Gunakan MimeTex/LaTex untuk menulis simbol dan persamaan matematika.

Welcome to Forum Sains Indonesia. Please login or sign up.

Maret 29, 2024, 12:31:31 PM

Login with username, password and session length

Topik Baru

Artikel Sains

Anggota
Stats
  • Total Tulisan: 139,653
  • Total Topik: 10,405
  • Online today: 169
  • Online ever: 1,582
  • (Desember 22, 2022, 06:39:12 AM)
Pengguna Online
Users: 0
Guests: 194
Total: 194

Aku Cinta ForSa

ForSa on FB ForSa on Twitter

lagi-lagi UN

Dimulai oleh peregrin, Juni 19, 2007, 03:11:32 AM

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

peregrin

gimana mo ga ada kecurangan di sana sini, wong kabarnya ada kepala sekolah yg diancam bakal dicopot dari jabatannya oleh kepala dinas pendidikan daerah tsb. kalau murid2nya ga 100% lulus >:(

----
kompas.co.id/kompas-cetak/0706/18/humaniora/3617503.htm
Kejujuran yang Dimusuhi - Susi Fitri

...
Bisa dibayangkan, betapa tidak pedih hati seorang guru ketika mendengar murid-muridnya yang berbuat jujur malah dihina dan diperlakukan sedemikian rupa tidak ubahnya para penjahat. Peristiwa yang menimpa siswa SMK Duafa Nusantara ketika melaporkan adanya kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional (UN) yang mereka ikuti di SMK Negeri 5 Padang adalah salah satu contohnya.

Belum lagi pengalaman langsung guru-guru di Medan, yang tergabung dalam Komunitas Air Mata Guru, serta sejumlah guru di berbagai daerah di Tanah Air. Para guru yang membongkar kecurangan UN ini malah diejek, dituduh sok suci, diancam secara fisik (di-"Munir"-kan, ujar seorang guru), diturunkan atau ditunda kenaikan pangkatnya, diberhentikan, disesali oleh orangtua murid, dan dikecam oleh murid-murid sendiri yang mereka sayangi.

Dari kesaksian Komunitas Air Mata Guru dan banyak lagi guru-guru lain, kita jadi tahu bahwa kecurangan dalam UN bukanlah kecurangan yang kasuistik dan bukan pula kecurangan yang dengan gampang dikilah dengan alasan: "Ah, itu kan cuma pekerjaan oknum yang tidak bertanggung jawab." Kilah semacam ini hanyalah cara pengecut untuk berkelit dari persoalan yang sebenarnya, yaitu persoalan yang bersarang dalam sistem pendidikan kita itu sendiri.


Konflik horizontal

Berbagai kebijakan dan wacana (discourse) pendidikan kita belakangan ini justru telah menimbulkan konflik horizontal di dalam masyarakat pendidikan. Konflik horizontal tersebut terjadi dalam wujud pertentangan di antara sesama guru (yang cemas kehilangan pekerjaan karena tekanan sekolah); guru dengan orangtua (yang cemas anaknya gagal); guru dengan murid (yang cemas dengan masa depannya); dan guru dengan kepala sekolah (yang ingin sekolah yang dipimpinnya mampu mengalahkan sekolah lain). Pertentangan lebih jauh menyangkut guru dengan kepala dinas pendidikan (yang ingin departemennya dianggap berprestasi); serta pertentangan guru dengan pimpinan daerah (yang ingin daerahnya dipandang nomor satu), dan seterusnya.

Guru kini terjebak di tengah- tengah konflik horizontal tersebut: antara mementingkan nama baik sekolah dan prestasi riil murid; antara menjaga konduite daerah dan profesionalisme kerja; antara keinginan membantu murid dan berbuat curang. Dan, semua itu tak lain dan tak bukan hanyalah ditujukan demi menjaga citra dan peringkat (ranking), yang saat ini sudah menjadi semacam berhala dalam pendidikan di negeri ini!

Pemberhalaan citra dan peringkat inilah yang memupuk dan melestarikan budaya persaingan dalam dunia pendidikan kita. Bukannya mendorong budaya kebersamaan dan kepedulian, wacana pendidikan kita saat ini justru dengan amat bersemangat mengelu-elukan budaya persaingan. Di mana-mana orang bicara atas nama "persaingan global, persaingan global, persaingan global".

