untuk karya intelektual pengajaran. Mereka berharap mendapat gaji yang cukup, agar bisa berkonsentrasi dalam  pengembangnya ilmu.

Penataan manajemen di tingkat internal UGM memang diperlukan, agar kesejahteraan warganya lebih merata. Tetapi, jika kue yang harus dibagi kecil atau mengecil, maka persoalannya adalah negara. Harus ada kemauan kuat dari negara untuk meningkatkan anggaran pendidikan secara umum, misalnya, dengan mencadangkan sekian persen dana hasil minyak bumi untuk pendidikan. Kesalahan dalam memilih kebijakan di tingkat negara, dengan membiarkan dunia pendidikan mencari uang sendiri, hanya akan menciptakan harga pendidikan yang mahal bagi rakyat, sementara kualitas didikan justru tidak lebih baik. Dan jika dinilai siapa yang paling bersalah, mohon maaf, pastilah mereka yang sedang ada di kekuasaan.** -***
Free software [knowledge] is a matter of liberty, not price. To understand the concept, you should think of 'free' as in 'free speech', not as in 'free beer'. (fsf)

reborn


rawWARus

KEMUNGKINAN KARENA STRESS BERAT YANG DIALAMI OLEH PARA DOSESN, PA LAGI KEBANYAKAN DOSEN2 SEKARANG BANYAK YANG BERORIENTASI KE MATERI BUKAN LAGI KEPENDIDIKAN ITU SENDIRI, DENGN MENGEJAR MATERI,PIKIRAN DOSEN BERTAMBAH BERAT,DAN SEBAGIAN BESAR DOSEN JUGA MENCARI OBJEKAN2 DIBEBEAPA KAMPUS LAIN,SEHINGGA KUALITAS PENDIDIKAN YANG DIBERIKANNYA BERKURANG DRASTIS....
DAN MASALAH SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA ADALAH SISTEM PENCIPTAAN PEKERJA BUKAN PEMBERI ATAU PENCIPTA LAPANGAN PEKERJAAN,JADI SELAMANYA AKAN MENJADI PEKERJA BUKAN PEMILIK PERUSAHAAN
SeSuATu KarYa MaNusIa SerIng BeRaWaL dAri MimPI, MaKA eKSpresIkan MImpimU DenGAN Sains...
DaLAm HaL KeDUniAwiAn TAk AdA hAl yG tAk mUNgkin...

clayaiken

Menjadi pengajar, apapun itu, sangat membutuhkan yang namanya RESPONSIBILITAS, KETERPANGGILAN dan KEPEDULIAN. Tanpa hal-hal tersbut, tentu saja orientasinya cuma MATERI.....
Majulah pendidikan Indonesia!!!!   :D :D
:-)

ludicrous

 :( gak bisa di salahkan juga seh dosen yang sdikit berorientasi pada materi,.. jaman sekarang apa ada orang yang bisa hidup tanpa materi sedikit pun? kalo ada,  ;D bagi2 info dunk,..
You have to endure caterpillars if you want to see butterflies. (Antoine De Saint)

aQi

nasibmu rakyat indonesia....
sedih mode [ON]

izumi

hahahaha,,,knp dosen umur pendek???
mungkin krn di doain mahasiswanya....
gaLak kaLeeeeee

eky

emang kerja sebagai dosen sepertinya serba salah ..
di satu sisi, gaji yang diberikan tidak terlalu mumpuni untuk kualitas otak/pemikiran yang dia punya ..
di sisi lain, kalau ga ada yang mau jadi dosen, bisa hancur nih Indonesia ..

makanya, klo mau umur dosen "panjang", sok lah diperbaharui lagi kualitas "kontrak" kerjanya ..
klo ada yang bilang, "kita ga butuh dosen", coba deh kamu belajar sendiri .. mudah2an pusing!!

peregrin

#8
jadi ingat lagunya Iwan Fals

http://www.youtube.com/watch?v=rrZw0gPR4vE


Guru Oemar Bakrie


Tas Hitam Dari Kulit Buaya
"Selamat Pagi!", Berkata Bapak Oemar Bakri
"Ini Hari Aku Rasa Kopi Nikmat Sekali!"

