Member baru? Bingung? Perlu bantuan? Silakan baca panduan singkat untuk ikut berdiskusi.

Welcome to Forum Sains Indonesia. Please login or sign up.

Desember 04, 2024, 03:17:09 AM

Login with username, password and session length

Topik Baru

Artikel Sains

Anggota
Stats
  • Total Tulisan: 139,653
  • Total Topik: 10,405
  • Online today: 37
  • Online ever: 1,582
  • (Desember 22, 2022, 06:39:12 AM)
Pengguna Online
Users: 1
Guests: 35
Total: 36

Aku Cinta ForSa

ForSa on FB ForSa on Twitter

[Enviro Eng] Environmental Toxicology

Dimulai oleh arie_ds, Desember 29, 2006, 01:20:47 PM

« sebelumnya - berikutnya »

0 Anggota dan 1 Pengunjung sedang melihat topik ini.

arie_ds

Epidemiology vs Toxicology Studies

Dari buku Basics of Toxicology, saya baru mendapati perbedaan dasar antara studi epidemiologi dan toksikologi. Pada dasarnya adalah, kalau kita ingin mencari sebab akibat dari suatu zat, atau senyawa terhadap kesehatan manusia, dan kita ingin menetapkan level "aman" zat tersebut terekspos ke manusia, maka kita harus meneliti dan studi dengan menggunakan 2 pendekatan tersebut.


Secara singkat, studi epidemiologi adalah sebuah tes yang dilakukan di lapangan, "real world", apakah di lingkungan kita, misal air bersih kita ada pestisidanya ato tidak, kemudian berapa kandungan pestisida di air bersih kita, apakah aman bagi kesehatan kita dan lain sebagainya. Sedangkan tes toksikologi, sebuah tes suatu zat biasanya dilakukan terhadap hewan uji di dalam sebuah laboratorium dengan kondisi yang terkontrol. Dua pendekatan tersebut pada dasarnya tujuannya sama, yaitu ingin mengetahui dosis eksposure suatu zat terhadap suatu lingkungan, yang mana pada dosis tersebut muncul efek-efek kesehatan yang kurang baik.

Epidemiologi dan toksikologi sama2 mempelajari dan mencari tahu penyebab dari suatu penyakit, yang dinamakak etiology (etiology). Penyakit dapat dikategorikan menjadi infeksius dan noninfeksius. Penyakit infeksis relatif lebih mudah diidentifikasi, seperti penyebab flu adalah virus, pneumonia adalah bakteri dll, sedangkan noninfeksius relatif sulit karena terkait dengan sejumlah bahan toksik, seperti logam berat, radiasi, pestisida yang mudah ditemui di lingkungan. Penyakit noninfeksius relatif membutuhkan waktu lebih lama untuk ditelusuri penyebabnya, karena banyak faktor.

[pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]

arie_ds

Seperti telah dijelaskan di post sebelumnya tentang deskripsi sederhana dan perbedaan antara studi epidemiologi dan toksikologi, keduanya memiliki persamaan yaitu sama-sama mencari faktor etiologis (penyebab) dari kejadian dan distribusi suatu penyakit didasarkan pada karakteristik populasi tertentu yang sifatnya rutin, berkala.

Beberapa contoh, kita ingat kasus yang sangat populer di London, oleh Snow (1849), secara singkat, pada waktu itu, terjadi penyebaran kolera yang sangat besar. Snow melakukan observasi, ternyata dia mendapati fakta menarik. Sebagian besar warga yang meninggal karena kolera, ternyata tinggal terkonsentrasi di area tertentu di London. Area ini mendapatkan layanan air dari 2 perusahaan, Southwark and Vauxhall Company dan Lambeth Company. Fakta lanjutan adalah ia menemukan bahwa source air yang dipergunakan adalah air sungai Thames yang tercemar limbah. Kemudian ia melakukan observasi lanjutan mengenai data mortalitas (kematian) antara 2 area yang terlayani 2 perusahaan air tersebut. Ia mendapati lebih lanjut bahwa tingkat kematian populasi yang suplai airnya dari Southwark & Vauxhall Company adalah 315/10000 KK, sedang Lambeth Company adalah 37 kematian per 10.000 KK. Garis besar kesimpulannya saat itu adalah, adanya hubungan k uat antara air sungai yang tercemar air limbah dengan penyakit kolera. Cerita selanjutnya, seperti anda ketahui, adalah orang-orang mencari tahu mikroorganisme apa penyebab kolera.

