Gunakan MimeTex/LaTex untuk menulis simbol dan persamaan matematika.

Welcome to Forum Sains Indonesia. Please login or sign up.

Maret 29, 2024, 04:58:32 PM

Login with username, password and session length

Topik Baru

Artikel Sains

Anggota
Stats
  • Total Tulisan: 139,653
  • Total Topik: 10,405
  • Online today: 207
  • Online ever: 1,582
  • (Desember 22, 2022, 06:39:12 AM)
Pengguna Online
Users: 0
Guests: 222
Total: 222

Aku Cinta ForSa

ForSa on FB ForSa on Twitter

Pandangan Tentang Aktivis Yang Alih Profesi Jadi Politikus

Dimulai oleh reborn, Desember 03, 2008, 09:13:21 AM

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

reborn

Jelang Pemilu 2009, ada artikel menarik soal banyaknya aktivis yang alih profesi jadi pejabat dan anggota dewan yang terhormat  ;D

Manuver Politik Aktivis

Para aktivis kini menggemari politik. Dalam literatur politik Indonesia, masuknya aktivis ke dunia politik memang sudah lama
berlangsung.

Semenjak angkatan 1966 hingga angkatan 1998, tak sedikit aktivis yang telah menjadi politikus. Begitu juga para anggota DPR kini pun sesungguhnya mantan aktivis yang dibesarkan oleh Kelompok Cipayung (PMII, HMI, GMNI, PMKRI, GMKI) dan organisasi kemahasiswaan baik intra maupun ekstra kampus yang lahir tahun 1990-an.

Tarik Ulur Wajah Aktivis

Namun eksodus besar-besaran para aktivis ke dunia politik dalam Pemilu 2009 ini menjadi fenomena menarik untuk dicermati dari dua sudut pandang berbeda. Di satu sisi politik praktis bagi para aktivis adalah lawan yang musti dikontrol melalui kerja-kerja ekstraparlementer.

Pilihan politik mereka adalah "politik moral" di mana mereka melakukan aktivitas mengontrol kebijakan yang hadir dari politik praktis. Telah menjadi common sense dalam kognisi mereka bahwa aksi-aksi sosial yang berbasis politik moral bertolak belakang dengan aksi struktural berbasis politik praktis. Karenanya, praksis politik yang dipraktikkan para politikus cenderung berlawanan dengan politik moral yang mereka mainkan.

Demokrasi,bagi para aktivis,akan berjalan di tempat jika kontrol dari gerakan luar parlemen lemah.Gerakan oposisi tak harus berada di dalam struktur politik, melainkan harus eksis di tengah masyarakat secara kultural. Di sini, politikus dan aktivis ibarat minyak dan air yang meski pun sama-sama cair tak bisa disatukan. Meskipun sama-sama berpolitik, masing-masing seolah tak dapat diakurkan.

Di sisi lain, mindset politik yang diperagakan para aktivis dalam pelbagai aktivitas "kritik kebijakan" menjadikan mereka terbiasa bergelut dan bergulat dengan wacana politik dan demokrasi. Kondisi ini mendidik mereka berposisi politis saat berhadapan dengan sistem kekuasaan.Kebiasaan berpolitik ala aktivis ini pada gilirannya akan menempa mereka menjadi "politikus jalanan" yang pada prinsipnya mempunyai corak serupa dengan "politikus parpol" sebagai sama-sama berpolitik.

Senada dengan keyakinan bahwa dinamika aktivisme yang hadir dari rahim institusi kemahasiswaan merupakan miniatur sistem politik Indonesia. Di saat yang sama, seiring tingginya literasi politik dan khazanah demokrasi yang mereka miliki, kesadaran muncul bahwa berperan serta dalam menata demokrasi mutlak melalui parpol. Sisi pertama menghadirkan kelompok aktivis yang menolak bergabung dengan parpol.

Bagi mereka,beberapa gelintir orang (aktivis) yang masuk dalam pusaran ketimpangan sistemik struktur politik akan terbawa arus menjadi pelaku-pelaku ketimpangan. Kelompok ini sering menyajikan fakta para aktivis 1966 yang awalnya sedemikian kritis dan menjadi motor gerakan saat berada di luar parlemen ternyata mengalami nasib serupa saat duduk di kursi parlemen.

Idealisme akan terkikis oleh mentalitas korup kekuasaan. Karena itu, bagi kelompok ini, apa pun yang berbau partai politik hanya akan memburamkan orientasi perjuangan mereka. Dari sisi kedua muncul kelompok aktivis yang kompromis dengan politik praktis. Muncul pergeseran corak berpikir, dari alergi politik praktis menjadi "harus" berpolitik. Selain pemahaman tentang signifikansi parpol bagi demokrasi, masuknya kelompok ini ke dalam parpol distimulasi oleh makna "perubahan".