Tas Hitam Dari Kulit Buaya
Mari Kita Pergi, Memberi Pelajaran Ilmu Pasti
Itu Murid Bengalmu Mungkin Sudah Menunggu

(*)
Laju Sepeda Kumbang Di Jalan Berlubang
S'lalu Begitu Dari Dulu Waktu Jaman Jepang
Terkejut Dia Waktu Mau Masuk Pintu Gerbang
Banyak Polisi Bawa Senjata Berwajah Garang

Bapak Oemar Bakri Kaget Apa Gerangan
"Berkelahi Pak!", Jawab Murid Seperti Jagoan
Bapak Oemar Bakri Takut Bukan Kepalang
Itu Sepeda Butut Dikebut Lalu Cabut, Kalang Kabut, Cepat Pulang
Busyet... Standing Dan Terbang

Reff.
Oemar Bakri... Oemar Bakri Pegawai Negeri
Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 Tahun Mengabdi
Jadi Guru Jujur Berbakti Memang Makan Hati
Oemar Bakri... Oemar Bakri Banyak Ciptakan Menteri
Oemar Bakri... Profesor Dokter Insinyur Pun Jadi
Tapi Mengapa Gaji Guru Oemar Bakri Seperti Dikebiri


Kembali ke (*)

Bapak Oemar Bakri Kaget Apa Gerangan
"Berkelahi Pak!", Jawab Murid Seperti Jagoan
Bapak Oemar Bakri Takut Bukan Kepalang
Itu Sepeda Butut Dikebut Lalu Cabut, Kalang Kabut
Bakrie Kentut... Cepat Pulang

Oemar Bakri... Oemar Bakri Pegawai Negeri
Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 Tahun Mengabdi
Jadi Guru Jujur Berbakti Memang Makan Hati
Oemar Bakri... Oemar Bakri Banyak Ciptakan Menteri
Oemar Bakri... Bikin Otak Seperti Otak Habibie
Tapi Mengapa Gaji Guru Oemar Bakri Seperti Dikebiri



*Bakriee... Bakrie.. kasian amat lu jadi orang....
Free software [knowledge] is a matter of liberty, not price. To understand the concept, you should think of 'free' as in 'free speech', not as in 'free beer'. (fsf)

eky

oia, iwan fals kan termasuk yang cukup gencar menyelamatkan nasib guru lewat musik2 ciptaannya ..
salut

reborn

Harusnya Bakrie dihukum jadi guru aja, biar ngerasa susahnya hidup susah :P
Iwan Fals For President! ga nyambung ya ;D

eky

wadow ..
bisa berabe klo iwan fals jadi presiden ..
ntar rakyatnya jadi penyanyi semua ..

korewa

Kutip dari: clayaiken pada Mei 07, 2008, 06:52:04 PM
Menjadi pengajar, apapun itu, sangat membutuhkan yang namanya RESPONSIBILITAS, KETERPANGGILAN dan KEPEDULIAN. Tanpa hal-hal tersbut, tentu saja orientasinya cuma MATERI.....
Majulah pendidikan Indonesia!!!!   :D :D

saya setuju dengan ini... :kribo:

izumi

Kutip dari: reborn pada Juli 31, 2008, 08:53:26 AM
Harusnya Bakrie dihukum jadi guru aja, biar ngerasa susahnya hidup susah :P
Iwan Fals For President! ga nyambung ya ;D

weiTsz bOkap ku namanya baKrie..........
wah....nyinggung nama bokap yahhh

lem

Biasa ajalah... stress kan ditentukan cara kita menikmati hidup ini... ikhlas pa nggak... sabar pa nggak...

umur kan nggak ditentukan pekerjaan.....
Dengan lem kita rekatkan persatuan dan kesatuan.....