Kita bisa lihat diatas, obyek observasinya spesial, karena populasinya memiliki karakteristik rutin yang sama, yaitu perusahaan pensuplai air, dalam kasus ini ada 2. Observasi, kemudian dilakukan perbandingan 2 grup, grup yang menggunakan air dari perusahaan Southwark dengan grup yang mendapatkan suplai air dari Lambeth. Dari situ, kemudian bisa dirumuskan lebih lanjut, darimana sumber air 2 perusahaan tersebut? Lebih lanjut diketahui, ternyata 2 perusahaan itu mengambil air dari sungai yang tercemar air limbah. Mudah2an bisa dipahami runtutannya.

Contoh lain adalah E.C. Hammond (1966), ia mengobservasi 1 juta penduduk dari kebiasaan mereka mengisap rokok, dan hubungannya dengan kanker paru-paru. Ternyata, sebanding. Semakin sering ia merokok, semakin besar ia terkena penyakit kanker paru-paru. Saya cantumkan grafik penelitiannya.

Jadi, itulah sedikit penjelasan tentang epidemiologi. Kalau anda mempelajari dan mengimajinasikan dengan baik, kita akan mendapati beberapa kelemahan dari studi ini.

Pertama, biasanya uji ini dilakukan terhadap 2 atau lebih kelompok. Satu kelompok biasanya sebagai kelompok kontrol, yang mana tanda2 akibat penyakit jarang, atau tidak ada. Kelompok uji adalah kelompok yang diobservasi menunjukkan beberapa gejala penyakit.

Kedua, uji ini biasanya menghasilkan hanya menghasilkan suatu hubungan (asosiasi) antara sumber penyakit dan penyakit. Jadi, tidak bisa langsung menyimpulkan bila populasi terekspose bakteri A dalam air bersih, maka populasi tersebut akan terkena serangan penyakit B (cause-effect relatioship). Tidak bisa seperti itu, karena tidak semua populasi yang terekspose air yang sama, akan menderita penyakit semua. Selain itu, sering dijumpai, akibat eksposure (pemaparan) suatu senyawa, efeknya baru terasa setelah beberapa tahun, bahkan berpuluh tahun. Hal ini juga menjadi kendala tersendiri.

Ketiga, observasi pada uji ini termasuk terhadap kebiasaan-kebiasaan penderita, atau objek uji. Nah, masalahnya adalah tingkat memori orang terhadap kebiasaannya di masa lampau kan berbeda-beda. Ini tentu menyebabkan tingkat akurasi dan variabilitynya menjadi berbeda-beda.

Sumber:
Kent, C. 1998. Basics of Toxicology. John Wiley & Sons, Inc. New York

[pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]

reborn

Kutip dari: arie_ds pada Desember 29, 2006, 01:43:40 PM
Seperti telah dijelaskan di post sebelumnya tentang deskripsi sederhana dan perbedaan antara studi epidemiologi dan toksikologi, keduanya memiliki persamaan yaitu sama-sama mencari faktor etiologis (penyebab) dari kejadian dan distribusi suatu penyakit didasarkan pada karakteristik populasi tertentu yang sifatnya rutin, berkala.

Beberapa contoh, kita ingat kasus yang sangat populer di London, oleh Snow (1849), secara singkat, pada waktu itu, terjadi penyebaran kolera yang sangat besar. Snow melakukan observasi, ternyata dia mendapati fakta menarik. Sebagian besar warga yang meninggal karena kolera, ternyata tinggal terkonsentrasi di area tertentu di London. Area ini mendapatkan layanan air dari 2 perusahaan, Southwark and Vauxhall Company dan Lambeth Company. Fakta lanjutan adalah ia menemukan bahwa source air yang dipergunakan adalah air sungai Thames yang tercemar limbah. Kemudian ia melakukan observasi lanjutan mengenai data mortalitas (kematian) antara 2 area yang terlayani 2 perusahaan air tersebut. Ia mendapati lebih lanjut bahwa tingkat kematian populasi yang suplai airnya dari Southwark & Vauxhall Company adalah 315/10000 KK, sedang Lambeth Company adalah 37 kematian per 10.000 KK. Garis besar kesimpulannya saat itu adalah, adanya hubungan k uat antara air sungai yang tercemar air limbah dengan penyakit kolera. Cerita selanjutnya, seperti anda ketahui, adalah orang-orang mencari tahu mikroorganisme apa penyebab kolera.