Perubahan yang telah digapai pada era 1998 dengan tumbangnya rezim Orde Baru hanyalah "preambul" yang mesti dilanjutkan dan dikawal. Dalam proses selanjutnya, transisi demokrasi pasca-1998 tak berjalan sesuai keinginan mereka.Hal itu karena tak ada kelompok aktivis yang mengawal perubahan didalam struktur politik. Masuk ke dalam struktural politik
praktis dan memerankan diri sebagai politikus menjadi semacam cara untuk mengubah dari dalam (inward changing), sebab perubahan yang diusahakan dari luar struktur (outward changing) tak pernah mampu menyentuh substansi perubahan itu sendiri.

Mengubah dari Dalam

Perbedaan cara pandang dan pilihan gerakan dua kelompok aktivis ini menunjukkan betapa sulit mencari format isu bersama (common issues) untuk diusung sebagai agenda mengawal reformasi.

Menurut beberapa kalangan,keutuhan gerakan dan cara pandang saat menggulingkan rezim Orde Baru hanyalah romantisme masa lalu yang tak bisa diulang. Keutuhan itu mutlak dimotivasi oleh hadirnya musuh bersama (common enemy) sehingga potensi perbedaan cara pandang ini untuk sementara dapat diakurkan. Pasca-1998 perlahan terjadi proses degradasi. Mulailah muncul fragmen-fragmen gerakan yang tak hanya berbeda, tetapi bahkan bertolak belakang.

Seiring dengan itu,muncul stigma bahwa gelombang aktivisme kini hanyalah kaki tangan para pihak berkepentingan. Tak adanya common issues dan common enemy lantas memunculkan opsi lain, yaitu mengubah stagnasi dan ketimpangan dengan memerankan diri sebagai pemain, bukan pengamat ataupun pengkritik. Opsi ini mesti diperhatikan oleh para
aktornya. Pertama, meneguhkan orientasi perjuangan politik.

Sebagaimana argumentasi mereka saat masuk ke parpol, tiap aktor adalah agen perubahan dan agen kontrol sosial.Mereka terbebani tugas berat untuk memegang teguh sisi idealisme. Pergeseran cara pandang dan corak gerakan boleh saja terjadi seiring perubahan situasi nasional. Namun citra aktivis dengan orientasi pemihakan kepentingan rakyat akan tetap melekat, yaitu sejauh mana mengemban tugas ini ke dalam pelbagai manuver politik dan berdampak langsung kepada rakyat seperti pesan Antonio Gramsci dalam The Prison Notebook tentang peran-peran intelektual organik yang harus dibedakan dengan intelektual tradisional.

Menurut hemat penulis,para aktivis yang terlanjur masuk parpol adalah intelektual organik karena telah berposisi di dalam struktur sosial politik secara langsung. Keberpihakan politik dan pengabdian sosial-kerakyatan menjadi ciri khas titel kaum menengah-elite ini. Kedua, kejelasan agenda.Para aktivis yang eksodus ke parpol harusnya memikirkan jaring pengaman untuk memfasilitasi perbedaan pilihan bendera politik.

Aktivis di parpol A dan parpol B secepatnya membuat agenda bersama menopang gerakan mereka. Apa pun bentuknya, kejelasan agenda menjadi semacam ruang pertemuan (meeting room) merefleksi dan mengingatkan cita-cita bersama jika dalam kondisi tertentu terlalu larut dalam arus kepentingan. Ketiga, mempertemukan simpul gerakan di luar struktur
(ekstraparlemen) dan di dalam struktur (intraparlemen) . Dua kutub gerakan ini diakui telah berbeda persepsi, cenderung oposisional, dan vis a vis. Posisi ini mesti secepatnya digeser.

Masing-masing harus saling percaya dan memahaminya sebagai job description strategi politik aktivis. Sinergi keduanya akan menjadi kekuatan tersendiri yang pada gilirannya menjadi amunisi menempatkan pemberdayaan sosial (social engineering) pada posisinya. Sinergi bukan berarti menghilangkan peran oposisi ekstraparlementer bagi aktivis di luar struktur.

Justru peran itu tetap dibutuhkan untuk mengingatkan dan mengontrol rekannya di dalam struktur untuk tetap memegang orientasi idealisme.Sebaliknya, aktivis politikus dapat meminta masukan kepada rekannya di luar struktur perihal pilihan gerakan politik yang akan diperankan dalam pelbagai fluktuasi situasi politik. Pada akhirnya semua pihak harus menyadari bahwa transisi demokrasi memastikan adanya konsolidasi melalui pelbagai pembenahan sistem dan struktur politik.

Para aktivis yang berganti baju menjadi politikus layak mendapat apresiasi positif bagi kontribusi menuju kemapanan demokrasi. Namun, perlu diingat, ketimpangan sistem sangatlah kuat dalam arus kekuasaan. Tinggal bagaimana mereka mengontrol diri dan mental. Apakah aktivis-politikus akan mampu menjadi ikon demokrasi? Biarlah waktu yang menguji!(*)

Dr Ali Masykur Musa
Anggota DPR dari PKB dan Ketua Umum PB PMII 1991–1994

manusiarender

saya sangat pesimis dengan issue ini....
saya cenderung curiga kalau2 mereka oportunis licik..
will.i.believe.the.sun

paladin-x

Bagus dong!!!
Tapi harus tetep jujur dong! Jangan sampe jadi politikus untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan cepat!