Kata-kata ini sekarang seperti mantra saja, seperti suara zikir di ujung tasbih. Kita tidak lagi menyadari bahwa budaya semacam ini lahir karena kebijakan pendidikan yang hanya mementingkan logika pasar.

Alhasil, terjadilah favoritisme pelajaran. Hanya pelajaran-pelajaran yang "laku" di pasar yang akan dianggap pantas menjadi pengetahuan dan karenanya hanya itu yang perlu diujikan. Maka, sains dianggap lebih penting daripada seni, matematika jadi lebih berharga daripada sikap terbuka pada keragaman dan kenisbian dunia, dan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia direduksi menjadi tes-tes pilihan ganda. Inilah yang kita saksikan dalam kebijakan UN.

Mahasiswa-mahasiswi yang kelak menjadi guru seni, yang akan membantu kepekaan dan welas asih generasi mendatang, tidak jadi penting. Mahasiswa-mahasiswi yang kelak menjadi guru sejarah, yang mengajarkan berbagai kebiadaban dan kegemilangan masa lalu agar kita tidak jatuh pada kesalahan dan kebiadaban yang sama, malah dipinggirkan. Mahasiswa- mahasiswi yang kelak menjadi guru olahraga, yang membantu anak-anak kita untuk menjadi generasi yang sehat dan sportif, tidak dihargai.


Renungan bersama
...
Maka, apa artinya kerja para dosen yang membangun kurikulum sedemikian rupa, yang tujuannya adalah membentuk guru yang memikirkan bangsa, bukan pasar? Di manakah relevansi kurikulum seni yang mengembangkan sikap berbangsa yang multikultur, kurikulum olahraga yang mengembangkan sikap sportif, kurikulum sejarah yang menggambarkan manis-pahitnya melahirkan Indonesia? Maka, apa pentingnya melahirkan guru yang mengembangkan potensi anak, jika pada akhirnya kita menjual mereka? Apa gunanya mengembangkan hubungan yang egaliter di kampus bila yang kuasa bisa menang dengan segala cara?

Namun, bila kritik dilemparkan kepada pengambil kebijakan, bila kejujuran diperdengarkan, maka paling halus mereka akan mengatakan, "Coba solusinya, dong!" Olala, bila semua kritik harus juga dengan solusi, apa kerja para pakar pemerintah yang telah kita bayar mahal dengan pajak rakyat itu? Untuk apa berbagai dewan atau komisi? Bukankah kepada kantong mereka sebagian penghasilan kita, kita serahkan lewat berbagai pajak? Bukankah segala lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif punya segudang pakar yang seharusnya memikirkan solusi?

Lagi pula, bukankah kritik itu sendiri sebenarnya telah membantu mereka melihat adanya persoalan? Sudah ribuan kali teori leadership dan metodologi riset ilmiah mengatakan bahwa dengan menemukan masalah, pada dasarnya sebagian besar masalah sudah dipecahkan. Yang sering kali menghalangi pemecahan masalah justru ketidakmampuan dan ketidakmauan pimpinan untuk mengambil keputusan yang berani dan visioner. Dan, kita kini menyaksikan bahwa di tangan pimpinan yang lemah inilah anak-anak, orangtua, dan guru-guru kita dikorbankan di altar persaingan globalisasi.

Ujian nasional hanyalah sekrup kecil yang membangun altar itu, dan kini para korbannya telah diumumkan satu per satu. Harap dicatat, yang menjadi korban bukan saja yang tidak lulus, tetapi juga yang lulus. Mengapa? Itu tak lain karena keberhasilan mereka pada dasarnya hanyalah keberhasilan yang semu.
....
Free software [knowledge] is a matter of liberty, not price. To understand the concept, you should think of 'free' as in 'free speech', not as in 'free beer'. (fsf)

jesuisnoel

Duh, baru tau...skarang di indo sampe segitunya ya....
Serem euy...tar gw sekolahin anak dimana ya? ???

Melnick

UAN tuh banyak kontroversinya. Udah gitu susah lagi.
Mending ga usah aja :P

Ahahaha..
Abis katanya (denger-denger), nanti UAN bakalan mengujikan 6 mata pelajaran. Maknyuss ga tuh? ::)
"Crystals are like people, it is the defects in them which tend to make them interesting!" -Colin Humphreys.