Kita bisa lihat diatas, obyek observasinya spesial, karena populasinya memiliki karakteristik rutin yang sama, yaitu perusahaan pensuplai air, dalam kasus ini ada 2. Observasi, kemudian dilakukan perbandingan 2 grup, grup yang menggunakan air dari perusahaan Southwark dengan grup yang mendapatkan suplai air dari Lambeth. Dari situ, kemudian bisa dirumuskan lebih lanjut, darimana sumber air 2 perusahaan tersebut? Lebih lanjut diketahui, ternyata 2 perusahaan itu mengambil air dari sungai yang tercemar air limbah. Mudah2an bisa dipahami runtutannya.

Contoh lain adalah E.C. Hammond (1966), ia mengobservasi 1 juta penduduk dari kebiasaan mereka mengisap rokok, dan hubungannya dengan kanker paru-paru. Ternyata, sebanding. Semakin sering ia merokok, semakin besar ia terkena penyakit kanker paru-paru. Saya cantumkan grafik penelitiannya.

Jadi, itulah sedikit penjelasan tentang epidemiologi. Kalau anda mempelajari dan mengimajinasikan dengan baik, kita akan mendapati beberapa kelemahan dari studi ini.

Pertama, biasanya uji ini dilakukan terhadap 2 atau lebih kelompok. Satu kelompok biasanya sebagai kelompok kontrol, yang mana tanda2 akibat penyakit jarang, atau tidak ada. Kelompok uji adalah kelompok yang diobservasi menunjukkan beberapa gejala penyakit.

Kedua, uji ini biasanya menghasilkan hanya menghasilkan suatu hubungan (asosiasi) antara sumber penyakit dan penyakit. Jadi, tidak bisa langsung menyimpulkan bila populasi terekspose bakteri A dalam air bersih, maka populasi tersebut akan terkena serangan penyakit B (cause-effect relatioship). Tidak bisa seperti itu, karena tidak semua populasi yang terekspose air yang sama, akan menderita penyakit semua. Selain itu, sering dijumpai, akibat eksposure (pemaparan) suatu senyawa, efeknya baru terasa setelah beberapa tahun, bahkan berpuluh tahun. Hal ini juga menjadi kendala tersendiri.

Ketiga, observasi pada uji ini termasuk terhadap kebiasaan-kebiasaan penderita, atau objek uji. Nah, masalahnya adalah tingkat memori orang terhadap kebiasaannya di masa lampau kan berbeda-beda. Ini tentu menyebabkan tingkat akurasi dan variabilitynya menjadi berbeda-beda.

Sumber:
Kent, C. 1998. Basics of Toxicology. John Wiley & Sons, Inc. New York

envirodiary.com/environmental-toxicology/studi-epidemilogi.htm

wew.... makin mantap aja nehh. Dah bikin situs enviro yahh... congrats bos :D

arie_ds

Hihihi...

Makacih.. ntar diupdate dikit2...

Besok udah balik lab lagi..  :o

arie_ds

Dalam sebuah uji epidemiology, dikenal dua tipe uji, yaitu retrospektif dan prospektif. Secara sederhana, epidemiology retrospektif melihat ke belakang, peristiwa masa lalu. Epidemiologi prospektif melihat proses saat ini dan proses yang sedang berjalan.

Kelebihan retrospektif:
1. Pelaksanaanya relatif lebih cepat, karena paparan, bahkan penyakitnya sudah terjadi
2. Relatif lebih murah, karena tidak perlu sampai harus mengikuti individual rentang waktu tertentu sampai gejala penyakit tertentu muncul.