Syarat buat jadi politikus adalah JUJUR tapi ada nggak ya?  ???  :P

herlambang

Bagus lagi kalo emang bisa seperti itu..
tapi ada gak aktivis yg dulu teriak2 sekarang senyum2 kebanyakan makan duit rakyat..?

kalo ada perlu di solder tuh :D
built-in double watchdog! ^^"   *Problem Solved*

soviet regarda

hari gini masih jaman aktivisme ya??udah tau penguasa indonesia itu buta dan tuli..kalo jadi aktivis kerjanya cuma rapat, teriak2 plus  ngalang2in jalan doang ya ga ngaruhlah...bwt yg penguasa yg didemo atawa yg diteriakin aja ga ngaruh apalagi bwt rakyat..mending org2 yg ngaku2 aktivis agak ngerubah aksinya deh,,jangan bisanya cuma rapat dan rapat paling banter aksi turun kejalan alias tereak2 dijalan..
jangan cuma AKSI kalo berani,tapi OPERASI..
lha wong nenek moyang para aktivis juga berani melakukan hal sehebat itu ko,,misalnya saja dalam dongeng peristiwa rengasdengklok, ketika mendengar gejolak suara rakyat indonsia pengen kemerdekaan para aktivis jadul berani menculik (melakuan OPERASI penculikan dan menekan soekarno yg notabene punya kharisma dan kuasa yg besar di negeri ini pada saat itu..jaman sekarang sih mana ada yg berani menculik orang yg berkuasa..pada takut mati kali ya,,atawa teriakan2 dan sikap sok idealis cuma sok sok an doang biar keliatan hebat?? heran keadaan negara udah bener2 parah kyk gini ko para aktivis masih aja pada diem planga plongo malah rapat lagi rapat lagi,,demo lagi demo lagi,,ga bosen bro??

herlambang

Kutip dari: soviet regarda pada Juni 23, 2009, 08:52:31 AM
hari gini masih jaman aktivisme ya??udah tau penguasa indonesia itu buta dan tuli..kalo jadi aktivis kerjanya cuma rapat, teriak2 plus  ngalang2in jalan doang ya ga ngaruhlah...bwt yg penguasa yg didemo atawa yg diteriakin aja ga ngaruh apalagi bwt rakyat..mending org2 yg ngaku2 aktivis agak ngerubah aksinya deh,,jangan bisanya cuma rapat dan rapat paling banter aksi turun kejalan alias tereak2 dijalan..
jangan cuma AKSI kalo berani,tapi OPERASI..
lha wong nenek moyang para aktivis juga berani melakukan hal sehebat itu ko,,misalnya saja dalam dongeng peristiwa rengasdengklok, ketika mendengar gejolak suara rakyat indonsia pengen kemerdekaan para aktivis jadul berani menculik (melakuan OPERASI penculikan dan menekan soekarno yg notabene punya kharisma dan kuasa yg besar di negeri ini pada saat itu..jaman sekarang sih mana ada yg berani menculik orang yg berkuasa..pada takut mati kali ya,,atawa teriakan2 dan sikap sok idealis cuma sok sok an doang biar keliatan hebat?? heran keadaan negara udah bener2 parah kyk gini ko para aktivis masih aja pada diem planga plongo malah rapat lagi rapat lagi,,demo lagi demo lagi,,ga bosen bro??


menculik ??? pasti sudah dikenakan pasal berlapis-lapis tuh ;D

orang baru akan.. dan bilang bahwa dia sebedarnya... 
sudah terkena ancaman pidana je.. perencaaan... dan pencemaran...
built-in double watchdog! ^^"   *Problem Solved*

soviet regarda

aturan hukum,mau pidana, mau perdata, mau hukum kawin cere,penguasa yg bikin bung!!
lha kalo aksi para aktivis dari jaman dulu harus melulu sesuai aturan hukum ya Indonesia ga akan pernah merdeka dong..
memangnya proklamasi kemerdekaan kita dapatkan dengan mengikuti aturan belanda atau jepang atau hukum internasional sekalipun..
tidak bung,,revolusi kemerdekaan kita raih dengan keberanian,cucuran darah dan pengorbanan yg sangat besar..
ga seperti aktivis2 jaman sekarang,,SAYANG NYAWA DAN HARTA!! 
alesan ini itu kena pidana,bilang aja takut dibui AKTIVIS GADUNGAN!! 
alesan aksinya demo aja biar sesuai aturan n koridor hukum..
JANGAN LUPA ATURAN N HUKUM ITU SYP YG BIKIN??
PENGUASA DAN PENGUSAHA!!