@melissaniken ;D

myzan

saia mah g stuju ma UN,,bnyk kn nak pinter ga lu2s krna permainan,,
lgian kashn aj gtu 3 tahun bljr cuma di tentuin 3 hari,6 jam 3 peljran lgi!!!
apa smw itu bs ngukur tngkat kcerdasan anak??

scra psikologs jg,,nak2 tuh jdi sngat terbebani,,coba dech tanya nak2 yg dah ikut UN..waktu bermain,bersilahturahmi tersita untuk beljr 3 peljran,,dan klu d lnjtin qt bs stres kn liatin angka,pribahsa dan grammar mulu??
sehrusnya pemerintah nyari solusi yg lebih bagus tuk ngukur tngkat kcerdasan pra penerus bangsa,,pi maslhnya apa solusi itu??solusi yg bgs selain UN!!

ada ide??

herlambang

wawawawa... :D
kalo saia dulu adalah angkatan pertama bwt kelinci percobaan bwt nilai terendah.
saat itu 3.0 berbanding lurus dengan banyak murid yang malas...;D

sekarang berapa terendah ya?

5.5 ato 6.0..

ntar lama2 bisa 8.00 terendah lhoo..
sip dan semakin banyak anak indonesia mateng karbitan ;D kakakakak..
karena kerjanya belajar secara intensif dan terus menerus tanpa mempedulikan hubungan sosial mereka. Selain intelektual, moral juga dominan untuk mencetak generasi yg beradab.

weks.. semoga tidak terjadi ::)
built-in double watchdog! ^^"   *Problem Solved*

Idad

hm.., memang benar2 pelik...

Persoalan pendidikan di Indonesia bukan hanya masalah UN saja (ibarat sekrup kecil seperti yang dikutip diatas), bahkan lebih besar.

Lembaga pendidikan yang ada sekarang sudah jauh berbeda dengan yang ada dahulu. Lembaga Pendidikan dahulu benar-benar mendidik para siswanya. Ingat, disini mendidik, bukan mengajar. Jika mengajar kita hanya cukup mengajarkan apa-apa yang siswa perlukan, selebihnya untuk apa mereka gunakan, akan diamalkan untuk apa ilmu itu, bagaiamana kepahaman mereka sutuhnya untuk itu, bagaimana akhlak dan moral mereka, itu semua kurang dipentingkan.

Kebalikannya, berbeda jauh dengan mendidik, mendidik itu sebuah proses panjang yang sangat meperhatikan segala aspek, terutama aspek kejiwaan, psikologis, moral, dan akhlak. Inilah yang membuat Lembaga Pendidikan dahulu maju dengan benar dan seutuhnya. Para pendidik zaman dulu lebih sedih jika melihat muridnya mencuri daripada tidak mahir pelajarannya. Para pendidik zaman dahulu lebih marah jika melihat muridnya berbohong daripada melihat muridnya mendapat nilai jelek.

Lantas bagaimana dengan pendidik sekarang, pakah berbeda? Tidak, pendidik sekarang tetap sama seperti yang dulu. Persoalannya, jumlah pendidik yang ada sekarang sangat kecil dibandingkan jumlah pengajar yang ada. Coba mulai dari sini kita perhatikan. Guru, pada dasarnya, merupakan seorang berilmu yang bertugas pokokmentransfer ilmunya kepada siswanya. Tetapi, satu hal yang perlu diingat dan ditekankan, guru, dimanapun ia berada , selain dari tugas pokoknya, ia juga beritindak sebagai tenaga pengajar dan pendidik. Jadi mereka tidak hanya mengajarkan sesuai bidangnya, tetapi juga mendidik para siswanya (peserta didik lebih tepatnya) agar juga menjadi orang yang dapat menggunakan ilmunya pada kebaikan, dan mengamalkannya dengan benar.

Sayangnya, walaupun pahit dikatakan, sekarang ini sudah mulai banyak guru yang hanya bertindak sebagai pengajar saja, tidak sebagai pendidik. Atau juga mungkin masih banyak guru sejati, tetapi mereka tertutup dan pudar oleh tuntutan global dan nilai semata, sehingga yang lebih populer adalah Guru Pengajar saja.