Kelemahan retrospektif
1. Data atau informasi eksposure (pemaparan) sangat mungkin tidak lengkap
Misal anda mengobservasi penyebab kematian kanker paru dengan merokok, anda berkunjung ke rumah sakit, dan menghitung jumlah total orang yang merokok (bukan orang yang terkena kanker) dan yang tidak merokok. Oke, sekarang anda dapatkan jumlah masing-masingnya. Sekarang, dari orang yang merokok tersebut, berapa orang yang terkena kanker paru-paru, dan berapa yang tidak. Lakukan hal yang sama terhadap kelompok pasien yang tidak merokok. Hipotesisnya selayaknya adalah, pada pasien merokok, akan dijumpai pasien terkena kanker lebih banyak dibanding kelompok yang tidak merokok. Nah, kesimpulan ini tidaklah cukup, karena anda tidak memasukkan informasi, bagaimana tempat kerjanya, apakah tempat kerjanya penuh dengan perokok, kemudian bagaimana gaya hidupnya, apakah pagi selalu minum kopi, kemudian bagaimana rumahnya, apakah dia banyak terpapar oleh asbestos (faktor penyebab kanker juga) dll. Inilah maksudnya bahwa informasi bisa jadi tidak lengkap.

2. Kesulitan untuk mengidentifikasi faktor pengacau observasi (confounding factor)
Melanjutkan contoh diatas, confounding factornya adalah, jenis kelamin, kebiasaan di pagi hari (minum kopi atau tidak) itu bisa mempengaruhi konsentrasi kita bahwa penyebab kanker paru adalah merokok. Selain itu adalah obesitas (kegemukan), masih banyak lagi confounding factor yang lain, tp harus anda tanya dokter

3. Rentan terhadap bias (kesalahan informasi) karena sistem memori orang tidak sama
Kalau anda menguji pasien tentang kebiasaan merokok, bisa jadi satu orang ingat dengan lengkap kebiasaannya, namun yang lain lupa. Ini bisa pemicu ketidakakuratan informasi.

4. Kesimpulan akhir biasanya hanya merujuk ada hubungan atau tidak antara paparan suatu senyawa dengan penyakit. Seperti sudah disebutkan, pada akhirnya, uji ini hanya mampu memberikan asosiasi (hubungan) antara suatu penyakit dengan penyebabkan secara perkiraan, bukan sebuah hubungan sebab-akibat langsung.

Kelebihan prospektif
1. Data paparan lebih terukur dan lebih andal
2. Dapat mengontrol dan mengidentifikasi faktor pengacau observasi (confounding factor)
3. Bisa untuk mengukur waktu mulai awal pemaparan sampe saat paparan terjadi/berlangsung
4. Bentuk kesimpulannya lebih kuat dari sekedar asosiasi/hubungan antara penyakit dan penyebabnya
5. Kontrol yang lebih baik terhadap bias (saya tidak akan menjelaskan tentang ini)

Kelemahan prospektif
1. Hasilnya tidak dapat diperoleh dalam waktu singkat, butuh waktu
2. Membutuhkan biaya yang lebih besar
3. Karena jangka waktu yang lama, bisa jadi individu yang diobservasi tidak bisa dijaga mobilitasnya (pindah rumah, tempat kerja dan lain sebagainya)

Untuk lebih mendalami prospektif uji, saya ada contoh bagus uji epidemiologi prospektif. Silakan lihat disini [pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]

Saya rasa, kelebihan dan kelemahan retrospektif dan prospektif dapat memberikan bayangan tentang deskripsi dan cara melakukan tiap2 uji.

[pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]

arie_ds

#5
Ada 2 bagian penting sebenarnya dari pemaparan suatu zat kimia, yaitu pemaparan itu sendiri dan proses absorpsi. Mengapa ada 2 bagian yang berbeda, karena tidak semua senyawa yang mana kita terpapar olehnya dapat masuk ke tubuh, karena substansi tersebut belum tentu dapat terabsorpsi oleh tubuh. Lain halnya jika substansi tersebut terabsorpsi karena sifat-sifatnya, maka substansi tersebut akan masuk ke siklus distribusi, metabolisme dan eliminasi serta perkembangan sifat-sifat toksiknya.

3 rute utama adalah lewat kulit, penghirupan (inhalation), dan pencernaan (ingestion). Substansi tersebut bisa masuk dan terabsorpsi tergantung pada sifat zat itu. Struktur sel kita memiliki membran plasma yang mengatur absorpsi. Ia terdiri dari 75% phospholipid, 20% protein, dan 5% karbohidrat.

