@ghostdoors: Terimakasih infonya..
Tentu saya tahu ttg isu ketidakvalidan data BPS.. Tapi utk saat ini tidak ada pilihan lain.. Dan data yg saya pakaipun (yg dr BPS) bukanlah data vital (misalnya jumlah penduduk miskin) yg bisa membuat analisanya keliru fatal (misal ternyata GDP Indonesia sangat rendah).. Data yg saya pakai hanya utk menjelaskan struktur GDPnya saja (persentase - bukan angka rupiahnya) utk mengatakan bahwa ekonomi Indonesia berbasis konsumsi.
Nah, coba kita anggap persentase pada data BPS salah..
Yg bisa saya lakukan adl mencatut artikel yg menyatakan hal serupa (ekonomi Indonesia adl berbasis konsumsi)
artikel pertamadiskusi di forum kgdari blog deni daruriSelebihnya, saya pertama kali mendengar istilah ekonomi berbasis konsumsi adl dari Bp.Mudrajad Kuncoro (dosen FEB UGM)
@Pak Lik Dhantez
Memandang konsumsi dari sudut pandang kapitalis emang memberi kesan positif. Tapi perlu diingat bahwa konsumsi juga harus seimbang dengan investasi.
Mas az kok kesannya tua bener.. umur saya br 24 je..

Hmm.. saya bukan org kapitalis kok.. saya lbh suka dibilang org yg suka Indonesia maju..

Konsumsi, dipandang dr sudut pandang ekonomi plg dasar, adl positif. Buat apa klo byk yg produksi tapi tdk ada yg mengkonsumsi?
Nah konsumsi dlm konsep consumption-driven jgn melulu diartikan gaya hidup hedonis.. Saya akan teruskan dibawah.
Negeri-negeri G8 emang beberapa waktu tahun yang lalu memberikan persepsi positif terhadap perilaku konsumtif negara-negara berkembang, karena mereka menguasai sumber-sumber produksi. Nah karena tidak mampu menyeimbangkan antara kemampuan konsumsi negara berkembang dengan investasi di negaranya, tak heran jika negara-negara G8 kini terpuruk dalam resesi.
Wah.. saya krg paham masalah finansial global..
Saya ada teman yg mendalami finance, smg dia mau gabung di forsa dan memberi pandangan alternatif utk pembelajaran bersama..

Saat ini, pertumbuhan ekonomi didominasi oleh kegiatan konsumsi. Apalagi konsumsinya berbentuk ketergantungan terhadap produk import. Padahal produk import yang umumnya teknologi tinggi, memiliki perkembangan yang semakin cepat. Jika budaya konsumsi ini dilanggengkan tanpa kendali akan tiba satu masa dimana lebih besar pasak daripada tiang.
Lain halnya kalo kegiatan konsumsi diimbangi dengan kegiatan investasi, maka ketika kita tidak lagi mampu membeli barang impor, kita masih bisa "shopping" produk dalam negeri. Nah klo investasinya ga seimbang dengan konsumsi, kemana arah keseimbangan ekonomi?
Saya sangat setuju..
Tapi mari kita samakan persepsi mengenai pengertian konsumsi dlm konteks GDP dan consumption-driven economy. Sepertinya ada salah paham mengartikan kata konsumsi disini.
Consumption driven economy sdiri jgn langsung diartikan kita ini negara konsumtif atau hedonis. Yg dimaksud Konsumsi disini bukanlah suka beli barang mewah.. Perhatikan pengkategorian dalam data GDP dari BPS: ada konsumsi rumah tangga, investasi, dst dst.. Jika kategori "konsumsi rumah tangga" memiliki peran besar dlm pembentukan GDP maka ekonomi nya disebut consumption driven, sementara jika investasi nya yg besar akan disebut investment driven. Semua ngr maju spt Amerika, Jepang, dll mayoritas investment driven.
Lalu kita telusur lagi.. Apa pengertian konsumsi rumah tangga pd struktur GDP itu? Apakah beli mobil termasuk investasi atau konsumsi rumah tangga? Apakah beli komputer adl investasi atau konsumsi rt?
Kategori konsumsi rumah tangga ini, justru lebih mencerminkan kegiatan ekonomi kerakyatan.. Beli beras, cabe, sayur, jajan masakan padang, dst dst.. Siapa mayoritas produsennya (cabe, beras, sayur, dkk)? InsyaAllah masih orang2 dalam negeri. Jadi consumption-driven dalam ranah Indonesia, justru mencerminkan kegiatan ekonomi ini..
Nah soal investasi, saya setuju bgt.. Terutama jika org2 Indonesia yg memiliki uang lebih mau berinvestasi di negara sdiri, membuka lapangan kerja bagi rakyat kita. Krn saya khawatir klo tlalu mengandalkan investasi asing justru akan merusak masa depan ekonomi ngr kita.