Ingat, sesungguhnya dalam proses pembelajaran itu tidak hanya hasil akhirnya saja yang dilihat, tetapi jgua prosesnya. Hasil yang baik tetapi dimulai atau diikuti dengan proses yang buruk sama saja nol, tidak berarti apa-apa.
Walaupun hasil kerja seseorang tetap dinilai, tetapi yang lebih dihargai dari seseorang itu ialah proses atau usaha kerjanya.

Mungkin, inilah juga yang menjadi faktor penghambat (bahkan pemundur) pendidikan kita sekarang. Kebanyakan orang hanya melihat nilanya saja, tetapi tidak melihat apa yang ada dibalik nilai itu.

Kalau dipikir-pikir, buat apa juga mendapat nilai super bagus pada suatu pelajaran tetapi tingkat kepahamannya kurang. Ingat pula, nanti pada suat saat anak didik ktia akan emngahdapi dunia kerja, entah itu di perusahaan atau usaha sendiri. Nah, disaat itulah kemampuan mereka adalah sautu hal yagn benar-benar diperhatikan dan dinilai dengan sesungguhnya, bukan nilai-nilai dan ijazah yang mereka kumpulkan selama ini.

MuhammadBz

Kutip dari: Melnick pada Oktober 17, 2007, 02:37:54 PM
UAN tuh banyak kontroversinya. Udah gitu susah lagi.
Mending ga usah aja :P

Ahahaha..
Abis katanya (denger-denger), nanti UAN bakalan mengujikan 6 mata pelajaran. Maknyuss ga tuh? ::)
Udah dari 2008 kalee
Kutip dari: myzan pada Oktober 17, 2007, 03:02:48 PM
saia mah g stuju ma UN,,bnyk kn nak pinter ga lu2s krna permainan,,
lgian kashn aj gtu 3 tahun bljr cuma di tentuin 3 hari,6 jam 3 peljran lgi!!!
apa smw itu bs ngukur tngkat kcerdasan anak??

scra psikologs jg,,nak2 tuh jdi sngat terbebani,,coba dech tanya nak2 yg dah ikut UN..waktu bermain,bersilahturahmi tersita untuk beljr 3 peljran,,dan klu d lnjtin qt bs stres kn liatin angka,pribahsa dan grammar mulu??
sehrusnya pemerintah nyari solusi yg lebih bagus tuk ngukur tngkat kcerdasan pra penerus bangsa,,pi maslhnya apa solusi itu??solusi yg bgs selain UN!!

ada ide??
Trus maunya ujiannya 2 minggu, tiga minggu, satu tahun?

Melnick

"Crystals are like people, it is the defects in them which tend to make them interesting!" -Colin Humphreys.

@melissaniken ;D

MuhammadBz

Kutip dari: Melnick pada Juni 27, 2009, 11:18:41 PMpostinganku aja kan tahun 2007 :)
Oh iya... saya ngga baca sampai situ

Monox D. I-Fly

Kutip dari: peregrin pada Juni 19, 2007, 03:11:32 AM
Konflik horizontal

Berbagai kebijakan dan wacana (discourse) pendidikan kita belakangan ini justru telah menimbulkan konflik horizontal di dalam masyarakat pendidikan. Konflik horizontal tersebut terjadi dalam wujud pertentangan di antara sesama guru (yang cemas kehilangan pekerjaan karena tekanan sekolah); guru dengan orangtua (yang cemas anaknya gagal); guru dengan murid (yang cemas dengan masa depannya); dan guru dengan kepala sekolah (yang ingin sekolah yang dipimpinnya mampu mengalahkan sekolah lain). Pertentangan lebih jauh menyangkut guru dengan kepala dinas pendidikan (yang ingin departemennya dianggap berprestasi); serta pertentangan guru dengan pimpinan daerah (yang ingin daerahnya dipandang nomor satu), dan seterusnya.
Kayaknya menarik nih buat ide fiksi... Tokoh utamanya seorang guru yang menghadapi konflik dengan berbagai pihak lain dimana antar pihak-pihak lain tersebut juga terjadi konflik...
Gambar di avatar saya adalah salah satu contoh dari kartu Mathematicards, Trading Card Game buatan saya waktu skripsi.