Faktor2 substansi supaya bisa menerobos membran plasma kita:
1. Ukuran molekul substansi dibanding dengan jarak antar molekul membran plasma kita.
2. Larut dalam lemak, membran plasma kita sebagian besar penyusunnya adalah lemak. Jadi, substansi yang larut dalam lemak macam ethanol atau xylene (thinner) dengan mudah bisa terabsorpsi ke dalam sel tubuh kita.
3. Muatan elektris dari substansinya. Kalau permukaan membran plasma kita bermuatan positif, maka substansi yang bermuatan negatif akan mudah masuk ke dalam membran plasma
4. Molekul carrier (pembawa molekul). Di dalam membran plasma kita, itu ada semacam protein yang dapat menarik dan transport substansi menerobos membran, tidak terpengaruh oleh ukurannya, kelarutan dalam lemak dan muatannya.

Mekanisme sebuah substansi bisa menerobos membran plasma kita bisa dibagi dua, transport aktif dan transport pasif. Transport pasif meliputi, konsentrasi gradien (gradient concentration), difusi, osmosis serta difusi terfasiliasi (facilitated diffusion). Transport aktif melibatkan penggunaan energi untuk memasukkan sebuah substansi ke dalam sel kita, bisa lewat phagocytosis dan pinocytosis.

Difusi, perpindahan substansi dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah, contohnya perpindahan oksigen dari paru-paru ke darah, perpindahan karbon dioksida dari darah ke paru-paru. Karbon monoksida dan diethyl ether yang masuk dari paru-paru ke darah, juga akibat difusi. Phagocytosis digunkan oleh darah putih kita untuk menghilangkan dan menghancurkan substansi berbahaya macam asbestos dan silica yang dapat masuk ke sistem pernafasan.

[pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]

arie_ds

#6
Sebagian besar senyawa toksik yang masuk ke tubuh kita melalui cara ini, karena kulit adalah penyusun tubuh kita sehingga mudah terpapar oleh zat-zat toksik. Namun demikian, tingkat absorpsi substansi toksik juga dipengaruhi oleh kesehatan kulit itu sendiri.

Anatomi kulit
Secara umum terbagi atas 3 lapisan, epidermis, dermis dan lapisan lemak. Dalam susunan epidermis terdapat lapisan yang paling luar disebut stratum corneum. Tingkat absorpsi substansi dipengaruhi seberapa cepat senyawa tersebut diserap oleh stratum corneum ini, semakin cepat ia lewat, semakin cepat pula zat toksik masuk ke dalam tubuh, seperti organophosphate, malathion, sebaliknya ada pula yang lambat masuk ke tubuh seperti DDT. Dermis berisi saluran darah kita, keringat, akar rambut, dan hal2 penting lainnya yang menunjang kesehatan kulit. Ia juga menghubungkan kulit dengan tulang dan otot. Lapisan lemak biasanya supaya kulit agak elastis dalam pergerakannya, ia juga penghubung antara kulit dengan otot.

Faktor absorpsi substansi
Pada dasarnya tingkat absorpsi dipengaruhi oleh sehat tidaknya kulit kita, kemudian sifat kimia dari zat toksik tersebut.

Kulit yang tidak sehat akan rawan terhadap paparan zat toksik, seperti luka atau borok. Sebenarnya lapisan paling luar kulit kita adalah sel tipis datar yang berfungsi sebagai penghalang zat-zat tersebut, karena sifatnya yang impermeable (tidak mudah ditembus oleh air). Setiap 2 minggu, sel ini akan tergantikan oleh sel dibawahnya. Kalau sel ini rusak, tentu senyawa toksik akan mudah tembus.

Ada beberapa zat atau bahan kimia tertentu yang mampu menembus sel ini, umumnya asam atau basa kuat seperti asam nitrat, asam sulfur atau natrium hidroksida. Senyawa ini bisa merusak dan menembus lapisan kulit paling luar, sebelum akhirnya masuk ke dalam dan memberikan efek toksik.

Inorganik kimia secara umum susah terserap dalam kulit kecuali metal mercury, contohnya Pb (timbal), Cd (cadmium) atau Cr (chromium). Adapun senyawa organik yang bisa masuk umumnya adalah yang bersifat mudah larut dalam lemak seperti gasoline atau bahan pembuat thinner. Sedangkan bahan kimia yang larut dalam air, susah untuk terserap.

Faktor lain yang bisa meningkatkan resiko adalah tingginya konsentrasi dan lamanya paparan. Semakin tinggi dan semakin lama paparan akan memberikan efek toksik yang berbahaya. Jika kuliat anda terkena bahan kimia toksik, segeralah encerkan dengan membilas kulit anda dengan air sebanyak-banyaknya.

Zat-zat toksik yang telah masuk ke tubuh bisa memberikan efek lokal ataupun efek sistemik. Efek lokal adalah, efek terpapar oleh bahan kimia di satu titik di kulit anda. Biasanya kulit akan memerah, atau melepuh. Kalau efek sistemik, substansi tersebut akan lari ke darah, dan akhirnya akan menuju target organ. Efek lokal biasanya disebabkan oleh asam, basa, chromium, pelarut organik. Contoh efek sistemik adalah kalau carbon tetrachlride masuk ke tubuh, dia akan menyerang liver, ginjal dan sistem saraf.

[pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]

arie_ds

#7
Kalau ada rekan2 yang memiliki arti inhalation yang lebih pas, silakan taruh di comment, karena saya kira arti tersebut kurang pas

Rute ini dikenal paling praktis, cepat dan paling mudah karena paru-paru memang didesain untuk memudahkan transport molekul. Jadi, hati-hatilah anda jika bertemu dengan substansi yang memang berbahaya jika dihirup.

Anatomy
Sistem saluran pernafasan terdiri dari nasal cavity, faring, laring, trakea, prymary brochi, bronchioles dan alveoli. Sistem ini mengandung dua sel pelindung partikel utama yaitu mukus dan cilia. Partikel yang terhidup akan terjebak dalam sel mukus, yang dibantu pergerakannya oleh sel cilia, yang kemudian partikel ini akan dipindahkan dari saluran pernafasan menuju ke tenggorokan untuk kemudian ditelan. Merokok dapat mengganggu aktivitas cilia, sehingga partikel akan mengendap lebih lama di paru-paru.

Proses perpindahan dari paru-paru ke aliran darah, dan sebaliknya banyak terjadi di alveoli. Proses perpindahan yang terjadi antara lain oksigen dan karbon dioksida, juga zat-zat toksik lainnya.

Faktor yang mempengaruhi absorpsi
Beberapa faktor yang ikut menentukan absorpsi adalah:
1. Konsentrasi zat toksik di udara
2. Kelarutan substansi dalam darah dan jaringan sel
3. Ukuran molekul substansi toksik
4. Rate atau volume pernafasan per waktu
5. lama paparan

Contoh toksikan yang difusi antara paru-paru dan aliran darah adalah karbon monoksida dan nitrogen dioksida serta uap dari benzene atau carbon tetrachloride.

[pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]

arie_ds

Ingestion adalah paparan lewat saluran pencernaan (digestive tract). Secara umum salurannya dimulai dari mulut, faring, esophagus, usus kecil kemudian paling akhir adalah usus besar. Proses absorpsi paling banyak terjadi di usus kecil kurang lebih 90%, sisanya tersisa di perut dan usus besar.

Beberapa faktor yang mempengaruhi absorpsi hampir sama dengan proses paparan melalui jalur lain, yaitu tergantung jenis toksikan, larut dalam lemak atau tidak, tebal vili (vili ini seperti kepanjangan tangan dari lapisan mukosa usus kecil), serta ukuran molekul.

[pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]

arie_ds

What will happen if you get exposed by toxicant?
What is the effect likely to occur when toxicant is absorped?

There are 2 things that will take place, and Im going to explain it as simple as possible. Local and systemic effect.

Our outmost skin layer is a big barrier for toxicant to come in our body. When it gets hurt, reddened by say, strong acid or base, then its called local effect. The effect occurs on the site of exposure. Next thing, if our barrier skin is damaged, and organic lipid-sluble toxicant penetrate our membrane cell skin, then it will likely to diffuse easily to bloodstream and transported throughout the body until it reached target organ, for example liver, kidneys, lungs. This is called systemic effect, when the effect occurs not only at the exposure site, but to another organ site as well, as a result of blood distribution, active and passive transport mechanism.

[pranala luar disembunyikan, sila masuk atau daftar.]